All Chapters of Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu: Chapter 151 - Chapter 160
199 Chapters
Part 151. Ada Otak, Jangan Parkir Doang!
Wajah Ratna tampak pucat pasi, lipstik merah bata tipisnya pun tak mampu memberi rona pada wajahnya.Rasa ingin tahu pun tak bisa dipungkiri, mulutnya terasa gatal untuk mempertanyakannya."Dokter tahu darimana?" tanya Ratna sangat hati-hati. Ada rasa takut jika dokter itu tahu, bahwa Ratna lah pelakunya."Saya sempat menonton video senonoh itu. Dan, sempat kaget pas pertama kali ibu ini dipindahkan ke sini. Menurut pandangan saya, pasti ada sebabnya kenapa ada orang yang akhirnya tega menyebarkan video senonoh itu.""Akan tetapi, sisi lain, dari segi manusianya, jelas kita ada rasa kasihannya, terlepas dari salah yang dia perbuat."Ratna tampak menghembuskan napas lega. "Baik, dokter. Saya akan usahakan untuk menghubungi orang-orang yang sudah menyebar video tersebut.""Iya, Bu. Minta bantu sekali ya!" Ratna mengangguk, satu sisi dia bersyukur karena dr. Ratih tidak tahu jika dirinya lah yang menyebarkan video senonoh itu, tapi sisi lain rasa bersalahnya pada Laura semakin mendalam.
Read more
Part 152. Terancam Penjara
Sudah empat puluh lima menit berlalu, akan tetapi gemingan suara Dara soal rumah sakit jiwa yak kunjung hilang dari pendengaran Bram. Sampai-sampai membuat dirinya tak konsentrasi melanjutkan kerjaannya."Nenek lampir sialan. Kalau dia tahu kalau Laura yang masuk rumah sakit, tentu saja dia akan tahu bagaimana ceritanya. Sialan! Sialan! Yang ada nggak menutup kemungkinan kalau Ratna akan dilaporkan. Aku tidak ingin Ratna di penjara." Batin Bram bergejolak geram, membayangkan dapat buruk.Dia menyambar ponsel yang tergeletak di samping keyboard dengan kasar. Ingin menghubungi seseorang tampaknya dilihat dari gerak-gerik jarinya yang langsung menekan icon telepon."Ngapain lu nelpon?" serang Dara saat telepon tersambung.Bram mengepal kuat-kuat tangannya, "sabar … tenang ….""Kamu dimana?""Eh, tumben lu panggil kamu? Lu nggak lagi ngelunakin aspal 'kan?" tuduh Dara curiga.Mendengar tuduhan meski benar itu, Bram mengambil sikap tegas, dia menyerang Dara supaya tak ada sela curiga dari
Read more
Part 153. Tidak Aman Di Rumah
"Tenang, semua akan teratasi semuanya. Sekarang kamu tenang dulu. Satu jam lagi aku hubungi."Telepon mereka pun berakhir. Detik kemudian, tak lama Arjuna mengakhiri telepon dengan Ratna, Adi memberitahu jika semua video senonoh itu sudah di takedown semua."Terima kasih, ya. Kamu duluan saja pulang, saya masih ada urusan," jelas Arjuna."Kalau bapak mau saya temenin, saya bersedia, Pak. Atau bapak butuh sesuatu lagi?" tawar Adi yang begitu paham dengan apa dirasakan bos-nya itu.Seraya memijat pelipisnya, Arjuna pun menyahut. "Saya bisa atasi. Kamu sudah terlalu banyak membantu," tolak Arjuna secara halus.Sebenarnya, bukan dirinya tak ingin menerima tawaran Adi tadi, akan tetapi ada hal yang ingin dia timbang, dan ini privasi.Selepas Adi meninggalkan ruang kerjanya, barulah Arjuna menghubungi Ratna."Sekarang kamu siap-siap, ya! Siapin perlengkapan sekoper punya kamu dan sekoper punya Devina. Satu jam lagi aku sampai di sana!""Mau kemana, Mas? Sudah malam begini.""Ke apartemen, s
Read more
Part 154. Makin Panas, Kok Panas?
"Saya nggak menyangka jika Arjuna seorang pengkhianat. Padahal, saya sudah menaruh kepercayaan 100% padanya," ucap Bapak Jayanto Fento, selaku owner perusahaan tempat Bram dan Arjuna meraih kedudukan tinggi.Dia membaca dan mendengar dengan seksama setiap kata yang terucap dari mulut Bram yang begitu fasih dan meyakinkan dirinya."Saya juga sudah curiga sejak awal, Pak. Makanya, saya mengumpulkan bukti biar nggak disangka fitnah.""Oke, secepatnya saya akan menyingkirkan Arjuna dari perusahaan, dia memang tidak layak berada di perusahaan saya. Dan, saya akan memberikan kamu kesempatan untuk menggantikan Arjuna karena grafik kinerja kamu baik dan berprestasi.Mendengar apa yang dikatakan Bapak Jayanto sesuai dengan ekspektasinya, senyum Bram merekah sempurna."Bapak serius?" tanyanya pura-pura seolah tak menyangka akan apa yang dikatakan ownernya itu."Untuk kedudukan saya tidak pernah main-main," sahutnya tegas.Tak lupa Bram menyuguhkan sikap paripurna, paling menyanjung, sampai-samp
Read more
Part 155. Tegang, Euy! Moment Paling Ditunggu
Di restoran yang terbilang biasa owner dan direktur itu bertemu. Jayanto tampak hangat menyambut kedatangan Arjuna. Mereka berpelukan."Harusnya saya yang menunggu bapak. Ini malah kebalikan," ucap Arjuna seraya melepaskan pelukan."Ah, sama saja menurut saya. Silakan duduk!" pinta Jayanto.Arjuna menarik bangku tepat seberang Jayanto."Gimana kabarnya?""Sehat, Pak. Seperti yang terlihat.""Baguslah."Awal-awal sebelum menyantap hidangan yang mulai berdatangan, mereka saling berbasa-basi satu sama lain. Dan, ketika hidangan sudah lengkap di atas meja mereka pun menyantapnya.Tak butuh lama, setengah jam pun berlalu, senyum di antara dua petinggi ini pun semakin merekah terlihat."Saya usul, acara itu segera saja dilakukan. Saya eneg dengan tingkah dia.""Bagusnya kapan, Pak? Saya pun berpikir demikian, supaya suasana kantor kembali tercipta seperti sedia kala. Hawanya memang kurang nyaman. Tak sedikit dari karyawan yang berkeluh kesah pada saya akan sikapnya yang arogan dan otoriter.
Read more
Part 156. Pada Hitungan Ketiga
Pada hitungan ketiga, lampu pun dimatikan, bersamaan dengan diputarnya jejak rekaman."Bagaimana, Pak? Sekarang bapak sudah tahu 'kan bagaimana liciknya Bapak Arjuna selama ini. Bermain persen biar bisa cepat kaya," ucap Bram.Rentetan kata yang terucap dari mulut berbisa Bram setelah selesai menjelek-jelekan Arjuna dan menuduh direkturnya itu korupsi dari uang kerjasama.Dibalik pantulan cahaya rekaman video yang terputar, wajah Bram berubah 360°. Sorot matanya tampak tajam menatap Arjuna yang tersenyum."Huuuuuuuuu … yang licik nuduh licik."Mendengar sorakan yang sesuai dengan ekspektasi, MC pun memberhentikan pemutaran video sementara."Para hadirin harap tenang, videonya belum usai." Suara MC membuat sorakan tadi terhenti seketika."Mari kita lanjutkan ya! Simak baik-baik!"Rekaman video pun berlanjut dalam keremangan."Saya melakukan hal ini karena saya tidak ingin bapak terus-terusan menjadi korbannya. Padahal bapak sudah percaya penuh pada perusahaan ini. Jangan sampai karena
Read more
Part 157. Kejadian Naas
"Pak, semuanya udah pada bubar!" ucap seseorang seraya memukul pelan pundak Bram yang masih bergeming.Bram tersentak dari lamunannya. Menyisir ballroom yang hanya ada hitungan orang saja."Oke, nggak perlu aku pikirkan mereka itu. Mungkin ini salah satu cara mereka mengambil muka di depan para klien yang diundang. Atau bisa jadi … Nggak! Aku harus mawas diri." Bram membatin."Dan, untuk urusan Ratna dan Devina akan aku temui esok hari. Semoga saja mereka sudah pulang ke rumah.""Ini bukan akhir segalanya."Bram berpura-pura memperbaiki dasi yang tak rusak, serta tampak mengatur napasnya. Tak berapa lama, Bram pun ikut meninggalkan ballroom yang menjadi saksi prestasi terbesarnya, malah sebaliknya, menjadi saksi kehancuran dirinya secara langsung. Meskipun tak ada satupun sikap arogan ataupun cacian dari Jayanto dan Arjuna.***"Saya ingin Bram dihabisi saat itu juga. Setidaknya, sebuah tamparan berhak dia terima," ucap Jayanto menggebu."Jangan, Pak. Tangan Anda terlalu berharga jika
Read more
Part 158. Berdamai Bukanlah Perihal Mudah
Tampak Arjuna berhenti mendadak, Jayanto pun merasa heran."Kenapa, Ar?" tanya Jayanto saat hendak melewati Arjuna."Ada perlu, Pak. Bapak duluan saja!" serunya.Jayanto yang dipegangi kedua bodyguardnya pun tetap melanjutkan langkah keluar dari hotel.Ratna terkejut seraya menatap lekat Arjuna."Kenapa, Mas?" tanyanya.Arjuna mengedipkan dua kali matanya lalu menggerakkan bola matanya ke arah samping. Ratna yang seolah paham pun langsung membungkuk ke arah Devina."Na, mama sama Oom Arjuna ngomong di sana sebentar, ya. Nana tunggu di sini. Mama nggak lama."Devina mengangguk setuju. Keduanya pun langsung menjauhkan diri dari posisi Devina berdiri."Kenapa, Mas? Kamu jangan bikin aku makin deg-degan," bisik Ratna."Sorry. Soalnya aku baru ingat, kalau seandainya benar Bram yang tertabrak bagaimana?""Ya nggak masalah, mungkin itu sudah takdirnya," sahut Ratna cepat."Bukan, maksud aku bukan itu.""Lalu apa, Mas? Itu Devina ngelirik arah sini. Kamu mau ngomong apa sebenarnya?" desak Ra
Read more
Part 159. Ini Sudah Direncanakan, Bukan?
Arjuna tak langsung merespon apa yang ditanyakan Ratna. Dia melangkah agak menjauh dari teras IGD dimana Bram ditindak. Mata Wati yang menatap tajam turut menjadi salah satu alasan Arjuna memilih menjauh."Mas … Kamu masih disana 'kan?""Iya, aku masih disini. Ini lagi menjauh, soalnya mantan mertua kamu ngeliriknya tajam banget. Seram.""Udah disana mamanya Mas Bram? Siapa yang ngabarin?""Kayaknya tahu dari berita televisi, Rat.""Maksud kamu? Diantara wartawan yang ada di hotel tadi itu, ada yang siaran live?""Begitu sepertinya. Soalnya nyampe rumah sakit mama Bram tadi …."*"Oh, jadi kamu sengaja membuat anak saya malu secara terang-terangan. Hah?" Suara Wati menggelegar membuat semua mata yang ada di sekitar IGD menoleh ke sumber suara. Bahkan, ada juga yang mendekat saking penasarannya.Arjuna berusaha mengontrol emosinya. Meskipun Bram sudah begitu jahatnya pada dirinya, akan tetapi Arjuna tidak ingin meluapkan emosinya pada Wati."Sudah, Bu. Jangan main tuduh. Sekarang mendi
Read more
Part 160. Dipikir Nerima Doang Itu Gampang!
Tiga orang di sana saling menatap. Penuh arti.Mendapati tak ada sahutan dari lelaki yang memakai rompi kebesarannya itu. Wati kembali bersuara."Kenapa diam, Dok? Anak saya bagaimana? Lihat itu! Dia terdiam. Kenapa dia tidak bersuara?"Emosi Wati benar-benar tidak bisa dikontrol lagi. Tangisnya menjadi, suaranya makin menggelegar."Bu, sini ikut saya!" Sang perawat mendekat.Namun, Wati menjauhkan posisinya."Buat apa saya ikut? Kalian di sini belum menjawab apa yang saya tanyakan. Atau kalian ingin mengatakan jika anak saya sudah mati, begitu?" serang Wati.Bukannya marah ataupun terlihat emosi, sang perawat yang berwajah teduh itupun menggelengkan kepala."Pasien masih selamat. Akan tetapi, ada beberapa hal yang ingin disampaikan dokter sama ibu. Mari ikut saya!" ajaknya tak pantang menyerah. Sang perawat itupun memegang kedua bahu Wati, menuntunnya ke dalam sebuah ruangan.Dengan jantung berdebar tak beraturan serta emosi yang belum terkontrol dengan baik, terlihat dari irama napa
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
20
DMCA.com Protection Status