Bab 26Kereta api jurusan Surabaya itu terus melaju ke arah timur, Air mataku masih meleleh memikirkan Mas Irfan yang sudah menyempatkan waktunya untuk menemuiku, namun tidak bertemu.Penyesalanku tiada habisnya, seharusnya kiriman chat dari Mas Irfan segera kubuka, supaya tahu kalau yang berdiri di stasiun tadi, yang terlihat sepintas olehku adalah Mas Irfan, bukan orang lain.Tanganku merogoh tisu yang kusimpan di dalam tas, kususuti air mata yang tidak bisa kuhentikan. Jilbabku juga sudah basah bercampur air mata dan ingus. Wajakku kuhadapkan keluar, pura-pura melihat pemandangan sawah, sehingga wanita di sebelahku tidak curiga. Padahal pandanganku kabur, air mataku menganak sungai.Kenapa ponsel Mas Irfan tidak bisa kuhubungi?Sengaja dimatikan karena marah? sebab aku tidak membuka chatnya? Atau memang mati karena baterai habis.Bisa jadi baterainya habis, sebab Mas Irfan sering lupa. Hampir setiap malam aku selalu mengingatkan, bahkan aku yang mencolokannya. Kembali kususuti
Bab 27"Walaikumssalam" balas keduanya, sambil berdiri. Kedua tangan mereka memyambutku, aku langsung menghambur kepelukan bapak dan Ibuk bergantian. Mata bapak kelihat merah, ibuk juga berkaca-kaca. Air mataku sudah menganak sungai.Kami semua kangen. Kelihatan dari pelukan mereka kalau kedatanganku sangat ditunggu. Kucium punggung tangannya satu persatu. Walaupun senyumannya mengembang, sorot mata mereka seperti mencari sesuatu ketika mas sopir pamit, setelah menurunkan barang bawaanku."Alhamdulillah, kamu bisa pulang," ucap mereka setelah kami saling berpelukan. Ibu menciumi seakan melampiaskan rasa rindunya yang selama ini ditahan."Kamu sendirian, Nduk," tanya bapak, masih celingukan setelah mobil carteran itu menghilang dari pandangan"Tumben, Nduk. Kemana suamimu?" lanjut ibu cemas.Aku menghabiskan minuman yang disodorkan ibu, lalu gelas yang sudah kosong kutaruh di atas meja."Oh, ya. Mas Irfan titip sungkem untuk bapak dan ibu. Gak bisa ngantar Dela pulang, karena mene
Bab 28"Yang." Terdengar suara Mas Irfan setelah kugeser tombolnya. Terlihat wajahnya yang hitam manis dengan senyum sumringah."Astaghfirullah aladzin!" teriakku kaget. Jantungku hampir copot melihat dilayar ada Mas Irfan. Aku mengucek kedua mataku. Ini mimpi, apa nyata, ya?"Tanteeee!" teriak bocil berambut kriwil yang membuatku sadar kalau ini bukan khayalanku, ini memang wajah Mas Irfan.Aku mengatur nafasku yang sempat berpacu dengan cepat. Bangun tidur tiba-tiba bisa melihat wajah suamiku dilayar pipih itu."Tante, dimanaaa," tanya balita cantik itu, dengan teriakan panjang."Tante di tempat Nenek Sragen," jawabku setelah bocil agak tenang. Setelahnya balita kriwil itu pergi, dia sempat melambaikan tangan."Yang, apa Sayang lihat setan? kok beristighfar? Lagian wajahnya pucat kaya gitu," Mas Irfan menatapku penuh seksama.Aku tersenyum malu, pasti wajahku acak-acakan. Kutarik kerudung warna biru yang menggantung didekat kursi, langsung kupakai."Udah gitu aja, cuma Mas, kok yang
Bab 29Kulihat, ternyata dari Diana. Aku berharap pesan dari Mas Irfan untuk meminta maaf atas nama ibunya yang sudah keterlaluan terhadapku. Berkata kasar dan tidak punya perasaan.Segera kugeser layar ponsel, lalu ku tekan atas nama Diana. Siapa tahu ada berita penting.[Sudah isi link, belum? Besok terakhir, Del] pesan dari sahabat yang peduli denganku.[Alhamdulillah, sudah, Di. Barusan] balasku.[Syukurlah, Ya udah kalau gitu] tulisnya lagi.[Cuma nanya gitu doang?] balasku kesal. Aku ingin komunikasi lebih, sepertinya dia lagi sibuk bersama sang buah hati.Terbukti, pesan terakhirku masih centang satu. Aku maklum dengan kesibukannya, lumayan dia masih mau mengingatkanku.Kuletakkan ponsel begitu saja, hatiku masih pilu mengenang kelakuan ibu mertua terhadapku. Kuambil lagi ponsel, kugeser mencari nama Mas Irfan, tiba-tiba aku resah, kemudian kuletakkan lagi.Aku ingin sekali menghubungi, tetapi aku trauma, takut kalau ibu mertua yang menerima teleponku., Dikira aku wanita gata
Bab 30 Sebelum ibu menutup pintu meninggalkanku, aku meminta untuk memgantarkan ke kamar mandi, aku tidak kuat pergi sendiri. Selain kepalaku pusing, mata berkunang-kunang, perut juga mual. Ibu menuntunku. Sesampainya di kamar mandi, semua isi perutku keluar tanpa terkecuali. Dengan sabar ibu menunggu sampai selesai, takut kalau aku jatuh, katanya "Terima kasih, Bu." Mataku mengembun. Kasih sayangnya tidak berkurang walaupun aku sudah menjadi istri orang. Lebih-lebih kalau aku pulàng ke Sragen, apalagi kalau sedang sakit seperti ini.Bahkan kadang diperlakukan seperti masih anak-anak. Makan ditungguin, tidur ditemani, mau apa saja diambilkan, diantar kemana-mana. Kalau pergi tidak segera pulang, perasaan mereka was-was.Beda rasanya kasih sayang Ibu kandung dengan ibu mertua. Ibu mertuaku sama sekalai tidak ada rasa sayangnya. Namun, sebaliknya aku menganggap ibu mertua juga seperti ibu kandungku sendiri, kuhormati dan kusayangi."Gak main-main, ini sakitmu. Nduk!" Kata Ibu cema
Bab 31 Kulihat jam ketika mengirim pesan dari Mas Irfan. Oh, tadi aku ketiduran waktu menunggu kabar darinya. Aku kesal sekali.Kubaca lagi pesan selanjutnya.[Yang angkat teleponnya, aku jadi gilaaa kalau gini caranya][yang, kemana aja] dan masih banyak lagi, dengan kalimat yang sama. Aku tertegun, ternyata sudah puluhan kali dia menghubungiku. Kutarik nafas panjang, lalu kuhempaskan pelan.Sebaiknya aku saja yang akan menghubungi, toh belum malam sekali. Biasanya jam segini Mas Irfan berada di bengkel. Kadang mengerjakan sesuatu, entah itu lembur atau memberesi motor bututnya yang dimodivikasi. Ada saja yang dikerjakannya.Kutekan nomor yang kutandai dengan nama suamiku.Sekali, tidak diangkat, dua kali, tiga kali, sampai lima kali, masih tidak diangkat juga. Aku khawatir kalau sampai berkali-kali Ibunya yang mengangkatnya. Kuketik juga pesan balasan.[Mas, kemana aja sih, Mas susah dihubungi juga][Mas Irfan, Mas Irfan...]Akhirnya aku lelah, hape kusingkirkan jauh karena
Bab 32"Mas, ini Ibu." Benda pipih itu kuserahkan ke Ibu.Kubiarkan mereka ngobrol sendiri, Ibu kelihatan senang walaupun agak canggung cara memegangnya. Setidaknya, biar Ibu tahu betapa mudah dan pentingnya memiliki ponsel di zaman yang serba canggih ini."Sudah, Nduk." Ibu mengulurkan benda pintar itu, kemudian meneruskan masak. Aku pamit mlipir pergi ke kamar."Yang, kamu susah banget dihubungi," kata Mas Irfan dengan wajah cemberut, setelah Aku sampai di kamar."Sama, Mas juga. Ingin sekali Aku telepon, tetapi aku takut Ibu yang terima. Nanti marah-marah lagi kaya kemaren," kataku juga sambil cemberut. Ceritanya Aku ngambek sama Mas Irfan."Maaf, Yang. Kejadian kemaren memang tidak tepat. Maafkan Ibu, ya. Jangan diambil hati, please.." Tangan Mas Irfan yang satu mengatup di dada. Perasan mana yang tidak luluh kalau melihat suami sudah memohon supaya memaafkan ibunya.Dalam hati Aku kesal, tetapi kalau sudah begitu, rasanya meleleh. Mas Irfan memajukan bibirnya minta di cium, kute
Bab 33POV IRFAN Aku tertegun dengan kalimat Ibu yang ditujukan pada Dela, begitu menyakitkan. Apa lagi Ibu langsung merebut gawai dari tanganku, sebenarnya itu perbuatan yang tidak baik. Namun, dia ibu kandungku, aku tidak mau melawannya."Fan, kamu tahu to, kalau Ibu masih membutuhkan tenagamu untuk bantu Nungky ngurusi pembayaran di kasir? Malah sayang-sayangan, apa kamu sengaja nggoda Ibu, biar kesal," maki Ibu.Aku mengacak rambutku yang sudah mulai gondrong, kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku bingung mau menjawab apa, tidak sanggup kalau harus membantah perkataan Ibu."Iya, Bu. Apa salahnya Irfan menyapa Dela," kataku pelan, sangat hati-hati."Sudah! Jangan banyak alasan. Cepetan sana! Nungky butuh bantuanmu," perintahnya dengan tegas.Aku langsung ngeloyor menuruti perintah Ibu, menemani Mbak Nung menuju ke kasir, Fara menyambutku lalu menggelendot manja.Aku sadar, seperti inilah yang membuat istriku cemburu, Aku selalu membersamai keluarga kecilnya sehingga tidak heran