Semua orang nampak serius mengamati layar laptop dan kertas-kertas di hadapannya, tanpa kata aku lekas memasukkan kalung liontin jadul itu ke dalam tas kerja milikku, tak berselang lama pria blasteran Amerika itu kembali, dan kami langsung memulai acara meeting pagi ini.*Pulang dari kantor aku segera meluncur ke rumah mama mertua yang kini hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang tak lain adalah ART dan tukang kebun rumah itu."Adnan!" terdengar teriakkan Haris memanggil dari belakang."Ngopi dulu yuk," ujarnya saat kami sudah berjalan bersisian di parkiran.Dua bulan terakhir, nongkrong di sebuah cafe dan menikmati secangkir sampai dua Cangkir kopi merupakan rutinitas baru bagiku dan Haris.Sahabatku itu selalu menjadi pelipur lara kala diri ini kesepian dan tenggelam pada lautan derita masa lalu, terkadang ia juga membawaku ke sebuah pengajian di kala libur bekerja.Namun, pria yang berpostur tubuh tak jauh berbeda denganku itu selalu membuat hati iri, bagaimana tak merasa iri
Terpaksa aku membawa benda ini pulang, akan kucoba untuk membuka paksa benda ini di rumah."Bi, Mang, jangan bilang Tante Ajeng kalau aku sudah ke sini dan membuka kamar Elya.""Baik, Mas."Keduanya mengangguk tanda mengerti, gegas aku pergi dari tempat ini dengan perasaan puas, semoga ada sesuatu yang memberi petunjuk di buku rahasia ini.Di rumah, seperti biasa Sandrina sedang bermain dengan Haura, ada yang berbeda di wajah gadis itu, terlihat pucat dan letih sekali,mungkin karena dirinya sedang hamil muda ditambah harus mengasuh Sandrina, aku jadi tak tega."Pa, aku mau ketemu Om Gian sama Mama," rengek Sandrina, mendengar nama itu membuat hatiku panas seketika."Om Gian sudah pergi jauh, sedangkan Mamamu lagi sakit di rumah sakit, sudahlah jangan tanyakan mereka terus!" tegasku sambil berlalu meninggalkannya.Jika dia terus menerus mempertanyakan kedua pengkhianat itu lama-lama aku pun bisa membencinya, padahal setiap hari aku berjuang untuk bisa menyayangi tanpa dihantui oleh bay
Tangan ini bergetar hingga diary usang ini lepas dari genggaman, detak jantungku berpacu hebat, mengalirkan hawa panas dalam aliran darah, membentuk gumpalan amarah dalam kepala.Ternyata lelaki itu penyebabnya?! Dia yang sudah menghancurkan hidup pujaan hatiku, wanita yang teramat kucintai, walau usianya masih remaja, tapi ia tak seperti gadis lainnya, Elya sungguh berbeda.Kubuka lembar selanjutnya hendak membaca seperti apa perasaan hatinya saat melalui hari-hari yang suram.Namun, itu adalah isi curhatan terakhirnya, tak ada lagi tulisan tangan yang ia buat untuk menuliskan semua deritanya.Bukti ini belum cukup, bisa jadi Justin mengelak mengatakan tak pernah kenal dengan Elya, bisa jadi yang dimaksud bukan dirinya, banyak nama yang sama di dunia ini, aku faham hal itu."Halo, Adnan, kamu di mana?" tanya ibuku melalui sambungan telepon."Di rumah, ibu di mana?""Di rumah sakit, Nak, Melta ingin bertemu sama kamu," ujarnya membuatku tertegun.Haruskah aku menemuinya?*Untuk perta
Aku duduk di bangku yang berjejer, menyenderkan punggung sambil menatap langit yang berwarna biru, terbentang indah di atas sana.Hati ini jauh lebih sakit saat mengetahui kebenaran tentang Elya, di akhir hidupnya pasti ia begitu menderita, andai aku mengetahui sudah pasti akan menawarkan diri untuk menjadi penolongnya."Mas Adnan."Suara lembut seorang wanita menyapa, aku membetulkan posisi duduk, dan mengukir senyum seolah tidak terjadi apa-apa."Renata, kamu di sini?" tanyaku pada mantan istrinya Devan yang malang itu, entah kenapa setiap melihat wajah Renata hati ini diliputi rasa bersalah, ia menjadi seorang janda karena ulah mantan istriku sendiri."Iya, habis ngajak Rayyan dari dokter gigi, ayo salaman sama Om Adnan, Nak."Renata memperkenalkan aku pada putra pertamanya, bocah itu mencium takzim tanganku."Om ini yang suka ngasih uang dan mainan itu ya, Bun?" tanya Rayyan menatapku ceria."Iya, Nak, kalau sudah besar kamu harus dermawan kaya Om Adnan ya," ujar Renata memberikan
Dengan lutut yang lemas kuhampiri ibu, wajahnya terlihat sangat pucat, saat melihat kedatanganku ia sedikit terperanjat."Bu, ayo kita pulang bareng." Kutarik pergelangan tangan ibu."Dan Anda! Jangan coba-coba menyakiti hati ibu saya!" tegasku pada perempuan yang mengenakkan lipstik merah cetar itu, ia langsung menciut kala jari telunjukku berada di hadapan wajahnya.Di dalam mobil ibu masih diam, sekali-kali memandangku dengan tatapan aneh."Apa Ibu mau mengatakan sesuatu?" tanyaku dengan pandangan lurus ke depan."Apa kamu dengar ucapan wanita tadi?" tanya ibu lagi, aku hanya menganggukkan kepala, beberapa detik kemudian terdengar suara helaan napasnya."Dia itu salah sangka, Adnan, Ibu ga pernah jadi perebut suami siapapun," jawab Ibu lemah.Entahlah, itu cerita masa lalu dan sangat tak penting bagiku, yang terpenting sekarang bagaimana menata hidup untuk masa depan."Sudah, Bu, jangan merasa bersalah, aku percaya Ibu kok." Kuukir senyum agar ia percaya, bagaimanapun juga ialah or
Keesokan harinya sesuai keinginan ibu, kami berangkat ke kampung halaman Haura, ia bersikukuh ingin menemuinya karena merasa bersalah atas perbuatan putra bungsunya yang enggan bertanggung jawab.Setelah beberapa kali membujuk, Haura akhirnya menyetujui usul ibu, pukul tujuh pagi kami berangkat bertiga menuju kampung halamannya.Selama perjalanan Haura kerap kali mengeluh mual dan pusing, membuatku harus menghentikan mobil beberapa kali, dengan sabar ibu mengelus dan memijat tengkuknya.Semenjak ia tahu yang sebenarnya, wanita paruh baya itu memang lebih perhatian terhadap Haura, matanya selalu sendu saat melihat Haura.Tiga jam kemudian kami sampai di kampung halamannya, daerah ini masih segar dan asri. Namun, sudah banyak angkutan umum yang lalu lalang, intinya daerah ini pedesaan tapi jaraknya tak jauh dari kota.Sesuai petunjuk Haura, mobilku memasuki gank satu dan selanjutnya, jalan menuju rumahnya cukup rumit, beberapa kali bertemu belokan dan tanjakan, juga jalan yang menurun d
"Ibu," bisikku sambil menyentuh lengannya, ia masih diam terpaku bibirnya berat untuk mengucap kata, sedangkan hati ini penasaran siapakah pria itu hingga membuat ibu tercengang bukan main."Adnan, dia adalah ayah kandungmu yang dahulu meninggalkan kita demi wanita lain, dia yang membuat hidup kita susah bertahun-tahun lamanya," ucap ibu bergetar.Bagai petir yang menyambar, tubuhku diam mendadak kaku tak mampu menatap siapapun selain lantai rumah ini, ternyata ayahku masih hidup di muka bumi ini, ia belum terkubur dalam bumi seperti yang dikatakan ibu tempo hari."Ratna, di-dia ... anak kita?" tanya lelaki itu berjongkok di hadapan ibu.Sungguh aku tak mampu berada di dekatnya, goresan luka yang ia sayat begitu dalam hingga membuatku kehilangan kasih sayang sebagai seorang anak terhadap ayah."Dia anakku, lalu Haura, apakah dia juga anakmu?" tanya ibu sedikit ketusPertemuan ini teramat dramatis, pertemuan ini sama saja mengingatkanku pada beberapa tahun silam di mana aku dan ibu hid
Aku menggelengkan kepala, di saat seperti ini ia malah memikirkan kehormatannya sendiri, bukan memikirkan anaknya yang sedang membutuhkan sosok kedua orang tua."Aku ga tahu, dia masih dalam proses penyidikan belum menjalani sidang putusan berapa tahun lamanya dipenjara," jawab ibuku tenang.Kulihat Haura menangis sesenggukan, mungkin ia dilema harus berbuat apa."Kalau kamu ga mau terima Haura, biarkan dia tinggal bersamaku, soal biaya persalinan dan bayi itu jangan khawatir kami akan menanggungnya, seburuk apapun aku pasti tanggung jawab ga seperti suamimu itu, yang lari dari tanggung jawab."Luar biasa, hati ibu begitu mulia ia juga pandai dalam membalikkan fakta."Ayo Haura kita pulang lagi, biarkan aku merawatmu," ucap ibu pada Haura."Ayo Haura, mereka tak menginginkanmu, jangan khawatir kasih sayangku ga akan berubah hanya karena aku sudah mengetahui asal-usulmu, bayi yang ada dalam perutmu itu cucuku," bujuk ibu lagi karena Haura masih diam terpaku."Haura, ayo kita pergi aku