Bab 29Kulihat, ternyata dari Diana. Aku berharap pesan dari Mas Irfan untuk meminta maaf atas nama ibunya yang sudah keterlaluan terhadapku. Berkata kasar dan tidak punya perasaan.Segera kugeser layar ponsel, lalu ku tekan atas nama Diana. Siapa tahu ada berita penting.[Sudah isi link, belum? Besok terakhir, Del] pesan dari sahabat yang peduli denganku.[Alhamdulillah, sudah, Di. Barusan] balasku.[Syukurlah, Ya udah kalau gitu] tulisnya lagi.[Cuma nanya gitu doang?] balasku kesal. Aku ingin komunikasi lebih, sepertinya dia lagi sibuk bersama sang buah hati.Terbukti, pesan terakhirku masih centang satu. Aku maklum dengan kesibukannya, lumayan dia masih mau mengingatkanku.Kuletakkan ponsel begitu saja, hatiku masih pilu mengenang kelakuan ibu mertua terhadapku. Kuambil lagi ponsel, kugeser mencari nama Mas Irfan, tiba-tiba aku resah, kemudian kuletakkan lagi.Aku ingin sekali menghubungi, tetapi aku trauma, takut kalau ibu mertua yang menerima teleponku., Dikira aku wanita gata
Bab 30 Sebelum ibu menutup pintu meninggalkanku, aku meminta untuk memgantarkan ke kamar mandi, aku tidak kuat pergi sendiri. Selain kepalaku pusing, mata berkunang-kunang, perut juga mual. Ibu menuntunku. Sesampainya di kamar mandi, semua isi perutku keluar tanpa terkecuali. Dengan sabar ibu menunggu sampai selesai, takut kalau aku jatuh, katanya "Terima kasih, Bu." Mataku mengembun. Kasih sayangnya tidak berkurang walaupun aku sudah menjadi istri orang. Lebih-lebih kalau aku pulàng ke Sragen, apalagi kalau sedang sakit seperti ini.Bahkan kadang diperlakukan seperti masih anak-anak. Makan ditungguin, tidur ditemani, mau apa saja diambilkan, diantar kemana-mana. Kalau pergi tidak segera pulang, perasaan mereka was-was.Beda rasanya kasih sayang Ibu kandung dengan ibu mertua. Ibu mertuaku sama sekalai tidak ada rasa sayangnya. Namun, sebaliknya aku menganggap ibu mertua juga seperti ibu kandungku sendiri, kuhormati dan kusayangi."Gak main-main, ini sakitmu. Nduk!" Kata Ibu cema
Bab 31 Kulihat jam ketika mengirim pesan dari Mas Irfan. Oh, tadi aku ketiduran waktu menunggu kabar darinya. Aku kesal sekali.Kubaca lagi pesan selanjutnya.[Yang angkat teleponnya, aku jadi gilaaa kalau gini caranya][yang, kemana aja] dan masih banyak lagi, dengan kalimat yang sama. Aku tertegun, ternyata sudah puluhan kali dia menghubungiku. Kutarik nafas panjang, lalu kuhempaskan pelan.Sebaiknya aku saja yang akan menghubungi, toh belum malam sekali. Biasanya jam segini Mas Irfan berada di bengkel. Kadang mengerjakan sesuatu, entah itu lembur atau memberesi motor bututnya yang dimodivikasi. Ada saja yang dikerjakannya.Kutekan nomor yang kutandai dengan nama suamiku.Sekali, tidak diangkat, dua kali, tiga kali, sampai lima kali, masih tidak diangkat juga. Aku khawatir kalau sampai berkali-kali Ibunya yang mengangkatnya. Kuketik juga pesan balasan.[Mas, kemana aja sih, Mas susah dihubungi juga][Mas Irfan, Mas Irfan...]Akhirnya aku lelah, hape kusingkirkan jauh karena
Bab 32"Mas, ini Ibu." Benda pipih itu kuserahkan ke Ibu.Kubiarkan mereka ngobrol sendiri, Ibu kelihatan senang walaupun agak canggung cara memegangnya. Setidaknya, biar Ibu tahu betapa mudah dan pentingnya memiliki ponsel di zaman yang serba canggih ini."Sudah, Nduk." Ibu mengulurkan benda pintar itu, kemudian meneruskan masak. Aku pamit mlipir pergi ke kamar."Yang, kamu susah banget dihubungi," kata Mas Irfan dengan wajah cemberut, setelah Aku sampai di kamar."Sama, Mas juga. Ingin sekali Aku telepon, tetapi aku takut Ibu yang terima. Nanti marah-marah lagi kaya kemaren," kataku juga sambil cemberut. Ceritanya Aku ngambek sama Mas Irfan."Maaf, Yang. Kejadian kemaren memang tidak tepat. Maafkan Ibu, ya. Jangan diambil hati, please.." Tangan Mas Irfan yang satu mengatup di dada. Perasan mana yang tidak luluh kalau melihat suami sudah memohon supaya memaafkan ibunya.Dalam hati Aku kesal, tetapi kalau sudah begitu, rasanya meleleh. Mas Irfan memajukan bibirnya minta di cium, kute
Bab 33POV IRFAN Aku tertegun dengan kalimat Ibu yang ditujukan pada Dela, begitu menyakitkan. Apa lagi Ibu langsung merebut gawai dari tanganku, sebenarnya itu perbuatan yang tidak baik. Namun, dia ibu kandungku, aku tidak mau melawannya."Fan, kamu tahu to, kalau Ibu masih membutuhkan tenagamu untuk bantu Nungky ngurusi pembayaran di kasir? Malah sayang-sayangan, apa kamu sengaja nggoda Ibu, biar kesal," maki Ibu.Aku mengacak rambutku yang sudah mulai gondrong, kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku bingung mau menjawab apa, tidak sanggup kalau harus membantah perkataan Ibu."Iya, Bu. Apa salahnya Irfan menyapa Dela," kataku pelan, sangat hati-hati."Sudah! Jangan banyak alasan. Cepetan sana! Nungky butuh bantuanmu," perintahnya dengan tegas.Aku langsung ngeloyor menuruti perintah Ibu, menemani Mbak Nung menuju ke kasir, Fara menyambutku lalu menggelendot manja.Aku sadar, seperti inilah yang membuat istriku cemburu, Aku selalu membersamai keluarga kecilnya sehingga tidak heran
Bab 34Narasi Dela Padma. -Hari ke 3 di Sragen-Setelah salat subuh aku izin ke bapak, tidak ikut ngaji karena kepalaku pusing, rasanya isi perut juga mau muntah. Entah kenapa tiba-tiba seperti ini. Apa bawaan bayi, ya? batinku.Ibu menyiapkan segelas kacang hijau, dan susu. Juga ada roti tawar beserta selai kacang yang kubeli di pasar kemaren. "Sarapan, dulu, Nduk," titah Ibu. Aku mengangguk."Gimana pusingmu,?" tanya ibu lagi, sambil meletakkan tangannya di dahi. Aku hanya memincingkan mata, kemudian merem lagi.Entah kenapa aku malas untuk beranjak. "Sudah turun panasmu." Ibu memeras handuk kecil kemudian dicelupkan ke air hangat. Itu yang selalu dilakukan ibu sejak dulu jika aku mengalami demam.Terbukti panasku sudah turun. Untuk mengurangi rasa mual, aku ingat obat dari dokter. Tetapi aku harus makan terlebih dahulu, segera kusingkapkan selimutku.Dengan terpaksa aku turun dari ranjang. Kuambil sepotong roti tawar, kumakan sebagian, yang penting perutku sudah terisi. Setela
Bab 35Mas Irfan bingung ketika aku menunjukkan foto di galeri, hasil tespack yang kuambil kemaren. Disitu menunjukkan bahwa ada garis dua, yang artinya positif. "Maksudnya apa, Yang? Mata laki-laki kurus hitam manis itu membulat, senyumnya merekah.Aku senang melihat perubahan wajahnya, aku pun ikut terharu. "Jadi? Aku akan menjadi Papa?" tanyanya seakan tidak percaya.Aku mengangguk. Mas Irfan langsung bersimpuh bersujud syukur kepada sang pemilik hidup. Mataku berkaca-kaca melihat pemandangan yang indah ini. Akupun ikut bersujud syukur di sampingnnya."Aku akan mengabarii ibu, Yang," kata Mas Irfan, tangannya berusaha mengambil gawai yang ada di sakunya.Kutahan tangannya, aku tidak setuju dengan idenya. Bukan karena apa, aku ingin melihat sendiri apakah ibu mertuaku senang mendapat kabar bahagia ini. Atau bahkan julid seperti biasanya. Rasa tidak suka kepadaku kurasakan beberapa tahun yang lalu, sejak pertama kali aku menjadi menantunya."Jangan dulu, Mas, kita sampaikan ber
Bab 36Tidak terasa hari sudah sore, rumah dalam keadaan sepi. Pintu masih terkunci rapat, kuncinya masih ada di bawah pot bunga. "Bapak dan Ibu kok belum pulang, ya?" tanya Mas Irfan ketika tidak ditemui keduanya."Iya, nih, Mas. Nah, kalau tidak ada alat komunikasi, kitalah yang kesulitan. Kita tidak tahu Bapak dan Ibu sekarang ada dimana, susah mencarinya," timpalku.Ada sedikit rasa kawatir karena mereka dalam sedang transaksi, posisi bapak dipastikan membawa uang banyak. Aku takut kalau mereka terjadi apa-apa, batinku."Yuk kita salat dulu. Nanti kalau sampai mahgrib kita tunggu belum pulang, antar aku kerumah Pak RT ya, Mas," ajakku."Lapor pak RT?" tanyanya. Bola matanya berputar keatas, barangkali dia bingung kenapa harus lapor kesana.Aku gegas mengambil air wudhu karena waktu ashar hampir lewat. Entah tiba-tiba perasaanku tidak enak.Setelah salat berjamaah, aku bersimpuh mendoakan kedua orang tuaku. Kukirim semua doa yang terbaik untuk mereka. Ya Alloh, semoga tidak terjad