All Chapters of Ei-Bree My Betelgeuse: Chapter 41 - Chapter 50
74 Chapters
41 - Naluri dan Refleks
Camilan yang banyak dibelinya di mall pagi tadi ternyata dimaksudkan sebagai suguhan untuk menemani kopi-kopi yang Bree berikan sebagai wujud permintaan maaf pada orang-orang yang diundangnya. Barulah sekarang aku berkesempatan untuk mendengarkan cerita-cerita Josep dan Clara mengenai pertemanan mereka dengan Bree. Breelah yang memperkenalkan Josep pada Clara. Selama menggarap proyek modifikasi drone perusahaan videografi waktu lalu, waktu Bree tidak pulang berhari-hari, dia menginap beberapa jam di kos Josep atau Clara.Dari mereka aku tahu kalau metode belajar Bree adalah memetakan materi dalam garis besar, lebih suka mencorat-coret perhitungan di kertas HVS daripada mengisi lembar jawaban ujian dengan sebuah penjabaran matematis, sangat menggemari bangku tengah yang tidak terlalu mengundang perhatian, sebisa mungkin selalu duduk di bawah AC, memiliki desain mesin yang mantap dan detail, tidak suka makan di kantin sekolah dan lebih memilih bakso balungan d
Read more
42 - Matahari Tidak Terbit di Kintamani
Sebelumnya aku tidak tahu kalau Katrina punya mobil. Aku bahkan tidak tahu kalau kedua orang tua Katrina berprofesi sebagai dokter bedah. Dia cantik, kaya, dan pintar, hanya saja sama seperti Yuda, dia kurang pandai membangun sebuah percakapan dengan orang baru.Mobil hatchback mungilnya yang hanya dapat memuat empat orang masuk ke dalam inventaris perjalanan kami dan akan dikemudikan oleh Bree bersama Clara, Pamela, dan Resa. Senang rasanya berhubungan langsung dengan teman-teman sekolah Bree. Mereka semua adalah gadis-gadis yang bertingkah manja hanya pada Bree."Menyingkir dariku Res, jangan jadikan lenganku seperti batang eukaliptus bagi koala!" ketusnya saat kami hendak berangkat. Resa tampak sangat senang bisa mengusilinya. Dia malah semakin menjulurkan tubuhnya sampai rambut bob-nya menggelitik pipi Bree.Lalu mobil Jake lewat, Bree melirikku di kursi penumpang depan, melemparkan tatapan memohon yang langsung kutertawakan. Selain geng Ja
Read more
43 - Kemah di Bawah Mendung
Kami berkeliling di wilayah Bangli, seperti rencana awal Bree, untuk menyerbu toko-toko cendera mata Bali setelah menikmati sarapan bersama-sama. Yuda bilang acara seperti ini mengingatkannya pada study tour SMA yang membawanya keliling Jawa. Walau dia dan teman-temannya harus menumpang mandi dan berganti pakaian di kamar mandi restoran, tapi rasanya seseru ini. Slyvia membeli biji kopi dan beberapa camilan tradisional. Janet bertugas memilih-milih cendera mata yang bersifat nonmakanan-dan-minuman seperti kain pantai, dekorasi bergaya boho, tas rotan, dan lainnya. Sisanya dari kami hanya melihat-lihat, menemani, dan memberi saran. "Kau ingat waktu kita berbelanja pakaian untuk berenang di Pecatu?" Tiba-tiba suara Bree menggelitik telingaku. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lebar padaku. Dia selalu keren. Walau hanya mengenakan kaus putih, jeans berwarna terang, dan sneakers hitam-putih, dia tetap saja berpotensi menggerakkan roda tren
Read more
44 - Menabrak Orang Lain
"Apa yang membuatmu terbangun sepagi ini?" tanyaku."Cokelat panas.” Bree mendekatkan sendok kayu ke hidungnya, menghirup aroma yang sebenarnya bisa tercium dengan gamblang di udara, dan akhirnya mengangguk dengan puas. “Rasa dingin ini memaksaku untuk tidak memikirkan hal selain penebusan dosa di neraka. Dan apakah neraka masih lebih panas untuk mengobati rasa dingin yang seperti ini.""Barangkali bakal impas.""Tapi kudengar api neraka itu superpanas.""Yah, kalau begitu kita tidak mau direbus di dalamnya."Kompor dimatikan. Bree menciduk cokelat dari panci ke dalam gelas plastik hitam lalu menyerahkannya padaku. Asap mengepul di atasnya, beradu dengan uap dari mulutku ketika aku mengucapkan terima kasih pada Bree. "Kau tidur cepat semalam.""Luar biasa mengantuk." Aku memutar-mutar gelas plastik dengan telapak tangan. Kulitku merasa girang bisa menemukan sesuatu yang hangat di tengah-tengah subuh mendung Kintamani. Mama masih
Read more
45 - Metode-metode Olaf
Pandangan Olaf begitu terarah. Di atas medan pertempuran, dia berdiri di atas keretanya yang tinggi, kokoh, dan sulit digulingkan. Kakinya disilangkan dengan tenang seperti minggu lalu. Bedanya, kali ini dia mempersiapkan senyum penuh kemenangan seolah-olah strategi yang kusembunyikan darinya telah terungkap dan aku tidak memiliki pilihan selain membongkar strategi yang sudah bocor itu tepat di hadapannya."Bagaimana kalau kau tetap mengulur waktumu?" tanyanya. Dan itu adalah pertanyaan yang mustahil kuketahui jawabannya. Waktunya telah kusita untuk mendengarkan ceritaku dan kini dia bertanya bagaimana jika aku semakin menyia-nyiakan waktunya? Hanya dialah satu-satunya yang mengetahui jawaban itu. Aku mengangkat bahu, setengah menyipit.Olaf tergelak. Jalinan otot-otot di wajahnya yang sejak tadi membentuk kebahagiaan kini melonggar. "Menyenangkan, Thomas. Semakin kau berputar-putar di sekitar May, semakin aku bisa menarik sebu
Read more
46 - Bukan Sekadar Tabrakan
Respon ramah Janet yang biasanya selalu dia tunjukkan kini tidak bisa kami temui. Aku refleks mengetuk punggung tangan Bree yang berdiri di sebelahku. Bree langsung mendenguskan senyuman."What. Are. You. Doing. Here?" Pertanyaan Janet seharusnya ditujukan padaku, tapi karena Bree tinggi dan dia sedang cengar-cengir, Janet jadi memelototinya.Sepupunya murka padaku pagi tadi. Ini adalah perlakuan yang sepanjang jalan sudah kunanti-nanti, tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku terkejut. Janet marah. Janet yang cantik, santai, dan lucu marah. Mataku terpejam sekejap. Sialan. Begini. Apa saja tadi opsi dialog yang ingin kusampaikan pada Janet kalau dia yang membuka pintu vila?Mataku lalu terbuka dan kurasakan bahu yang menegang kini lebih santai. Aku menunjuk ke dalam. "I want to make up for the wrong I did to Sylvia, if you let me see her.""That's not one of a brilliant idea sci
Read more
47 - Efek Ilusi Kebenaran
Kami mendengar gerbang didorong terbuka dan tertutup pukul satu malam waktu Hans pulang. Segera setelahnya kami pergi untuk tidur. Tapi dengan tangan panjang Max terbentang lebar di kasur seperti kolonialis haus kekuasaan, aku tentu tidak bisa pergi tidur begitu saja. Jadi untuk tiga menit yang tidak berarti aku hanya duduk di meja belajar Bree sambil memandangi jemari kaki Max yang masing-masingnya berbentuk mirip tunas jahe. Di antara jari-jari itu timbul pemikiran seandainya kaki diciptakan juga untuk memegang sesuatu, aku akan menggunakannya untuk memegang pulpen, dan aku akan menulis segalanya dengan keempat alat gerakku, yang pasti akan memakan waktu lebih singkat. Tidak perlu tulisan bagus, yang penting bisa terbaca. Dan mungkin saja aku bisa mencoba menuliskan sepuluh kejadian yang diminta Olaf dengan menggunakan tangan kiri sebagai pemanasan.Begitulah. Aku mengambil pulpen hitam dari wadah keramik putih di atas meja dan merogoh laci untuk menem
Read more
48 - Senter Konstelasi
Tidak biasanya Hyunji menghubungiku. Malahan, kupikir dia tidak lagi ingin bicara padaku. Tapi dering telepon yang membangunkanku pukul setengah enam pagi di hari Minggu datang darinya. Aku terbangun dalam kebingungan singkat sebelum membaca namanya berkelip di layar handphoneku. Waktu kuangkat, suara tenangnya yang familier langsung menyapaku."Selamat pagi, Thomas. Kau merasa baik?"Aku menggumamkan jawaban, masih berkeras membuka mata yang perih dan lengket. Terbayang olehku bagaimana lendir putih kehijauan merekatkan kedua pelupuk, saling meregang saat aku berusaha menjauhkan keduanya. Dan itu jorok, cukup parah untuk membuatku bergidik dan membuka mata secara paksa."… tidak bisa mendengarmu. Kau baru bangun, ya?""Hm," gumamku, kehilangan semangat dalam usaha mengerahkan tenaga untuk bangkit duduk di sandaran kayu. "Kau menghubungiku. Ada apa?""Aku mengirim pesan, tapi
Read more
49 - Bree, Betelgeuseku
Bree bergumam dan mengangguk sebagai jawaban. Aku pun kembali menyorotkan sinar senter ke langit-langit kamar. Dan akhirnya, di sana, tampaklah Orion sang pemburu yang menghunus pedang ke atas dan menahan tameng dengan tangan lainnya."Akan seperti apa dia?" bisik Bree."Keanu Reeves?"Bree tertawa. "Hm, baiklah, boleh juga." Tanganku digenggam. Aku menolehnya. Bree juga menolehku. Dengan tatapan terkunci pada mataku, dia mengarahkan telunjukku ke atas untuk menelusuri setiap bintang yang membentuk tubuh Orion. Bree mencengkeram pergelangan tanganku dan meluruskan telunjuknya di dalam kepalan telapak tanganku. "Lihat baik-baik," katanya setelah sosok itu selesai kami telusuri. Setiap detik yang berlalu dan membuat sentuhan kami menjadi semakin intim, aku tidak bisa berkonsentrasi terhadap hal di luar dirinya. Suaranya, panas tubuhnya, fokusnya.Tapi aku mencoba, membiarkan diriku dilelehkan oleh panas
Read more
50 - Pengkhianat Dikhianati
Jemariku terasa kebas. Aku berkedip-kedip. Paru-paruku kering. Kulitku dijalari angin berdebu yang rendah dan tajam. Orang-orang berlari ke sofa, melaluiku, berkerumun di sekitar tangan Junko yang mengulurkan handphone. Tapi Bree kemudian merebut handphone itu dan berbalik entah ke mana. "Apa yang sebenarnya dia pikirkan?" hardik Max, diwarnai nada baru dalam suaranya: berang. Biasanya dia hanya memiliki tiga jenis tanggapan, yaitu bercanda, cuek, dan mengantuk. Aku menoleh ke belakang, pada Bree yang menggapai kursi bar dengan tangan kanan sementara kepalanya masih menunduk ke arah handphone Junko. Sandra bergumam, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Entah karena terlalu lirih atau karena aku hanya sedang ingin memikirkan nasibku sendiri. Salah satu media sosial Kenny dipenuhi oleh foto-foto dirinya dan Bree sedang bermesraan. Apa pun artinya itu… sialan. Itu pasti berarti sesuatu. Dia seol
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status