Semua Bab AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA: Bab 11 - Bab 20
117 Bab
Bab 11
Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico.   “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“   “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah.    “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas.   Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu.   “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya.   Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan
Baca selengkapnya
Bab 12
Anak kecil berseragam lusuh, dengan peluh dan debu di keningnya. Dia berlari ke rumah kecil di mana sang ibu sedang menyapu teras. “Kenapa kamu nangis, Nak?” tanya sang ibu yang menyimpan dulu sapu di tangannya. “Kenapa aku nggak punya bapak, Bu? Kenapa aku selalu disebut anak haram sama temen-temen?” rengeknya. Ningsih menghela napas dan mengusap puncak kepala anak itu. “Nggak usah hiraukan kata-kata mereka ya, Sayang. Sana ganti baju dulu, terus makan.” Albany kecil tak lagi melanjutkan pertanyaan, karena rasa lapar kini menyerang. Dia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Baju yang sama usangnya dengan seragam yanag tadi ia pakai. Ada sobekan yang dijahit di beberapa bagian. Makanan yang ia santap pun bukanlah makanan mewah seperti yang tersaji di rumah sang ayah kandung. Hanya tempe goreng dan ikan asin yang ada. Namun, anak itu tak pernah mengeluh. Yang dia
Baca selengkapnya
Bab 13
Hingga hari itu, sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Ningsih dan Albany saling melempar pandang. “Siapa?” gumam Albany. Matanya membulat saat melihat siapa yang datang. Laki-laki yang sering dia intip dari kejauhan, bersama wanita yang pernah mengusirnya waktu dulu. kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya. “Mas Hendro?” gumam Ningsih tak percaya. “Apakah dia itu ayahku?” tanya Albany dengan wajah suram. Ningsih menunduk tak berani menjawab. “Heh, sudah kuduga. Mau apa mereka ke sini?” ucap Albany dengan wajah tak suka. “Biar Ibu yang buka,” ucap Ningsih hendak bangkit, namun dicegah oleh sang putra. “Tidak usah, Ibu duduk saja. Biar aku yang menghadapi mereka,” ucap Albany. “Assalamualaikum,” ucap Hendro dari luar.
Baca selengkapnya
Bab 14
Dengan sikapnya yang acuh dan dingin, kini Zanna mulai sedikit menjaga jarak. Hati Albany mencelos, tapi justru itu yang diharapkan. Zanna tidak boleh terbawa suasana dan lalu mencintainya. “Nggak usah mengirimiku bekal, aku akan makan siang dengan Bu Amel.” Begitu katanya. Memang benar, kini Amel semakin sering mengajaknya makan siang dengan alasan sambil membicarakan pekerjaan. Lagi-lagi, Al tidak bisa menolaknya selama itu masih dalam batas wajar. Hingga hari itu, Albany tidak menyangka jika Amel akan berani mencumbunya. Saat itu, mereka sedang berdua di ruangan. Amel memperlihatkan desain dan denah. Albany memperhatikan dengan seksama. Perempuan itu semakin mendekat dan bahkan mereka bersisian. Albany yang merasa risih menggeser tubuhnya.  Lalu tiba-tiba, Amel menarik kerah Albany hingga posisi mereka kini berdempetan. Albany sungguh tidak menyangka jika atasannya itu begitu berani. Lelaki itu hendak mendorong, namun Ame
Baca selengkapnya
Bab 15
“Albany, kamu dimutasi ke unit RSF, ya,” kata Pak Tatang. “Di sana kurang orang. Mulai minggu depan kamu kerja di unit sana,” lanjut Pak Tatang. Albany menyanggupi, karena jarak unit pabrik yang disebutkan  atasannya itu justru lebih dekat ke rumahnya. Hari pertamanya di sana, banyak sekali karwati yang berdesas-desus tentang ketampanannya. Tak sedikit pula yang menitip salam untuknya pada Bu Narti. Namun, Albany hanya menanggapinya dengan senyum. Tak hanya karyawati operator, bahkan staff pun banyak yang bergunjing tentang ketampanan office boy baru itu. “Keren. Badannya juga kekar, kayak model,” bisik seseroang saat Albany lewat ke ruangan besar itu. Bagaimana tidak kekar, selama hidupnya dia bekerja berat dan kasar. “Hei, Al, kok bisa sih kamu jadi OB? Kenapa gak daftar jadi model aja?” tanya Ayu saat mereka bertemu di pantr
Baca selengkapnya
Bab 16
“Ayu, tolong ke sini, ada yang harus aku tanyakan sama kamu,” pinta Za. Gadis ceriwis itu langsung bangkit dari tempat duduknya menuju ke ruangan Za. “Iya, Bu Manager?” Ayu menyembulkan kepala di pintu sambil tersenyum. Zanna memberi kode agar Ayu segera masuk dan duduk di depannya. “Ini tolong kamu cek lagi sama Pak Ibnu. Di catatanku harga segini nggak masuk.” Za menunjuk angka-angka yang tertera di sales contract. “Ah, iya. Aku teledor,” pekik Ayu sambil menepuk jidatnya. “Terima kasih Bu Manager, kamu sudah menyelamatkan aku. Coba kalau sudah aku fax atau email sales contract ini, hancurlah aku,” ucap Ayu dengan nada yang lebay. Za hanya tertawa masam sambil geleng-geleng melihat tingkah temannya itu. Tok, tok. Sebuah ketukan terdengar di pintu. Zanna lan
Baca selengkapnya
Bab 17
“Pulangnya kemana Mbak?” tanya Al yang sedari tadi merasa risih karena dipeluk Ayu dari belakang. “Komplek Sentra Parahyangan. Kamu tau nggak?”  Ayu balik bertanya. ‘Wah lumayan jauh,’ bisik hati Albany. “Oh, iya. Itu kan komplek elite. Pasti banyak yang tahu,” jawab Al dengan suara samar karena terbawa desau angin. “Eh, Al, bisa nggak kamu nggak usah manggil aku pake mbak segala? Panggil Ayu aja, gitu?” Albany tak menjawab. Dia merasa risih dengan Ayu yang sok akrab.  “Al, kita makan dulu yuk. Aku laper, nih,” ajak Ayu saat melihat restoran favoritnya. Albany semakin tak nyaman dengan Ayu, karena seenaknya menumpang dan ngajak makan. “Eh, itu … gimana ya?” Albany merasa bingung mencari alasan. “Tenang deh, nanti
Baca selengkapnya
Bab 18
“Mbak bisa pulang sendiri nggak? Saya lagi buru-buru,” ujar Al pada Ayu. Wanita itu langsung memasang wajah masam. “Kamu tega banget ya, Al. Masa ninggalin cewek di tengah jalan, sih?” rengek Ayu. Albany mengusap wajahnya kasar dan menyugar rambutnya yang panjang. Dia terlihat kesal dengan tinngkah wanita yang terus mennguntitnya. “Mbak—“ Albany tidak jadi melanjutkan kalimatnya, dia lebih memilih mengantarkan Ayu hari ini dan akan mencari cara agar esook wanita ini tidak lagi mengganggunya. “Ayo naik,” ucapnya setelah dia memakai helm. Ayu terlonjak kegirangan karena merasa jika Al sudah mulai mau menerimanya. Ayu tanpa malu memeluk pinggang Albany dari belakang. Menghidu bau tubuh lelaki maskulin itu dan tersenyum sendiri.“Mulai hari ini, kamu adalah pacarku,” ucap Ayu percaya diri. Albany tersenyum masam
Baca selengkapnya
Bab 19
Seperti rencana semula, sepulang kerja Albany mampir ke rumah Pak Rosyid untuk membicarakan pembelian sayuran milik lelaki paruh baya itu. Beruntung bagi Al, karena dua hari ke depan, kebun kol milik Pak Rosyid akan panen. “Kira-kira berapa banyak, Pak?” tanya Albany. “Mungkin ada sekitar dua ton untuk panen besok. Gimana?” kata Pak Rosyid setelah mereka mencapai kesepakatan dengan harga. Lumayan, Albany bisa mendapatkan 2500 Rupiah dari setiap kilogram selisih dari harga jualnya pada bandar. Lelaki itu bersyukur karena bisa mendapat penghasilan lebih besar dari gajinya sebulan yang hanya 2 juta saja. “Baik, Pak. Saya ambil. Uang mukanya saya kasih   segini dulu,” ucap Albany menyerahkan sebuah amplop coklat. Uang tabungannya yang ia sisihkan selama ini. Tak banyak memang, tapi cukup untuk menjadi jaminan kepercayaan pada Pak Rosyid. Albany pulang ke ruma
Baca selengkapnya
Bab 20
“Please, Ron, kamu mulai mabuk,” tepis Za saat Ronald mulai berani mencium pundaknya. “Nggak Za, aku masih sangat waras dan bisa melihat kecantikanmu. Bagaimana kalau malam ini kita lanjut ke hotel?” bisik Ronald yang masih dapat terdengar oleh Al. Darahnya mulai mendidih. “Please Ron, aku tidak suka seperti ini,” tolak Za dan mendorong tubuh Ronald agar menjauh. “Ah, tunggu sebentar. Aku harus ke toilet dulu,” ujar Ronald dan bangkit. Za terlihat lega dengan kepergian lelaki itu. Dia melirik pada Al yang juga tepat sedang menoleh padanya. Tatapan tidak suka tergambar jelas di wajah lelaki itu. “Maaf, aku juga sepertinya harus ke toilet,” ucap Al dan beranjak pergi. Dia menuju arah yang ada tanda panah bertuliskan toilet. Sebelah kanan untuk wanita dan sebelah kiri untuk laki-laki. Kakinya berhenti m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status