Share

Istri Kedua Sang Majikan
Istri Kedua Sang Majikan
Author: Author Tinta Ireng

Bab 1

"Panggil Alina, sekarang juga!" Seru seorang wanita kepada salah seorang asisten rumah tangga yang dari tadi sedang sibuk mengepel lantai di ruang tamu.

Mbok Sumi pun dengan patuh menuruti apa yang diperintahkan oleh sang majikan. Ia segera berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arah dapur untuk memanggil Alina. Seorang gadis muda yang baru 1 bulan terakhir ini bekerja bersamanya menjadi pembantu rumah tangga.

"Lina....Lin kamu dimana?" Triak Mbok Sum setelah sampai di dapur dan tidak menemukan Lina yang tadi saat Ia tinggal sedang mencuci piring.

"Cucian piring masih banyak gini, tapi si Lina kemana? gumam Mbok Sum berbicara sendiri.

Mbok Sumi menyusuri lorong menuju paviliun di belakang, paviliun yang di peruntukan untuk tempat tinggal para pekerja di rumah besar milik pasangan suami istri yang terkenal sangat kaya di kota. Dan benar saja dugaan Mbok Sum jika Alina berada di paviliun. "Tapi.....tunggu, kenapa dia menangis?" Mbok Sum segera menghampiri Alina yang sedang menangis dengan memeluk lutut tubuhnya yang mungil.

"Ada apa Lin?" tanya Mbok Sumi yang khawatir melihat Alina menangis.

"Mbok, Ibu..... Mbok.... Ibu masuk ke rumah sakit," jawab Alina sambil menangis. hiks hiks hiks tangis Alina pecah di pelukan Mbok Sumi yang selama ini sudah baik padanya.

"Ibu kamu sakit apa, Lin? 

"Ibu sakit jantung, dan kali ini ibu sudah harus di operasi, dan biayanya cukup mahal," kata Alina.

"Kamu tadi di panggil sama Nyonya Maria, sepertinya ada hal yang penting ingin di sampaikan, jadi hapuslah air matamu dan ayo kita temui mereka, karena mereka sudah menunggu kamu.

"A-apa? gumam Alina bingung dan ia takut jika nanti akan di marahin jika mungkin dia melakukan kesalahan.

"Tapi Mbok," Alina menahan tangan Mbok Sumi yang menggandengnya.

"Tidak ada apa-apa, ayo kamu temui Nyonya dan Tuan."

Alina mengikuti langkah Mbok Sumi dari belakang dengan di iringi perasaan yang takut, ia takut jika telah melakukan kesalahan yang tanpa ia sadari. Di satu sisi fikiran Alina tertuju pada ibunya yang sedang berjuang di rumah sakit, dan harus segera di operasi jantungnya. Tapi dari mana Alina mempunyai uang sebanyak itu untuk biaya operasi sang Ibu?

Alina menatap sekilas pasangan suami istri yang sedang duduk di sofa. Dengan anggunnya sang wanita yang tidak lain adalah Nyonya Maria duduk di sofa panjang dengan menyilangkan kaki kanannya sedang sang suami yang tak lain adalah Tuan Panji Kusuma duduk di sofa tunggal yang menghadap pada sang istri tercinta.

"Alina, apakah kamu tau, kenapa kami memanggilmu?" tanya Maria pada Alina yang terus saja menunduk.

"Ti-tidak Nyonya," jawab Alina hati hati dan terbata.

"Tatap mata saya, Alina! Saya Nggak suka lawan bicara saya terus menunduk," kata Maria sedikit meninggikan suaranya.

Alina adalah gadis yang sangat cantik dan masih muda, usianya masih 18 tahun. Menurut Maria kriteria Alina adalah yang terbaik untuk mengandung anak suaminya. Maria sudah menelusuri latar belakang, keluarga, pendidikan Alina jauh sebelum dia masuk ke dalam rumahnya. Awalnya sang suami sangat keberatan jika Alina adalah wanita yang di tunjuk oleh Maria untuk mengandung anak keturunannya. Akhirnya setelah mengalami perdebatan yang panjang dan alot, Panji pun mau menerima keputusan yang di ambil Maria.

Panji dan Maria adalah pasangan suami istri yang sudah lama menikah. Akan tetapi karena masalah kesuburan yang di alami oleh Maria sehingga ia tidak bisa mengandung. Harta, kekayaan yang melimpah tidak ada artinya jika tidak memiliki keturunan atau penerus. Hanya Alina lah yang cocok menjadi istri kontrak selama satu tahun buat Panji hingga Alina hamil dan melahirkan.

Maria menatap Alina dengan tajam hingga ia menyadari jika gadis di hadapannya itu bermata sembab tanda habis menangis.

"Kamu kenapa Lin?" tanya Maria pura pura tidak tau dengan masalah yang sedang gadis itu hadapi. Karena sesungguhnya Maria sudah tau masalah apa yang menimpa gadis itu.

"Saya tidak apa-apa Nyonya," jawab Alina pelan.

"Jangan bohong sama saya, ceritakan saja jika ada masalah! siapa tau kami bisa bantu."

Dengan linangan air mata Alina menceritakan semuanya pada kedua majikan yang dari tadi tak luput dari pandangannya.

"Berapa biaya yang kamu butuhkan?" tanya Maria kemudian dengan senyuman yang terbaik dari ujung bibirnya.

"300 juta buat biaya operasi ibu saya Nyonya," jawab Alina

"Baiklah, Saya akan memberikan uang sebesar 300 juta untuk biaya operasi Ibu kamu," Tapi, Maria menggantungkan kalimatnya.

"Ta-tapi apa Bu?'' tanya Alina

"Tapi itu semua tidak gratis, kamu akan mendapatkan lebih dari itu asalkan kamu mau menikah kontrak dengan suami saya dan mengandung anaknya," kata Maria menjelaskan dengan begitu santai.

"Gleeekk!"

Kedua bola mata Alina membulat sempurna , ia terkejut dengan permintaan sang majikan yang menginginkannya untuk menikahi suaminya dan mengandung anaknya.

"A-apa Nyonya sedang bercanda?" tanya Alina dengan hati hati.

"Tidak, tidak saya tidak bercanda tapi saya sangat serius."

"Gleeekk!"

Alina sudah tidak bisa berfikir lagi karena sejujurnya dia sangat keberatan jika harus menikah dengan majikannya sendiri. Tapi bagaimana dengan ibunya yang harus segera di operasi? Jika terlambat saja nyawa ibunya menjadi taruhannya dan Alina akan kehilangan orang tua satu satunya setelah kepergian Bapak dua tahun yang lalu."

"Berpikirlah, jangan sampai kamu menyesal karena salah melangkah." Ucap Maria kemudian bangkit dari duduknya. "Saya kasih waktu semalam buat berpikir dan secepatnya kamu ambil keputusan!"

**Maria dan Panji meninggalkan Alina yang masih mematung di ruangan tengah. Alina melangkah dengan gontai menuju paviliun. Dadanya terasa sesak mengingat keputusan yang harus dia ambil, karena keputusan itu bukanlah keputusan yang mudah.

"Aku harus bagaimana?" gumam Alina di sela Isak tangisnya.

"Nyonya dan Tuan adalah orang yang baik hanya satu kekurangan mereka, yaitu tanpa hadirnya seorang anak di tengah tengah kebahagiaan mereka." kata Mbok Sumi menenangkan Alina.

Di sebuah desa, seorang wanita yang sudah tidak muda lagi sedang terbaring lemah di salah satu kamar rumah sakit.

"Tidak ada waktu lagi untuk pasien bertahan tanpa operasi Dok," kata seorang perawat yang memeriksa tubuh Bu Nina.

"Cepat hubungi keluarganya! Kita harus segera mengambil tindakan," perintah dokter bernama Evan.

Di jakarta Alina yang baru saja selesai melaksanakan shalat isya. Ia melirik ke arah nakas yang diatasnya terdapat handphone miliknya yang berdering. Segera ia meraih handphone tersebut ternyata dari sang paman.

"Hallo, Paman!"

"....."

"Usahakan yang terbaik buat ibuku paman, soal biaya jangan khawatir," sahut Alina.

"....."

Sambungan telepon pun ditutup, Alina segera keluar kamar untuk menemui Nyonya dan Tuan yang masih berada di dalam kamar. Ia berjalan mondar mandir di depan kamar sang majikan. Tekadnya semakin bulat untuk mengetuk pintu kamar yang ada di hadapannya.

Tok.... tok.... tok.....

"Siapa?" tanya sebuah suara dari dalam kamar.

"Sa-saya, Nyonya."

"Ada apa Alina?" tanya Maria

Alina terdiam dan air matanya mengalir dari ujung netranya, seperti yang Maria duga Alina akan mau melakukan apa yang dia inginkan. Dengan menangkupkan kedua tangannya Alina memohon pada Maria untuk segera menolong ibunya yang sedang sekarat di rumah sakit.

"Tolong ibu saya Nyonya, saya janji saya akan melakukan apapun untuk kesembuhan ibu Saya." kata Alina lirih.

"Baiklah, kamu tunggu di sini!" kata Maria lalu meninggalkan Alina masuk ke dalam kamar.

Tidak lama kemudian Nyonya Maria keluar bersama Tuan Panji dengan membawa surat perjanjian kontrak yang harus di tandatangani oleh Alina.

"Silakan kamu tanda tangan di Surat ini!" kata Maria menyerahkan berkas formulir perjanjian kawin kontrak.

Dengan tangan yang gemetar Alina meraih berkas itu untuk segera di tandatanganinya. Tapi sebelum ia tanda tangan terlebih dahulu ia membaca beberapa poin penting yang tertulis di dalamnya.

" Sudah tidak usah di baca, langsung saja kamu tanda tangan! Ingat nyawa ibumu lebih penting dari semua isi perjanjian di dalam kontrak ini." kata Maria yang langsung menekan Alina untuk segera tanda tangan.

Maria tidak ingin Alina membaca isi surat perjanjian kontrak itu.

Alina melirik ke arah Tuan Panji yang hanya menatapnya datar. Ia sepertinya sangat kesulitan untuk menelan salivanya sendiri. Tatapan Tuan Panji sangat tajam membuat Alina menundukkan pandangannya kembali.

Setelah tanda tangan kontrak Alina berpamitan undur diri. Akan tetapi saat bangkit dari duduknya dan akan melangkahkan kakinya, sebuah suara bariton menginterupsi pendengaran telinganya.

"Tunggu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status