Yara menggertakkan giginya penuh kebencian. Tidak lagi malu, dia membantu Yudha melepas baju dengan ekspresi tegas. Selanjutnya celana.Dia bangkit berdiri. "Buka sendiri celanamu.""Nggak mau." Sekilas ide jahat muncul di mata Yudha. "Aku nggak bisa berdiri, tolong bantu aku."Yara menatap wajah Yudha, lalu celananya, sambil berdebat keras dalam hati."Cepat, aku sudah ngantuk," desak Yudha.Yara menggigit rahangnya kuat-kuat dan akhirnya berjongkok lagi di hadapan Yudha dengan wajah pasrah.Dia segera memegang ikat pinggangnya dan membukanya setelah berusaha keras. Saat dia melepas celananya, dia melihat bagian tertentu di tubuh pria itu yang memamerkan diri tanpa malu-malu.Keduanya merona malu.Yudha mengambil bajunya tadi untuk menutup pangkuannya, lalu berkata dengan suara canggung, "Oke, sudah, sana cepat pergi.""Sudah dibantu, nggak tahu terima kasih!" Yara cemberut. "Ya sudah, tidur yang benar, aku pergi dulu."Dia berbalik pergi. Namun, begitu melangkah maju, dia dipeluk dar
"Kenapa?" Rasa kantuk Siska hilang lebih dari setengahnya dalam sekejap. "Kamu diapakan lagi sama Yudha?"Dia mengepalkan tinjunya penuh kebencian. "Dasar anjing busuk. Kamu bantu mengurus dia waktu dia mabuk, tapi dia berani macam-macam sama kamu?""Nggak." Yara berpikir sejenak, memutuskan untuk mengubah ceritanya, mengingat apa yang dilalui Siska hari ini. "Aku harusnya nggak mau waktu diajak tadi. Memaksakan diri nggak akan berbuah baik.""Ada apa sebenarnya?" Melihat dia ragu-ragu, Siska tahu dia tidak mengatakan yang sebenarnya. "Kalau kamu nggak mau cerita, aku marah.""Oke, aku cerita." Yara menarik Siska dan duduk di sofa. "Yudha demam sampai terlalu linglung dan mengira aku Melanie.""Apa?" Siska naik pitam. "Betapa butanya Yudha? Kamu dan Melanie seperti tuan putri dan kodok. Bagaimana bisa sampai salah?"Yara jadi ingin tertawa di antara kesedihannya. "Dia mabuk dan demam. Sebenarnya ... dia mungkin cuma memikirkan Melanie.""Sialan." Siska sangat marah. "Rara, jangan bilan
Yudha sebenarnya agak bingung.Di satu sisi, beberapa tindakannya tadi malam membuatnya merasa malu. Dia tidak ingin bertemu Yara lagi secepat ini. Di sisi lain, dia ingin mengundangnya makan. Mungkin karena didikan yang dia terima sejak kecil. Dia tidak ingin berutang pada Yara.Melanie segera memesan tempat di restoran dan mengirimkan waktu serta alamatnya pada Yudha. "Kirimkan ke Rara, dia pasti senang.""Oke." Yudha menggerakkan sudut bibirnya. "Melly, terima kasih.""Bicara apa kamu?" Melanie bergerak mendekat dan bersandar padanya. "Kita sebentar lagi mau menikah. Urusanmu adalah urusanku. Nggak perlu segan-segan denganku."Ketika dia menyadari sekilas kegembiraan di mata Yudha, diam-diam dia menggertakkan gigi.Hari ini, Yara tidur hingga hampir tengah hari. Begitu sampai di ruang tamu, dia melihat pesan dari Yudha.Dia ragu-ragu untuk menolaknya."Kenapa? Pesan dari Yudha?" Siska menebak apa yang terjadi saat melihatnya memegang ponsel dengan wajah dilema.Yara mengangguk.Pada
"Nona, untuk berapa orang? Sudah reservasi tempat sebelumnya?" Pelayan melangkah maju sambil tersenyum."Seharusnya sudah, tolong periksa atas nama Yudha Lastana." Yara ragu-ragu melaporkan nama Yudha."Yudha Lastana, betul?" Pelayan itu segera menemukannya. "Nona, silakan masuk. Pak Yudha Lastana memesan ruang terbaik di sini. Silakan masuk."Yara mengangguk. Dia tidak terkejut. Dengan status Yudha, dia pasti memesan tempat yang paling mahal."Nona, Anda pacar Pak Yudha ya?" Pelayan itu tampak iri. "Anda beruntung sekali. Pak Yudha pasti sangat mencintaimu."Yara menunduk malu-malu. "Sebenarnya ... saya istri Pak Yudha.""Oh, maaf, mataku buta." Pelayan itu menatap Yara dari atas ke bawah. "Sebenarnya, karena Nyonya masih terlihat sangat muda, seperti belum menikah sama sekali."Yara tersenyum dan tidak berkata apa-apa.Pelayan itu mengantarnya ke ruang pribadi yang dipesan dan pergi. Masih sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan, dan Yudha belum juga datang.Yara melihat sekelili
Yara hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia benar-benar tidak pernah tahu bahwa Yudha ternyata memperhatikan dia. Mungkin sudah kebiasaan seorang pebisnis.Keduanya berhenti bicara lagi.Yudha sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih kepada Yara karena telah merawatnya tadi malam. Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa, dia teringat akan kelakuan memalukannya tadi malam.Jika dia mengungkitnya sendiri, bukankah dia akan mengingatkan Yara?Yara tampak bingung saat dia melihat pria di seberangnya tampak berangsur-angsur memerah dari leher sampai telinganya. Seperti ... saat dia kepanasan tadi malam.Memikirkan kejadian tadi malam, Yara juga merasa malu dan segera mengeluarkan ponsel untuk mengalihkan perhatiannya.Restoran menyajikan makanannya dengan segera. Saat si pelayan kembali masuk, dia merasa seisi ruangan ini dipenuhi dengan suasana canggung dan ambigu.Bosnya mengirimkan anggur merah dan kue penutup. Setelah meletakkannya, pelayan mengangguk kepada mereka berdua dan segera pergi
"Yara!" Yudha tiba-tiba berdiri, memotong perkataan Yara.Dia berjalan selangkah demi selangkah. Kesabarannya sudah di ambang batas dan udara di sekitar dipenuhi kilatan amarah.Yara pun berdiri dan mundur ketakutan, selalu berusaha menjaga jarak aman dari Yudha."Kamu ingin tahu jawabannya?" ucapnya dengan nada dingin."Apa?" Yara masih agak marah. "Aku ingin dengar bagaimana kamu ingin menjelaskannya.""Apa yang ingin kamu dengar?" Pria itu mencibir, matanya penuh dengan rasa jijik. "Kamu ingin dengar aku tertarik padamu? Nggak bisa menahan diri?"Mana mungkin Yara berani memikirkan hal ini? Mendengarnya saja sudah membuat jantungnya berdetak lebih cepat seperti akan pingsan.Dia menelan ludah, tetapi sebelum terpikir apa yang harus dia katakan, pintu ruang pribadi itu terbuka."Nona Melanie, silakan masuk!: Pelayan itu berbalik ke samping dan menatap Yara dengan pandangan aneh.Tak lama kemudian, Melanie masuk sambil membawa boneka beruang besar. "Yudha, Rara, apa aku terlambat?"Yu
"Melanie!" Yara menatapnya marah. "Nggak peduli betapa menjijikkannya aku, nggak mungkin semenjijikkan kamu.""Oh ya?" Melanie menatap Yara dari atas ke bawah. "Ck, ck, kamu bahkan dandan dan pakai gaun. Siapa yang mau kamu goda?"Dia berkata penuh kebencian, "Yara, ingat harga dirimu dan menjauhlah dari Yudha. Kalau nggak, apa yang terjadi hari ini hanya akan menjadi hidangan pembuka saja."Yara mengeluarkan selembar tisu dan menyeka sudut mulutnya.Dia memuntahkan semua steak yang baru saja dia makan. Perutnya mual dan dia merasa sangat tidak nyaman.Dia tidak ingin makan steak lagi selamanya."Jijik!" Melanie mendengus dan melenggang pergi.Yara bersandar lemah di dinding, air mata mengalir tanpa sadar.Melanie benar. Dia memang tidak punya harga diri. Dia masih menyimpan ilusi tentang Yudha. Dia pantas untuk dipermalukan.Saat Melanie kembali ke restoran, dia melihat Yudha berdiri di depan pintu.Dia mengambil berlari ke depan beberapa langkah. "Yudha, kamu mau pulang? Bisa antar a
"Kak," Yara tersenyum dengan wajah lelahnya. "Lupakan saja urusan aku dan Yudha."Dia benar-benar lelah dan tidak ingin memberi Yudha kesempatan untuk melukai dirinya lagi."Rara, dengarkan aku. Yudha menceritakan padaku apa yang terjadi hari ini." Felix menatap Yara dengan mata sedih. "Dia juga nggak nyangka Melanie mau datang."Namun, Yara tidak merasa senang.Dia tersenyum pahit, "Terus? Kalaupun dia tahu, apa dia akan menghentikannya?"Felix tertegun sejenak, lalu segera berkata, "Rara, di sinilah letak kelicikan Melanie. Kamu jangan sampai jatuh ke dalam perangkapnya.""Perangkap? Kamu bisa melihatnya, 'kan? Apa mungkin Yudha nggak bisa melihatnya?" Hati Yara benar-benar sudah hancur lebur.Selama ini, bukannya dia tidak bisa mengalahkan Melanie. Hanya Yudha saja yang selama ini memihak Melanie."Rara, percaya kata-kataku. Beri Yudha kesempatan lagi. Beri kesempatan untuk anak-anak dalam perutmu juga." Kata-kata Felix terdengar berapi-api.Yara tetap diam dan tidak berbicara.Tiba