All Chapters of Gara - Gara Resleting: Chapter 51 - Chapter 60
63 Chapters
Sequel : semua membaik
Zein mengusap bahu lalu kepala Zeva, di ruang rawat inap Zeva kini hanya ada dia, Zeva, perawat dan bayi rapuh, mungil yang cantik. Saat ini Zeva terlihat seperti mama kangguru, bayi mereka yang lahir di minggu ke 33, jelas saja bisa di bilang prematur. Bahkan sempat melemah walau pada akhirnya, sehari setelahnya di katakan stabil. Sang perawat tengah mengarahkan bayi di gendongan Zeva agar bisa menyusu dengan nyaman. Skin to skin, agar bayi tetap hangat suhunya. Zeva yang memang tidak memiliki urat malu, dalam keadaan setengah telanjang pun tetap cuek dengan keberadaan Zein di sampingnya. Berbeda dengan Zein yang bisa - bisanya merasakan panas di saat anaknya butuh perhatian lebih itu. Zein mengalihkan tatapannya pada sang suster yang mencuri - curi pandang itu. Zein jelas tidak suka karena itu artinya si perawat tidak fokus menjaga Zeva dan anaknya.
Read more
Sequel : Akhirnya
     Zein membawa langkahnya dengan tergesa, bahkan dia tidak peduli dengan hasil jepretan tadi. Biar Jack yang pilih yang mana yang bagus untuk di jadikan sampul majalah. Zein yang jelas ingin melihat Zeva yang pastinya sudah bertemu Amora. Kaki Zein mengerem mendadak, nafasnya yang terengah mulai dia kontrol agar kembali normal. Zein terlihat kikuk walau sesaat, karena detik selanjutnya dia memasang wajah khasnya. Tenang yang agak terasa dingin. Amora melipat tangannya di perut, duduk santai di sebrang Zeva yang memangku Cantika. Amora menatap Zein dengan raut datar tidak terbaca. Zein berdehem kecil lalu melangkah pelan dan berakhir duduk di samping Zeva. Tanpa menyapanya. "Akhirnya, sang biang kerok datang." Junior melangkah keluar dari arah kamar tamu, dia kebetulan tadi buang air kecil dulu. Zein masih diam, dia mendadak canggun
Read more
Sequel : Bahagia Di sana
Zein menggeliat, suara bayi menyapa telinganya membuatnya tidak bisa terus terlelap. Zein memang menyuruh perawat 24 jam menjaga Zeva dan Cantika tapi rasanya untuk terus terlelap tidak enak. Zein ayah dari bayi yang kini terus menangis itu. Mungkin karena itu juga alasannya. "Zein tidur aja, Zeva sama bu perawat yang jaga Cantika. Dia cuma mau asi aja." jelasnya dengan bersiap menerima Cantika yang awalnya di gendongan perawat. Zein tidak menjawab, dia turun dari kasur untuk menghampiri Zeva yang duduk di sofa dekat keranjang bayi. "Perkembangan Cantika gimana sus?" tanya Zein setelah duduk di samping Zeva. "Baik, setiap harinya meningkat. Mungkin satu mingguan lagi saya bekerja di sini karena Cantika sudah bisa di rawat normal." jelas sang perawat. Zein mangut - mangut paham, melirik Cantika yang terlihat asyik menyusu lalu mengamati Zeva yang asyik mengusap kepala
Read more
Sequel : Keputusan Zeva
      Zein melipat lengan kemeja hitam yang di pakainya hingga se-siku. Wajahnya masih terlihat mendung. Jelas saja karena Cantika baru setengah jam yang lalu di makamkan. "Di mana, Zeva?" Zein bertanya pada Yumni, teman Zeva sekaligus teman Grecia—adiknya. "Di kamar bang, sama kak Adit." jawab Yumni. Tanpa kata, Zein membawa langkahnya ke kamar yang di maksud Yumni. Kamar tamu. Zein mengetuk pintu, membuat adik dan kakak yang saling memeluk itu menoleh dengan penampilan kacau. "Masuk, Zein." Raditya melepas pelukannya, beranjak dari kasur seolah memberi Zein ruang. "Adit mau kemana?" Zeva menahan lengan sang kakak dengan mata basahnya. Zeva belum siap bertemu Zein, dia takut di salahkan dan di marahi Zein karena tidak becus mengurus Cantika hingga bayi rapuh itu pergi selamanya. "Ada, Zein. Kalian
Read more
Sequel : Zein Sadar
        Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***
Read more
Sequel : Damai
      Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Read more
Sequel : tidak tahu tempat
      Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Read more
Sequel : Bertindak Nyata
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Read more
Sequel : Baikan
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. ***   Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah.   Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.  
Read more
Sequel : After Menikah
        Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status