Bab 31 Kulihat jam ketika mengirim pesan dari Mas Irfan. Oh, tadi aku ketiduran waktu menunggu kabar darinya. Aku kesal sekali.Kubaca lagi pesan selanjutnya.[Yang angkat teleponnya, aku jadi gilaaa kalau gini caranya][yang, kemana aja] dan masih banyak lagi, dengan kalimat yang sama. Aku tertegun, ternyata sudah puluhan kali dia menghubungiku. Kutarik nafas panjang, lalu kuhempaskan pelan.Sebaiknya aku saja yang akan menghubungi, toh belum malam sekali. Biasanya jam segini Mas Irfan berada di bengkel. Kadang mengerjakan sesuatu, entah itu lembur atau memberesi motor bututnya yang dimodivikasi. Ada saja yang dikerjakannya.Kutekan nomor yang kutandai dengan nama suamiku.Sekali, tidak diangkat, dua kali, tiga kali, sampai lima kali, masih tidak diangkat juga. Aku khawatir kalau sampai berkali-kali Ibunya yang mengangkatnya. Kuketik juga pesan balasan.[Mas, kemana aja sih, Mas susah dihubungi juga][Mas Irfan, Mas Irfan...]Akhirnya aku lelah, hape kusingkirkan jauh karena
Bab 32"Mas, ini Ibu." Benda pipih itu kuserahkan ke Ibu.Kubiarkan mereka ngobrol sendiri, Ibu kelihatan senang walaupun agak canggung cara memegangnya. Setidaknya, biar Ibu tahu betapa mudah dan pentingnya memiliki ponsel di zaman yang serba canggih ini."Sudah, Nduk." Ibu mengulurkan benda pintar itu, kemudian meneruskan masak. Aku pamit mlipir pergi ke kamar."Yang, kamu susah banget dihubungi," kata Mas Irfan dengan wajah cemberut, setelah Aku sampai di kamar."Sama, Mas juga. Ingin sekali Aku telepon, tetapi aku takut Ibu yang terima. Nanti marah-marah lagi kaya kemaren," kataku juga sambil cemberut. Ceritanya Aku ngambek sama Mas Irfan."Maaf, Yang. Kejadian kemaren memang tidak tepat. Maafkan Ibu, ya. Jangan diambil hati, please.." Tangan Mas Irfan yang satu mengatup di dada. Perasan mana yang tidak luluh kalau melihat suami sudah memohon supaya memaafkan ibunya.Dalam hati Aku kesal, tetapi kalau sudah begitu, rasanya meleleh. Mas Irfan memajukan bibirnya minta di cium, kute
Bab 33POV IRFAN Aku tertegun dengan kalimat Ibu yang ditujukan pada Dela, begitu menyakitkan. Apa lagi Ibu langsung merebut gawai dari tanganku, sebenarnya itu perbuatan yang tidak baik. Namun, dia ibu kandungku, aku tidak mau melawannya."Fan, kamu tahu to, kalau Ibu masih membutuhkan tenagamu untuk bantu Nungky ngurusi pembayaran di kasir? Malah sayang-sayangan, apa kamu sengaja nggoda Ibu, biar kesal," maki Ibu.Aku mengacak rambutku yang sudah mulai gondrong, kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku bingung mau menjawab apa, tidak sanggup kalau harus membantah perkataan Ibu."Iya, Bu. Apa salahnya Irfan menyapa Dela," kataku pelan, sangat hati-hati."Sudah! Jangan banyak alasan. Cepetan sana! Nungky butuh bantuanmu," perintahnya dengan tegas.Aku langsung ngeloyor menuruti perintah Ibu, menemani Mbak Nung menuju ke kasir, Fara menyambutku lalu menggelendot manja.Aku sadar, seperti inilah yang membuat istriku cemburu, Aku selalu membersamai keluarga kecilnya sehingga tidak heran
Bab 34Narasi Dela Padma. -Hari ke 3 di Sragen-Setelah salat subuh aku izin ke bapak, tidak ikut ngaji karena kepalaku pusing, rasanya isi perut juga mau muntah. Entah kenapa tiba-tiba seperti ini. Apa bawaan bayi, ya? batinku.Ibu menyiapkan segelas kacang hijau, dan susu. Juga ada roti tawar beserta selai kacang yang kubeli di pasar kemaren. "Sarapan, dulu, Nduk," titah Ibu. Aku mengangguk."Gimana pusingmu,?" tanya ibu lagi, sambil meletakkan tangannya di dahi. Aku hanya memincingkan mata, kemudian merem lagi.Entah kenapa aku malas untuk beranjak. "Sudah turun panasmu." Ibu memeras handuk kecil kemudian dicelupkan ke air hangat. Itu yang selalu dilakukan ibu sejak dulu jika aku mengalami demam.Terbukti panasku sudah turun. Untuk mengurangi rasa mual, aku ingat obat dari dokter. Tetapi aku harus makan terlebih dahulu, segera kusingkapkan selimutku.Dengan terpaksa aku turun dari ranjang. Kuambil sepotong roti tawar, kumakan sebagian, yang penting perutku sudah terisi. Setela
Bab 35Mas Irfan bingung ketika aku menunjukkan foto di galeri, hasil tespack yang kuambil kemaren. Disitu menunjukkan bahwa ada garis dua, yang artinya positif. "Maksudnya apa, Yang? Mata laki-laki kurus hitam manis itu membulat, senyumnya merekah.Aku senang melihat perubahan wajahnya, aku pun ikut terharu. "Jadi? Aku akan menjadi Papa?" tanyanya seakan tidak percaya.Aku mengangguk. Mas Irfan langsung bersimpuh bersujud syukur kepada sang pemilik hidup. Mataku berkaca-kaca melihat pemandangan yang indah ini. Akupun ikut bersujud syukur di sampingnnya."Aku akan mengabarii ibu, Yang," kata Mas Irfan, tangannya berusaha mengambil gawai yang ada di sakunya.Kutahan tangannya, aku tidak setuju dengan idenya. Bukan karena apa, aku ingin melihat sendiri apakah ibu mertuaku senang mendapat kabar bahagia ini. Atau bahkan julid seperti biasanya. Rasa tidak suka kepadaku kurasakan beberapa tahun yang lalu, sejak pertama kali aku menjadi menantunya."Jangan dulu, Mas, kita sampaikan ber
Bab 36Tidak terasa hari sudah sore, rumah dalam keadaan sepi. Pintu masih terkunci rapat, kuncinya masih ada di bawah pot bunga. "Bapak dan Ibu kok belum pulang, ya?" tanya Mas Irfan ketika tidak ditemui keduanya."Iya, nih, Mas. Nah, kalau tidak ada alat komunikasi, kitalah yang kesulitan. Kita tidak tahu Bapak dan Ibu sekarang ada dimana, susah mencarinya," timpalku.Ada sedikit rasa kawatir karena mereka dalam sedang transaksi, posisi bapak dipastikan membawa uang banyak. Aku takut kalau mereka terjadi apa-apa, batinku."Yuk kita salat dulu. Nanti kalau sampai mahgrib kita tunggu belum pulang, antar aku kerumah Pak RT ya, Mas," ajakku."Lapor pak RT?" tanyanya. Bola matanya berputar keatas, barangkali dia bingung kenapa harus lapor kesana.Aku gegas mengambil air wudhu karena waktu ashar hampir lewat. Entah tiba-tiba perasaanku tidak enak.Setelah salat berjamaah, aku bersimpuh mendoakan kedua orang tuaku. Kukirim semua doa yang terbaik untuk mereka. Ya Alloh, semoga tidak terjad
Bab 37 Aku sudah tidak sabar untuk mengetahui isi chat dari ibu mertua yang berderet itu, termasuk miscall dan vidio call. Namun, aku harus bersabar. Kalau tidak, aku sendiri yang ujungnya sakit hati.Sampai pagi Mas irfan juga tidak segera memeriksa ponselnya, barangkali aku sudah ada di sampingnya sehingga dia tidak merasa ada yang saling membutuhkan."Aman, Yang. Ada Kang Nono," begitu jawabnya ketika aku pura-pura menanyakan bagaimana keadaan ibu setelah ditinggal anak kesayangan sampai berhari-hari.Mas Irfan juga masih membiarkan ponselnya tergeletak di atas meja, kendati kabelnya sudah kulepas karena baterai sudah penuh. Bahkan dia dan Bapak sedang asyik membahas sepeda motor butut milik laki-laki yang menjadi cinta pertamaku itu.Antusias sekali kalau membicarakan motor lawas, itu memang hobinya dia untuk mengutak-atik. Sebagai menantu yang baik dia juga memeriksa motor milik bapak, bahkan dicuci sampai bersih.Dari balik cendela dapur aku bungah menyaksisan antara bapak d
Bab 38 Tiba-tiba pintu digedor dengan kuat, jantungku mulai berdebar tidak karuan. Pandangan kami saling bertemu, Mas Irfan merapatkan alis sambil mengangkat kedua bahunya, kemudian gegas membukan pintu yang menghubungkan rumah ibu."Tante ...!" teriak suara anak kecil yang tidak asing lagi ditelingaku."Faraaa!" sambutku, gadis kecil menggemaskan itu berlari memelukku, kemudian bergelayut manja ke Mas Irfan.Syukurlah, aku bernafas lega, kukira ibu mertua sedang marah karena anak kesayangannya pergi berhari-hari menjemputku.Mungkin kriwil dan keluarganya disuruh tidur di sini karena menemani ibu selama ditinggal anak bungsunya ke Sragen. Baguslah untuk menemani ibu. Aku membatin."Kamu lagi liburan nginep di rumah Nenek?" tanyaku sangat percaya diri, menghampiri sambil mengacak rambut kriwilnya.Kulirik Mas Irfan, sedang menyesap kopi yang sudah kuhidangkan di meja makan, matanya melihat layar datar yang sedang menyiarkan berita politik masa kini."Enggaklah Tan, kita pindah kes