Semua Bab BESANAN DENGAN MANTAN: Bab 21 - Bab 30
85 Bab
21. Arif Patah Hati
"Saya terima nikah dan kawinnya Marini binti Abdullah. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan kalung emas lima puluh gram, dibayar tunai."Walau pun tampak tidak bersemangat dan bersuara lirih. Namun, Ginanjar mampu mengucap ikrar tersebut dengan lancar."Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu menoleh pada saksi dari pihak Ginanjar. Lalu menengok pula ke saksi dari pihak aku sebagai mempelai wanita."Sah!""Sah!""Alhamdulillah!"Bapak dan Juragan Ngarso terlihat begitu semangat saat menyahut pertanyaan Penghulu. Sementara seulas senyum selalu menghiasi bibir Ibu dan Nenek. Keluargaku benar-benar bahagia.Berbanding terbalik dengan hatiku yang terasa membeku. Hampa. Sama sekali tidak ada gairah. Karena bukan pada Ginanjar hati ini tertawan. Namun, demi bakti pada kedua orang tua khususnya Bapak, aku rela menerima."Barakallahu laka wa Baraka alaika wa jama'a bainakuma fi Khair!""Hentikan! Pernikahan ini tidak sah!"Teriakan lantang itu membuat aku menengok. Sosok Arif sudah menjulang
Baca selengkapnya
22
Ketika pemuda itu diseret pulang, Arif menoleh padaku. Lagi-lagi tatapannya menyiratkan kekecewaan. Membuat rasa bersalah kembali menyerang dada.Acara kembali berlangsung setelah kepergian Arif. Sehabis pembacaan sighat taliq talak oleh Ginanjar, acara dilanjutkan dengan walimatul ursyi.Juragan Ngarso memberikan uang seserahan dengan sangat banyak pada Bapak. Sehingga acara syukuran ini dapat terselenggara dengan baik. Baik papan dan hidangan semua memadai. Bapak bahkan mampu merenovasi rumah kami sebelum acara akad kami dimulai.Sore harinya, Juragan Ngarso langsung memboyongku ke rumahnya. Tentu saja aku tidak bisa menolak. Air mata ini tidak bisa di cegah saat pamitan pada keluarga semua.Kesedihan ini kian menggerus saat akan menaiki mobil. Dari teras rumahnya, tampak Arif memandangi kepergianku. Tatapannya kosong dan hampa.Namun, aku harus menguatkan hati kalau kami tidak berjodoh. Aku sudah menikah dengan Ginanjar. Sedangkan Arif akan ditunangkan dengan Sarita. Itu sebagai sy
Baca selengkapnya
23. Sikap Menyebalkan Ginanjar
"Terima kasih," ucap Juragan Ngarso lemah. Pria itu baru saja menelan obat yang kusodorkan. Sejak tiga hari lalu asma Juragan kambuh kembali. Namun, baru kali ini dirinya mau beristirahat."Kalo bukan aku yang ngawasi pabrik, siapa lagi?" ujar Juragan Ngarso pelan, "Anjar masih belum bisa diandalkan. Kerjone dolanan ae," imbuhnya terlihat kesal. Aku sendiri memilih diam sembari memberesi gelas ke nampan."Pie, kamu sudah periksa lagi belum?" Juragan Ngarso bertanya lagi."Periksa apa, Yang?" Alisku bertaut karena bingung."Ya, itu ... periksa kandungan." Juragan Ngarso lantas menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi goyang. Kursi tersebut lantas bergerak pelan, "mosok udah mau setahun nikah, kamu belum isi juga." Bibir keriput itu mengerucut. "Aku yo pengen lihat anak kalian sebelum ajal menjemput." Lelaki itu terbatuk pelan, "Anjar gak nyuruh kamu pake KB, toh?" tebaknya terlihat curiga."Mbonten, Yang." Aku mengelak pelan, walau dalam hati menjerit. Ya ... aku baru saja berbo
Baca selengkapnya
24. Menaklukan Ginanjar
Sore harinya, aku mulai menjalankan ide yang Mbok Narti perintahkan. Kubuka salah satu laci tempat Ginanjar menyimpan pengamannya selama ini. Masih ada beberapa bungkus. Aku buang benda tersebut jauh-jauh di tong sampah depan rumah.Kemudian pada malam harinya, aku memakai gaun tidur yang cukup mengundang. Ini sungguh tidak nyaman. Namun, demi tercapainya misi aku harus kuat menjalani.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Belum ada tanda-tanda Ginanjar akan datang. Biasanya aku sudah tidur dulu sebelum dia pulang. Dan kali ini aku harus kuat menahan kantuk.Kutunggu kepulangan Ginanjar dengan menyisir rambut di di depan cermin rias. Tidak lama terdengar bunyi pintu berderit. Ginanjar datang."Belum tidur?" Dia menyapa datar.Saat menoleh, matanya tampak menatapku heran. Aku melempar senyum manis untuknya. Perlahan bangkit untuk mendekat."Mau makan atau mandi?" tawarku lembut sembari melepas jaket kulitnya."Sudah semuanya." Anjar menyahut singkat. Dia membuka lemari
Baca selengkapnya
25. Anak Pertamaku
"Selamat, Bu, bayinya laki-laki dan ganteng."Perawat menyerahkan bayi mungil yang baru satu jam lahir ke dunia itu padaku. Kuterima dengan sangat hati-hati. Pelan kucium kening berwarna merah itu dengan lembut."Monggoh kalo bayinya mau diazani." Usai berkata demikian perawat itu berlalu."Mas Anjar mana, Mbok? Apa belum datang?" tanyaku sambil melihat pintu kamar. Berharap pria itu datang."Tadi sih belum datang, Mbak." Mbok Narti menyahut pelan, "coba saya tengok lagi ke depan, siapa tahu sudah datang," pamitnya kemudian.Wanita berkebaya kembang-kembang itu melangkah pergi.Aku sendiri sibuk menciumi putra pertama kami. Rasa sakit yang menghebat ketika kontraksi telah sirna berganti keharuan saat melihat wajah mungil ini. Bahkan perihnya jahitan oleh bidan sudah tidak lagi kurasa. Segala kesakitan dan perjuangan sudah terbalaskan dengan kebahagian.Gelak tawa dari pasien tetangga membuat aku menoleh. Sepasang suami istri itu tampak bahagia. Keduanya menciumi bayi mereka yang lahir
Baca selengkapnya
26. Akhir Kisah Masa Laluku
Tepat satu tahun usia Gading, Juragan Ngarso menghembus napas terakhir. Tentu saja aku sangat terpukul dengan kenyataan ini. Sudah tidak ada lagi orang yang bisa dimintai pertolongan.Dengan perginya Juragan Ngarso, sudah tidak lagi orang yang akan menegur Anjar. Pria itu semakin jauh untuk dijangkau olehku mau pun Gading.Anjar kembali pada kesenangannya, yakni melayab. Dia juga bergaul dengan orang-orang yang salah. Tiap hari pulang hingga dini hari. Berangkat ke pabrik semau sendiri. Dia mempercayakan usaha kakeknya pada orang lain.Terus seperti itu. Jika kuingatkan tentang pabrik dan tanggung jawabnya pada anak, Anjar akan marah-marah. Apalagi sudah tidak ada yang dia takutkan. Kini bahkan omelanya padaku sudah masuk tahap kasar."Kalo kamu masih saja cerewet, maka aku gak akan segan untuk menjatuhkan talak," ancam Anjar dingin saat kami sedang bertengkar, "kamu dan anak kamu bisa angkat kaki dari rumah ini kalo tidak suka dengan kelakuanku."Pengusiran itu tentu membuat aku keta
Baca selengkapnya
27. Sikap Gading
Sudah tiga puluh hari Gading resmi menyandang status sebagai suami dari Bunga. Namun, dalam rentang waktu tersebut kulihat belum pernah sekalipun lelaki itu berkunjung ke sang istri. Kini bahkan dia tidak lagi mengajarkan les pada Bunga."Kenapa setelah jadi suami kamu malah menjauh dari Bunga, Ding?" tegurku suatu pagi."Bukan menjauh, Bu, tapi lebih menjaga perasaan Nona saja," elak Gading kalem. Dia mengunyah nasi uduk yang kubeli dengan pelan. "Sampai sekarang Nona masih terlihat membenciku."Aku menghirup udara. "Beruntung kamu gak jadi nikahi dia, Ding," ujarku ikut sarapan."Lha bisa Ibu bilang begitu?" Mata Gading menatapku dengan pandangan tidak terima."Lah dia kekanak-kanakan begitu," sahutku tenang, "sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Wong pepatah juga bilang cinta itu tidak harus memiliki kok."Gading mendesah. "Ibu bilang begitu karena gak pernah merasakan patah hati.""Kisah cinta Ibu dengan mertuamu lebih tragis dari kisah cintamu dengan Mbak Nona lho, Mas." Gala
Baca selengkapnya
28. Galang dan Nona
"Kamu diam saja, apa gak kasihan?" Aku menegur pelan."Memang aku harus gimana, Bu?""Suruh Bunga gak usah ikut pengayaan. Kamu privat dia lagi," suruhku serius. Setelah menjadi suami istri, Gading justru tidak lagi memberikan Bunga privat. "Lho ... kamu mau ke mana?" tegurku begitu melihat Gading bangun."Mandi, Bu.""Sehabis makan malam kita tengok Bunga ya, Ding."Gading sontak menghentikan langkahnya. Dia berbalik lagi untuk menghadapku. "Aku capek banget, Bu." Anak itu menghela napas panjang, "habis ini juga masih sibuk membuat materi," imbuhnya meyakinkan."Tapi ibu sudah kadung beli mangga muda banyak untuk Bunga, Ding.""Bisa dimakan sendiri.""Ibu kan gak suka mangga muda," balasku mengingatkan, "sekalian nganter baju hamil buat Bunga.""Maaf, Bu, aku lagi sibuk dan sangat lelah," tolak Gading tidak bisa lagi dibujuk.Anak itu melangkah lagi menuju kamar pribadinya. Di jalan dia berpapasan dengan adiknya."Kenapa, Bu? Kok muka Mas Gading butek bangat?" tanya Galang saat mende
Baca selengkapnya
29. Menjenguk Bunga
EHEM-EHEMDehamanku membuat Galang menoleh. Pemuda itu terlihat salah tingkah."Ya udah nanti aku hubungi lagi," kata anak itu di telepon.[ ... ]Karena Galang tidak menyalakan loud speaker ponselnya, tentu aku tidak dapat mendengar suara dari seberang."Iya, nanti." Sekali lagi Galang terdengar berjanji. "Iyaaa ...." Galang kembali mendengarkan si penelepon. Sesekali dia tersenyum tipis padaku. "Bye!" Anak itu memutuskan sambungan teleponnya, lantas memasukkan benda pipih tersebut ke saku celananya."Ada apa, Bu?" tanya Galang menghadap ke cermin besar."Enggak, kebetulan lewat. Lihat kamu telepon dan rapi, memang mau pergi ke mana?" selidikku lembut."Ada mau ketemu teman, Bu." Galang terlihat tersipu. Anak itu menatap tatanan rambutnya, "biasanya Sabtu sore ibu nengok Bunga. Hari ini juga kan?""Hari ini ibu mau ajak Gading.""Memang Mas Gading mau?""Harus mau. Mosok sudah dua bulan nikah masih belum bisa menerima Bunga. Nona saja ibu lihat sudah muv-muv ...." Aku terdiam sejenak
Baca selengkapnya
30. Pengakuan Galang
Tidak lama Bunga menyusul. Anak itu langsung menatap sang suami dan kakaknya secara bergantian."Kenapa kamu menangis, Mbak?" Bunga menegur dengan dingin."Gak ada." Suara Nona terdengar parau."Masih belum terima kenyataan kalo Mas Gading adalah suamiku?" ejek Bunga terdengar sinis."Iya, kenapa? Masalah?" Tidak kusangka Nona akan menyergah sekasar itu."Masalah dong, lah Mas Gading suamiku," sahut Bunga tidak mau kalah. "Ingat, dia adik iparmu sekarang.""Iya itu karena kamu yang merebut dia dari aku!" Nona mengecam dengan berang. Matanya tampak merebak lagi, "silakan kamu kuasai karena aku sudah punya penggantinya!"Setelah itu Nona beranjak pergi dengan sedikit menghentakkan kaki.Aku sendiri lumayan terhenyak melihat tingkah laku saudara kandung ini. Memang wajar kakak dan adik itu terlibat cekcok. Tetapi tidak sepanas ini. Apalagi keduanya sama-sama perempuan.Tiba-tiba aku teringat Mas Arif. Dia orang yang bijak dan kalem. Kenapa kedua anak tidak ada satu pun yang mewarisi wata
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status