Semua Bab Mari Selingkuh: Bab 71 - Bab 80
105 Bab
Pengaduan
PLAK! Mata Ranesha membulat lebar, pupilnya mengecil, sedangkan pipi kanan perempuan itu memerah. Terasa nyeri dan perih di bagian sana. Meriel menamparnya, wanita itu menampar Ranesha dengan sekuat tenaga, sangat keras. Sampai-sampai ada goresan kecil di pipi kanan Ranesha akibat tergesek oleh kuku panjang Meriel. Namun, malah sang pelaku kekerasan yang menangis. Membuat kening Ranesha berkerut dalam, ia tentu saja keheranan. “Apa katamu tadi? ‘Apa salahnya?’, hah? ‘dasar wanita tidak tahu diri’? kau lah yang telah merebut suamiku!” hardik Meriel murka. Ia kembali menggebrak meja kerja Ranehsa, menciptakan kebisingan yang untungnya tidak sampai kedengaran di luar sana. “Dasar tidak sopan!” tunjuk Meriel lagi dengan sengit saat mendapati Ranesha malah menatapnya nyalang, menyunggingkan senyuman yang terkesan meremehkan. 
Baca selengkapnya
Keterlaluan
“Bisa berdiri?” Perhatian Hail masih tertuju pada Meriel yang meringkuk di dalam dekapannya. “Tidak tahu …,” rengek Meriel sambil menggelengkan kepala, semakin mengeratkan pelukannya pada Hail. Hangat. Meriel merasa candu dengan aroma maskulin suaminya ini. aroma yang tentu saja berbeda dengan milik Aron. Di balik pelukan Hail, Meriel masih bisa menatap Ranesha di belakang sana, ia tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Ranesha hanya dapat diam saja, menahan diri. “Tidak bisa. Kita harus ke rumah sakit.” Hail berujar pendek. Ia langsung berdiri sambil menggendong tubuh sang istri. Perlakuan seorang gentleman. Ranesha jadi iri. Ingin rasanya memaki saat ini, tapi keadaan genting tadi pasti membuat siapa saja akan salah paham. Ranesha bisa mengerti. Seperti apa pun ia berusaha meraih Hail, pria itu belum bebas dari masa lalunya—Meriel. Ranesha ti
Baca selengkapnya
Aku Memilihmu
“Kondisi kandungan Nyonya Meriel memang sangat lemah. Pasien dianjurkan banyak istirahat dan jangan gampang stres,” tutup seorang wanita dengan jas putih sebelum akhirnya keluar dari ruang VIP tersebut. Hail menghela napas dalam, memijat pelipis lalu kembali duduk di samping tempat tidur sang istri. Wanita bersurai pirang, berwajah manis dan lucu yang terkesan polos, apalagi mata biru yang memesona itu … kini tengah menghadap ke arahnya. Jakun Hail bergerak pelan. “Jadi … kenapa kau ke kantor?” Pertanyaan basa-basi yang memuakkan. Namun, Hail ingin memastikan satu hal. Andai saja … andai saja jawaban Meriel seperti yang ia harapkan selama ini. Apa yang akan Hail lakukan, ya? “Bukankah harusnya kau bersama orang itu?” tanya Hail lagi. Tangannya mulai mengepal, kepala pria ini terasa panas hanya dengan menyebutkan kata yang merujuk pada selingkuhan sang istri.
Baca selengkapnya
Tidak Menyerah
Langit seakan mengerti akan perasaan Ranesha kini. Sang sekretaris cantik yang hatinya sedang terluka. Semua pekerjaan Ranesha selesaiakn dengan sangat cepat—karena tercampur emosi juga. Dan sekarang, hari sudah menjajaki malam, cahaya rembulan tidak ada. Bintang-bintang pun menghilang. “Tiba-tiba mendung, ya? Sangat mendukung.” Bagusnya Ranesha tidak menangis lagi. Lebih tepat kalau dikata bahwa air matanya sudah kering. “Hail keparat. Sialan. Kurang ajar. Keterlaluan! Brengsek!” maki Ranesha sambil berjalan dari parkiran. Ia sudah berada di kediaman Keluarga Seibert, rumahnya, dan tempat tinggalnya yang sudah mulai nyaman. “Allen, apa Ayah ada?” tanya Ranesha ketika kedatangannya di sambut oleh sang kepala pelayan. Namun, pria tersebut menjawab dengan gelengan pelan, lalu tersenyum ramah. “Apa terjadi sesuatu, Nona Muda?” Ha
Baca selengkapnya
Pura-Pura
“Jadi istri saya akan tidur cukup lama, ‘kan?” tanya Hail memastikan, kini dirinya sedang berbincang ringan dengan salah seorang dokter kepercayaan. “Iya. Apa Anda ada keperluan lain yang sangat mendesak? Tidak apa-apa, saya dan para perawat bisa menjaga istri Anda, Pak,” tawar sang dokter dengan diakhiri senyuman bisnis. Hail mengangguk setuju. “Tolong buat alasan apa saja yang sekiranya mustahil untuk dia menghubungi apalagi menyusul saya,” tukas pria tersebut. Ia paham betul isi kepala Meriel, jadi dirinya harus menyiapkan tameng untuk jaga-jaga saja, sebagai antisipasi belaka. “Baik, akan saya lakukan.” “Terima kasih, Dokter.” “Terima kasih kembali, Pak Hail.” “Kalau begitu saya pamit undur diri dulu.” “Silakan. Semoga segala urusan Anda da
Baca selengkapnya
Demimu dan Demiku
“Aku sudah memutuskan untuk memilihmu, Ran,” tegas Hail lagi ketika tidak mendapat respon apa-apa dari Ranesha. Dadanya terasa sesak karena pasokan okisgen di ruangan seolah masih kurang dan semakin menipis. Hail gugup. Hail takut. Hail sangat berharap ia tidak terlambat untuk menjelaskan. Pria ini sudah bulat dalam mengambil keputusan. Bahkan jika bayi di dalam janin Meriel sungguh anaknya … dia tidak yakin bisa hidup bahagia kalau tidak bersama Ranesha. Hail berniat untuk mengajak Ranesha tinggal bersama, membesarkan bayi itu kelak. Jika ia bisa memenangkan hak asuhnya. Jika tidak, Hail akan berkunjung secara ruitn dan mengadakan perjanjian dengan Meriel. Lagi pula, Hail yakin Ranesha tidak akan mempermasalahkan anaknya. Karena Hail tahu sendiri dan perempuan ini … sangatlah baik hati. “Katakan … ugh.” Ranesha menuduk dalam, kedua bahunya yang masih Hail pegang tampak gemeta
Baca selengkapnya
Api Dendam
Hujan. Hari tidak hanya mendung lagi, akan tetapi sudah mulai menumpahkan segala isinya. Bahkan kali ini bersama dengan kilat dan petir yang disertai guntur juga. Seakan langit tengah bersaksi untuk mewakili hati salah seorang hamba Tuhan di dalam ruang VIP dari salah satu rumah sakit ini. “Jadi … begitu, ya,” respon Meriel sambil menggigit jari. Di sebelah sana ada seorang pengawal berbadan kurus tinggi dengan pakaian bebas rapi dan juga memakai masker serta topi. Ia diberikan tugas sedang menyamar kini. “Benar, Nyonya. Tuan Hail saat ini sedang bersama dengan Nona Ranesha Seibert dan … berdasarkan pengamatan saya. Tuan Hail akan memilih Nona Ranesha Seibert dari pada Anda, Nyonya. Mungkin Tuan Hail hanya pura-pura saat itu atau bisa jadi … beliau sangat kaget saat melihat Nyonya Meriel tiba-tiba kesakitan.” Pengawal tadi menjelaskan kembali. Iris mata yang tegas itu tidak menyiratkan barang seti
Baca selengkapnya
Hukuman
“Hail, kau datang,” sapa Meriel ketika melihat sosok suaminya itu akhirnya pulang setelah mengaku menyelesaikan berbagai pekerjaan di perusahaan. “Aku pulang,” balas Hail sambil tersenyum lembut. Ia tanpa basa-basi menghampiri Meriel, mencium kening sang istri lalu tak lupa mengelus dan mengecup singkat perut Meriel. “Selamat malam anak, Ayah. Apa kau menjaga ibumu dengan baik hari ini? Kenapa tidak memintanya untuk tidur, hm? Ibumu harus istirahat yang cukup demimu, apa kau tahu?” Meriel tersenyum hambar. Ia sangat benci ketika melihat Hail bahagia begini. Karena alasan sesungguhnya Meriel menerima lamaran dari Hail adalah demi balas dendam. Benar, Meriel sangat iri dengan kehidupan cemerlang yang Hail miliki. Bagaimana bisa seorang anak jalanan hidup di atas awan? Tidak. Meriel tidak bisa menerima hal tersebut. Terlebih lagi, malah Hail lah yang mendapat semua harta warisan dari mendiang ibunya.&
Baca selengkapnya
Bukan Malam Pertama
Pusing. Kepala Hail terasa berdenyut dan sangat pening. Segala macam masalah seakan datang tanpa ingin berantrian lagi, tidak sudi menemui Hail secara silih berganti, melainkan datang beramai-ramai. Ini namanya pembunuhan berencana oleh Tuhan. “Ugh ….” Hail memijat pelipis. Wajah tampannya tidaklah pucat, hanya jiwa Hail saja yang kelelahan. Seolah dibantai habis-habisan. Jadi, tidak ada yang sadar bahwa pria ini pikirannya sedang kusut bagai kaset yang rusak. “Pak, kenapa masih di sini? Apa Anda sakit?” tegur Ranesah cemas. Pasalnya dari sebelum berangkat sampai sekarang sudah tiba di Inggris, Ranesha lihat energi Hail seakan semakin menipis, lalu lambat laun terkuras habis. “Ah, aku tidak apa-apa.” Hail tersenyum hambar. Menepuk singkat pundak Ranesha lalu melanjutkan lagi langkah kakinya, masuk ke dalam taksi. Aneh. Ranesha terdiam. Hail kini mengambil ti
Baca selengkapnya
Bukan Malam Pertama 2 (WARNING! 21+)
“Ahmph … ngghh … hmphhh ….” Desahan demi desahan serta lenguhan yang panas mulai keluar dari bibir manis Ranesha, meski acap kali tertahan karena lidah Hail yang masih gencar bermain di dalam rongga mulutnya.“Hail—hh … a—kku—ah! Ti—dak … bisa ber—hh nap—as … ahgg!” lirih Ranesha yang terbata-bata. Tubuhnya yang dihimpit Hail ke dinding bergerak gelisah. Ciuman yang Hail layangkan begitu penuh nafsu, penuh gairah, dan tentu saja sangat menuntut dengan terburu.Ranesha ingin melawan, Ranesha ingin menolak, dan Ranesha cukup ingin untuk berontak. Namun, desakan kenikmatan dan rasa panas di dalam tubuhnya berkata lain. Otak Ranesha tidak menerima, tapi tubuh perempuan ini berkata sebaliknya. Apalagi ketika tubuh Ranesha dan Hail bergesekkan, membuat sekretaris cantik ini semakin kehilangan akal sehat."Pak-hh ... kita masih-hh ... di luar ahggh!"
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status