All Chapters of Ayah Untuk Anakku: Chapter 41 - Chapter 50
123 Chapters
41. Minta adik
Lima hari pasca operasi Vano, anak itu harus masih dirawat beberapa hari disana. "Endong-endong! Ano mau endong, Buna!" rewelnya pada ibunya yang baru saja masuk ke ruangannya bersamaan dengan Handa Raihan yang berjalan dengan selang infus yang masih bertengger nyaman di area pergelangan tangan. "Uhhh, anak Buna rewel sekali," ucap Rania menggendong Vano hati-hati, takut akan menyenggol bekas operasi yang masih sedikit basah. Di sampingnya, Hani membantu memperbaiki posisi infus Vano. Memang, anak kecil tidak akan lepas dari kebiasaan yang suka bergerak di masa pertumbuhannya. "Muah ... muah ... anak Buna paling tampan." "Ucu, Ano mau mimik ucu," pintanya pada Buna, membuat Rania menoleh pada Hani dan Raihan secara bergantian. Raihan menaikkan satu alisnya saat mendapatkan tatapan dari ibunya Vano. "Kenapa melihat ke arahku?" tanyanya saat itu, penasaran apa yang dipikirkan oleh wanita itu. "Aku tidak melihat Mas, kok," ungkap Rania Kikuk. Dia juga sebenarnya tidak bermaksud mena
Read more
42. Plin plan
Rania membantu Raihan melepaskan bajunya. Hari ini, dia yang membantu handanya Vano untuk mandi. Kabarnya, Jihan tidak bisa mengurus sampai sore, dia sedang ada acara dengan teman-temannya. Sekarang, mereka berada di dalam kamar mandi ruangan milik Raihan. "Aku ingin pipis, Rania," sebut Raihan yang tengah memperhatikan Rania menyiapkan alat mandi laki-laki itu. "Baik, Mas. Rania bantu Mas membuka celana baru keluar," balas Rania dan kini berganti posisi sedikit membungkukkan tubuhnya di hadapan Raihan. "Loh, kenapa keluar?" "Terus? Masa Rania harus melihat Mas pipis," tukas Rania dengan keheranan atas pertanyaan Raihan. "Memangnya kenapa? Mana tahu kita akan membuat adik untuk Vano," cakap Raihan dengan tidak masuk akalnya. Tidak peduli, dia memang tengah serius pada bunanya Vano. Rania menurunkan celana Raihan dengan kasar. "Mas sudah janji akan menerima semuanya. Mas sendiri yang memilih Jihan dan melepaskan Rania." "Kau cemburu?" "Tidak." "Aku akan bilang pada ibu dan aya
Read more
43. Lamaran Renan diterima?
Setelah hampir pukul 21.00, Rania dan Renan memilih untuk mengobrol di rooftop rumah sakit sambil menghirup udara malam yang sebenarnya tidak bagus untuk kesehatan. Namun, dari sanalah pemandangan ibu kota nampak terlihat, memandangnya dapat membuat pikiran tenang sejenak. Ada banyak obrolan yang mereka bahas atau saling bercanda ria tanpa peduli sekitar mereka. Hingga mereka memasuki topik utama yang sedari awal sudah direncanakan. "Bandung, lumayan jauh untukku …," ucap Rania sambil memandangi jalanan ibu kota pada malam hari dari atas atap gedung rumah sakit yang anaknya tempati. Renan tersenyum tipis, dia membuka jaket hitamnya dan dipasangkan ke tubuh Rania dari belakang. Lalu, tubuh Renan menempel pada punggung Rania. Kedua telapak tangannya bergerak menggenggam jari-jemari wanita yang ia cintai tersebut. "A-aku ingin membawa kalian, tapi Vano juga butuh sosok ayahnya …," kilahnya sambil menciumi puncak kepala Rania. Rambut wanitanya sangat harum, beraroma jeruk dan sangat m
Read more
44. Adik baru Vano
Alis Vano tertaut sempurna tatkala melihat bunanya sedang menggendong anak bayi yang disebut-sebut sebagai adik Ano. Sejak bunanya dan handa Enan membawa anak bayi tersebut, Ano merasa diabaikan. Apalagi adik kecil itu selalu diperhatikan dan diajak berbicara, ada rasa cemburu yang menyelimuti hatinya. Bisa-bisanya Buna Rania tidak memihak padanya lagi. Ingat saja tadi, Vano berbicara bahwa ia ingin dibelikan sepeda jika ia sudah keluar dari rumah sakit. Nyatanya, permintaannya ditolak karena Rania berkata Vano sudah punya adik. Jadi, dirinya tidak boleh meminta ini itu lagi karena buna akan membelikan adiknya saja mainan mulai sekarang. Buna dan handa Enan sibuk mengurus bayi laki-laki itu, sehingga Ano merasa tidak dipedulikan lagi. Berkali-kali mencoba mencari perhatian dengan tingkah-tingkah aneh yang bisa memicu atensi orang-orang, tapi tetap tidak mempan. "B-buna! Buna! Ano mau di endong!" pintanya pada buna. Matanya sedikit membulat karena adik kecil ikut menolehkan kepalany
Read more
45. Pernikahan tertunda
"Bagaimana dengan dua bulan yang akan datang?" tanya Danu pada anaknya, Jihan dan pada calon menantunya, Raihan. Haru yang ada disana, tampak mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kaca yang ada di depannya. Bahkan, air tehnya sudah tidak lagi beruap. "Jihan mengikuti saja, tergantung keinginan mas Raihan," jawab wanita itu dengan sopan, matanya sedikit melirik Raihan yang tampaknya sedang melamun. "Bagaimana denganmu, Raihan?" Danu mengalihkan pandangan pada Raihan yang jiwanya seperti tidak ada disana. Tidak ada jawaban, sampai akhirnya Jihan yang menyenggol lengan calon suaminya. "Mas!" "H-hah! I-itu," gagap Raihan karena kesadarannya sudah kembali lagi. Dia bingung, sudah sampai dimana pembicaraan mereka. Alhasil, dia menatap Jihan untuk mendapatkan jawaban. "Kau kenapa, Nak? Apa yang sedang kau pikirkan? Ini kita sedang membahas pernikahanmu," sela Haru. Dia tahu, pikiran putra sulungnya pasti sedang mengarah pada yan
Read more
46. Berpamitan
Malam itu di kediaman Rania Arsita, Renan ada disana menjenguk Vano dan berbincang serius dengan si pemilik mata indah nan manis. Renan sepertinya benar-benar akan pergi dan terpaksa berjarakan jauh dengan wanitanya mulai besok. "Aku akan merindukanmu, nanti," ucap Renan mengawali percakapan di antara keduanya. Tampak sayu-sayu ucapannya, seperti tidak ikhlas akan berjauhan dengan sang kekasih. Sudah dua minggu setelah kepulangan Vano dari Rumah sakit. Mereka sekarang sedang berada di balkon apartemen Rania sambil memandangi bintang yang tidak terlalu banyak, namun masih menghiasi langit malam dengan cantik. "Kau tidak akan berniat pulang kesini lagi?" jawab Rania dengan menembakkan pertanyaan yang membuat hati Renan menjadi membeku. Tentu, dia akan pulang karena belahan hatinya masih tertinggal penuh di Jakarta, wanitanya. "Aku akan mengusahakan untuk pulang di akhir bulan. Nanti, di waktu kepulanganku aku ingin melakukan kencan yan
Read more
47. Rahasia masa kecil
"K-kau tahu?" Rania menganggukkan kepalanya dan sedikit menggeser tubuhnya untuk berbalik menatap Renan yang ada di belakang punggungnya. Dia tersenyum saat melihat wajah Renan yang kebingungan. Rupanya, Renan benar-benar tidak tahu sampai sekarang siapa Rania. Sebelum mengatakan kebenarannya, Rania berusaha mengambil napas dan membuangnya pelan. "Renan, aku adalah putri dari Dirta Bagyo," ungkap Rania dengan pelan, dia tahu Renan pasti sangat terkejut mendengar fakta yang dituturkan oleh Rania barusan. Tas! Tangan Renan membeku dengan mulut yang membisu mendengar ucapan Rania. Sesuatu yang sangat membuat laki-laki itu tertampar dan mati rasa. "K-kau--" Rania mengangguk dan berdiri menghadap Renan dengan senyuman manis yang masih terpatri dari wajah kecilnya. "Aku, Akak Anya .…" Deg! Detakan jantung milik Renan kembali membludak lebih cepat dari sebelumnya. Dia awalnya menundukkan kepala dan mencerna apa yang dika
Read more
48. Memories
Bandung, 22 tahun yang lalu. Seorang wanita berusia 30 tahun tengah menatap anak bayinya yang sedang berada dalam gendongan hangatnya. Ada rasa iba melihat sang putra tampak berceloteh kecil dan asik dengan dunianya sendiri. "Aku menitipkan anakku padamu. Nanti, jika sudah waktunya, laki-laki brengsek itu akan menjemputnya." Wanita itu mengalihkan gendongan bayinya ke tangan Dirta. Ada sedikit tangannya bergetar, seperti tidak rela jika Renan kecilnya diasuh oleh orang lain untuk saat ini. "Anak laki-laki yang tampan. Nona, aku akan bilang pada tuan Aditama bahwa cucunya harus di beri marga Aditama. Marga Atmadja hanya akan membuatnya susah dikemudian hari," kelakar Dirta memberi saran pada ibu si kecil. Adisa tersenyum simpul dengan wajah pucatnya. "Terima kasih, Dirta," ungkapnya, enggan membahas marga apa yang akan diberikan untuk di kecil nantinya. Dirta hanya menganggukkan kepalanya, dia memahami perasaan Adisa. Setelahnya, Adis
Read more
49. Ada yang ditunggu?
Setelah dua minggu berada di Bandung, Renan melakukan pekerjaannya dengan baik sebagai seorang manager. Dia dibantu oleh Nindi yang menjabat sebagai asisten tuan Damar, penanggung jawab perusahaan Atmadja Groups di Bandung. Renan sangat diterima oleh orang-orang-orang disana, mereka menghormati Renan sebagai tamu istimewa. Bukan hanya sekedar karena dia anak pemilik perusahaan Atmadja Groups, dia juga dipuji karena kecerdasan otaknya yang mampu mengatasi permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini di perusahaan. Sore itu, di sebuah taman kecil yang cukup sepi, salah satu tempat paling nyaman untuk mengobrol sore hari dengan pasangan atau teman sebaya. Seorang pria dan wanita tengah bercengkrama di dekat Sungai tersebut. Mereka sesekali tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang diciptakan wanita itu. Mereka terlihat sangat bahagia dan saling melepas penat akibat pekerjaan di kantor yang sangat padat dan membuat lelah. "Kau memang sangat lucu ya, Nindi," u
Read more
50. Handukan
"Bukannya dia terlihat cocok dengan wanita cantik itu? Sangat serasi daripada dengan wanita yang memiliki dua anak." Rania memasukkan foto-foto tersebut ke dalam amplopnya dengan tangan yang sedikit kaku. Foto yang menunjukkan kedekatan Renan dan Nindi. Ada sedikit rasa kecewa dan cemburu di saat bersamaan, tapi jika memang itu pilihan Renan, Rania juga tidak bisa berbuat banyak. Matanya yang sayu mulai terpejam karena perasaan hatinya yang sudah gundah. Kini, handphone-nya bergetar di atas nakas, sebuah pesan masuk terpampang dari Haru Atmadja. Laki-laki itu selalu membuat hati Rania tak tenang, ada saja yang ia coba lakukan agar Rania menjauh dari putra-putra Atmadja. 'Putra-putraku tidak beruntung jika bersama denganmu. Lihat sendiri, gadis cantik itu yang pantas jadi menantuku. Jangan buta, lihat bagaimana Renan lebih senang berada disana bersama wanita itu. Biar aku kasih tahu padamu, kau itu tidak pantas bahagia, kau hanya kotoran yang memenuhi bumi ini.'
Read more
PREV
1
...
34567
...
13
DMCA.com Protection Status