All Chapters of Head Over Heels: Chapter 41 - Chapter 50
63 Chapters
41. Untuk Sekali Saja
Rena tak pernah merasakan ketakutan sebesar ini saat berhadapan dengan tatapan murka seseorang yang menghujamnya begitu mengerikan. Netra itu seolah menyimpan kemarahan besar seolah siap melenyapkan atau mematahkan pergelangan tangannya jika ia sedikit saja salah bersuara. Apalagi melihat bagaimana tubuh itu menjulang di atasnya dengan raut penuh intimidasi, semakin membuat Rena terperanjat bisu tanpa kata. "Apa yang kamu lakukan, Sialan?!" desis lelaki itu tajam. Remasan kian bertambah kuat pada pergelangan tangannya, berhasil meloloskan ringisan kesakitan dari getar bibir Rena. Tapi ia terlalu takut untuk sekedar mengucap sepatah kata.  "Jawab!" sentak Andreas kembali saat tak mendapat jawaban apapun.Mendengar itu, Rena kembali terperanjat dengan bibir makin mengatup rapat. Hingga tanpa sadar, satu tetes air mata pun jatuh meluruh dari pelupuknya karena rasa takut yang tiba-tiba melanda. Hal yang justru membuat pria di hadapannya sontak terperangah.
Read more
42. Rasa Nyaman
Hal pertama yang Rena lakukan setelah kakinya menginjak lantai dapur, adalah menjatuhkan dirinya ke atas kursi dengan kedua lutut lemas yang masih bergetar samar. Meskipun berusaha menyembunyikan segala kegugupan dan rasa takutnya dengan bersikap sepercaya diri itu dalam menentang kekeras kepalaan Andreas, tetap saja jiwa pecundangnya yang sudah terbentuk secara lahiriah akan langsung muncul ke permukaan begitu penyesalan datang menyapa.Apalagi setelah menyadari kebodohan macam apa yang baru saja ia ciptakan barusan. Astaga. Padahal baru terhitung beberapa belas menit lalu ia dibuat gemetar nyaris kehabisan napas, dan hampir berakhir kehilangan sebelah tangan karena mendapati kemurkaan Andreas akibat sikap lancangnya karena berani mengusik tidur lelaki itu. Walaupun ia sendiri benar-benar tak mengerti alasan apa yang memantik kemarahan Andreas sampai sebegitu besarnya hanya karena satu kesalahan kecil yang tak sengaja Rena buat.  Dan sekarang hati nu
Read more
43. Maaf dan Terima Kasih
Andreas terbangun dengan denyutan kepala yang masih meninggalkan sisa-sisa pening dari demam menggigilnya semalam. Entah sudah berapa lama ia jatuh tertidur, sampai tak menyadari detik dan menit berlalu cukup singkat hingga seberkas cahaya merangsek masuk dari ventilasi tinggi yang tidak terhalang gorden, menunjukkan bahwa waktu sudah menyongsong pagi di luar sana. Dengkuran halus terdengar cukup dekat di telinga, menyadarkan Andreas tentang apa yang telah ia lewati semalam sehingga berakhir jatuh terlelap di atas sofa dengan posisi duduk, berbantalkan bahu seseorang menjadi sandaran. Bahkan tangan yang masih melingkar mendekap gadis yang tampaknya juga ikut terlelap di sampingnya, masih bertahan pada posisi semula ketika lelaki itu membuka mata. Mendesah pelan, Andreas menarik diri secara perlahan dari tubuh gadis itu dan mulai beringsut memberi sedikit jeda ruang di antara mereka. Bisa-bisanya ia membiarkan dirinya jatuh cukup mudah pada godaan kantuk hanya karena
Read more
44. Sepertinya Bahaya
Rena menggeliang tak nyaman di tempat tidur, merasakan sinar matahari terlalu menyilaukan mengusik kantuknya. Ia paham hal ini akan lazim terjadi karena letak kasur tempatnya berbaring saat ini hanya berjarak lima atau enam langkah dari jendela lebar menghadap ke arah timur matahari. Tentu saja jika ia terlelap terlalu lama hingga cahaya pagi makin tinggi menapaki langit---Astaga! Seperti ditarik langsung dari ambang kesadaran, Rena sontak membelalak lebar ketika keadaan ruangan di sekelilingnya berubah drastis dari apa yang sempat tertanam diingatannya semalam.  Otak gadis itu langsung mereka ulang tiap kejadian yang menari-nari di kepala, tentang bagaimana ia yang terbangun di penghujung malam atau mungkin lebih tepatnya disebut dinihari, berniat memanggil kembali rasa kantuk dengan secangkir teh hangat, lalu niat itu harus terurungkan karena mendapati keberadaan Andreas yang terbaring demam di sofa ruang santai. Hingga berujung pada perdebatan sengit yang ter
Read more
45. Tetap Menyebalkan
Rena tak pernah bisa mengerti jalan pikiran manusia-manusia langka sejenis Andreas ini. Mengeluarkan kocek sampai setebal itu hanya untuk bayaran perawatan demam yang bahkan menggunakan lap dapur sebagai kain kompresnya, sungguh di luar nalar yang bisa diterima rakyat jelata seperti dirinya. Meskipun tentu saja uang yang diberikan Andreas bagaikan durian runtuh yang tak mungkin bisa ditolak Rena. Apalagi di tengah kondisi palit keuangan keluarga dan kebutuhan biaya berobat sang ibu. Hanya saja otaknya benar-benar tak sampai kalau dipaksa menyelami isi kepala seorang Andreas Pramoedya. Gadis itu mengambil ponselnya untuk menimbang-nimbang apa perlu meninjau langsung bahwa yang terjadi ini bukan ilusi semata, atau lebih parahnya lagi semua hanya bentuk cara lain Andreas membalas dendam dengan mengerjainya seperti sekarang. Cukup lama Rena tenggelam dalam kecamuk pikirannya sendiri, sampai akhirnya suara ketukan pintu kamar menyentak halus lamunannya. Mbok Irma berd
Read more
46. Sama-Sama Buta
Rena menatap ponselnya yang menampilkan layar kontak Andreas. Ia sedari tadi berkutat bimbang antara kata hati dan ego saling bergantian mempengaruhi isi kepalanya. Banyak pertimbangan yang ia lakukan untuk memantapkan niat menghubungi Andreas.  Selain ingin membahas masalah cek tunai yang pria itu berikan, di sisi lain ada kekhawatiran diam-diam menggerakan nuraninya untuk memastikan bahwa kondisi tubuh lelaki itu cukup mampu dibawa bekerja setelah demam tinggi semalam. Apalagi Mbok Irma sendiri yang mengatakan bahwa Andreas memang tidak terlihat baik-baik saja sewaktu berangkat dari sini pagi tadi. Rena berdecak ketika menyadari kebodohan apa yang baru saja ia lakukan. Kenapa pula ia harus memusingkan apa yang bukan menjadi bagiannya? Kesehatan Andreas atau apapun tentang kehidupan pria itu sama sekali tidak ada urusan dengannya.  Benar, tidak seharusnya Rena dipusingkan oleh sosok asing yang bahkan baru dikenalnya secara pribadi kurang dari satu
Read more
47. Luka dalam Kata
Derit pintu yang bergesekan dengan lantai terdengar nyaring di telinga Rena, sesaat tangannya mendorong kayu penghalang tersebut hingga benar-benar terbuka. Ruangan remang yang hanya diisi oleh titik-titik sinar matahari sore dari ventilasi di atas jendela, menyapu pandangan Rena ketika kakinya beranjak masuk. Udara pengap begitu terasa menyentuh indra penciumannya, khas ruangan yang terkunci rapat dalam jangka waktu lama.  Menyalakan mode senter pada ponsel, Rena mengarahkan cahaya bantuan itu pada sisi dinding di dekatnya untuk mencari saklar. Begitu berhasil menemukan apa yang ia cari, ruangan terang benderang oleh nyala lampu kamar sontak menyingkirkan keremangan sekitar. Rena pun mengamati sudut ruangan secara keseluruhan. Tempat ini jauh terlihat lebih mirip gudang penyimpanan barang bekas ketimbang kamar yang ia bayangkan. Di sisi kiri dari jarak pandangnya, Rena bisa melihat benda-benda berukuran besar saling bertumpukan berantakan tepat di sampi
Read more
48. Penangkal Mimpi
Andreas mengetuk-ngetukan jemarinya pada daun pintu bagian dalam mobil, menatap guyuran hujan menerpa kaca di sampingnya. Satu jam lagi dari sekarang konferensi pers akan diadakan, tapi Lukman sudah menjemputnya lebih dulu ke apartemen karena kondisi tubuhnya belum cukup pulih sepenuhnya diajak menyetir sendiri. Jalanan licin dan kepadatan lalu lintas Jakarta mungkin akan sedikit membuat perjalanan mereka terhambat. Untuk itu Lukman mempercepat kedatangan setengah jam lebih awal, karena si personal asistennya itu juga harus memastikan bahwa semua persiapan yang ada telah berjalan sebagaimana mestinya. "Pak Komisaris Utama tadi menghubungi saya, dia minta alamat tempat konferensi pers anda dilangsungkan, karena ponsel anda yang sedari tadi susah dihubungi. Kemungkin Beliau juga akan menyusul hadir di sana." Lukman membuka pembicaraan setelah keheningan melingkupi seperempat perjalanan mereka. Ia diam-diam melirik wajah Andreas yang masih terlihat sedikit pucat, meskipun demam
Read more
49. Dia yang Hancur
Rena menatap dreamcatcher yang berayun pelan dicumbu semilir angin sore. Tergantung pada jendela terbuka tak jauh di depannya. Ia merasa cukup puas walaupun tampilan benda itu tak secantik yang biasa ia temukan di toko-toko. Lagipula untuk ukuran pemula seperti dirinya, penangkal mimpi itu cukup terlihat mengagumkan meski hanya didesain ala kadarnya dengan alat dan bahan seadanya. Benang rajut, lingkaran kayu, solasi warna, lem tembak, gunting, dan bulu kemoceng, tidak sulit baginya menemukan kumpulan benda itu dengan sedikit bantuan Mbok Irma. Rena memeluk tubuhnya sendiri sembari merapatkan jarak pada jendela berkusen lebar di hadapannya. Membiarkan gerakan rumbai-rumbai piringan penangkal mimpi itu menyapu kepalanya saat kembali tertiup angin.  Berbanding terbalik dengan kamar yang ia tempati, ruangan ini tidak memiliki balkon luar dan hanya dihiasi empat jendela besar berdampingan menghadap langsung ke arah barat mata angin, memungkinkan sinar mataha
Read more
50. Keputusan Tanpa Penyesalan
"Saya mohon maaf atas semua kekacauan yang terjadi. Pemberitaan yang terlanjur menyebar luas dan menciptakan berbagai keresahan massa, murni sebagai kelalaian saya. Ke depannya hal serupa saya janjikan tidak akan terulang kembali." "Terkait kecelakaan dan kematian Istri saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kejadian ini. Harap untuk tidak menebarkan kabar menyimpang demi menghargai privasi rumah tangga kami dan juga nama baik almarhumah." "Dalam hal ini saya kembali menegaskan bahwa perihal kesalahan yang terlanjur menjadi konsumsi publik, semuanya adalah murni kelalaian saya. Pihak lain manapun yang terlibat ke dalam pemberitaan, tidak lebih dari korban yang ikut terseret ke dalam masalah yang saya ciptakan. Kasus ini akan saya jadikan cerminan diri dan perenungan agar tidak lagi bersikap gegabah di waktu mendatang." Rena mengakhiri cuplikan terakhir video klarifikasi berdurasi 20 menit dari link yang dikirimkan Mala melalui aplikasi pesan pribadi. Ia menyanggakan pung
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status