Flashback onn! "Hai?" Mendengar seseorang menyapa membuat Kinara yang hendak pergi terurung sudah. Dia berbalik saat suara itu kembali terdengar dengan memanggil namanya. "Kamu Kinar, kan?"Sebuah pernyataan yang berhasil membuat Kinara melotot. Bukan, bukan pada pertanyaan yang dia ajukan, melainkan wajah pria itu yang membuat Kinara terkejut. "Devan?" Kinara menyebut nama tersebut dengan raut tidak percaya. Dia bahkan menelan salivanya agak kasar tatkala pria itu berjalan lebih dekat pada Kinara. Pria itu terkekeh kecil. "Ku kira kau melupakanku setelah hari itu," ucapnya menatap Kinara teduh. Kinara merasa suasana ini tampak canggung, apalagi dalam pertemuan yang sudah lama ini.Devan Prasetya, teman masa SMA yang paling dipopuleri kala itu. Menjadi sorotan kaum hawa yang berhasil Devan labui. Akan ketampanan yang pria itu punya membuat pria itu sedikit besar kepala. Namun dibalik itu, Devan adalah pria yang dicap baik. Selain berprestasi pria itu juga disenangi oleh para guru
"Terakhir kali aku bertemu dengan seorang laki-laki, Mas. Dia ... temanku. Namun aku tidak merasa minum sesuatu, aku bahkan langsung pergi setelah pertemuan itu," ungkap Kinara akan kesadaran yang terakhir kali ia ingat. Setelah pertemuan itu rasanya Kinara langsung pulang tapi ... Kinara terdiam sejenak. Memikirkan satu hal yang terasa terlewatkan. Detik berikutnya Kinara tersadar, melebarkan pupil matanya tatkala kesadaran lain melintas dipikirannya. Sebelum itu, sebelum pembicaraan diantara keduanya berlanjut, Devan, pria itu menawarkan sebuah minum, dan memang saat itu Kinara meminumnya. Sedikit. Kenapa ia bisa melupakan hal itu? "Baiklah jika benar adanya. Mungkin kau lupa atas kejadian kemarin," sahut Aarav tidak ingin menuntut. Bagaimana pun ini hotel, pasti ada saja orang iseng yang tidak sengaja memasukan obat tersebut ke dalam minuman. Berakhir Kinara yang jadi korban atas minuman tersebut. Kinara hanya terdiam, tidak mungkin mengatakan kalau Devan sendirilah yang mun
Derttt DerrtttSuara dering ponsel terdengar tatkala Aarav tengah melakukan meeting dengan beberapa klien lain. Suara getarannya terasa di balik saku celananya membuat ia refleks melihat siapa yang tengah menelfon. Kinara. Aarav sedikit terkejut, namun kemudian ia menetralkan rasa keterkejutannya. "Untuk meeting sekarang kalian bisa berdiskusikan lebih dahulu, saya permisi sebentar," ujar Aarav dengan lugas. Dia segera pergi dari perkumpulan tersebut, kemudian mengangkat telfon tersebut setelah dirasa aman. "Iya?" Aarav langsung menyahut, padahal di sebrang sana Kinara belum memulai. "Assalamu'alaikum, Mas?" Suara lembut penuh kehalusan itu terdengar membuat Aarav mengulum bibirnya. Gugup. "Wa-wa'alaikumsalam. Maaf, lupa." Aarav meremas ponselnya untuk meluapkan rasa canggung ini. Karena ini adalah kali pertamanya berbicara di telfon dengan Kinara. "Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Aarav to the point. "Baik. Tidak lagi merasakan sakit.""Benar? Tidak bohong?""Benar, Mas. U
Tapi ... Aarav tersenyum tipis dalam menanggapi ucapan Kinara. Jika sudah begini bukankah hal yang bagus? Dengan begitu Kinara akan tahu bahwa suaminya itu tidak dingin-dingin amat, justru ada sisi lain yang memang selalu Aarav sembunyikan. Termasuk dari segi hatinya yang tidak ingin Kinara tahu. "Mas, yang kukatakan benar kan?"Aarav mengangguk pasti. Meyakinkan Kinara bahwa Aarav adalah pria yang sangat-sangat mencintai perempuan itu. "Benar. Yang kau katakan benar. Selama ini, bertahun-tahun lamanya, Aarav mencintai kamu Kinar."Mata Kinara melebar sempurna atas ungkapan penuh kejujuran ini. Kinara bisa melihat kejujuran itu di mata Aavar, bahwa yang pria itu katakan memang kebenarannya. Jangan tanyakan atas perasaan Kinara sekarang, jujur ... jantungnya semakin dibuat berdetak. Sangat. Terasa mendesir pula perasaannya setelah mengetahui kalau Aarav mencintainya? Bahagia? Jangan ditanya lagi! Ia benar-benar bahagia setelah mengetahuinya. Rasanya Kinara ingin bergulitik di jala
Tepat di sebelah kanan Kinara sosok suaminya tengah menatapnya dengan tajam. Membuat siapa saja akan dibuat ketar-ketir. "Mas?" Kinara beranjak dari duduk, namun bertepatan itu pula Aarav beranjak —berjalan menuju Kinara.Kinara hanya berdiri mematung, sedang Aavar malah asik makan, menghiraukan kondisi Kinara yang sudah tercyduk ini. "Mas … ada di sini?" tanya Kinara menatap intens Aarav yang sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa? Duduklah, makananmu masih banyak," ujar Aarav sembari matanya melirik pada piring milik Kinara. "Makasih." Aarav menepuk pundak saudaranya, kemudian ikut duduk di sebelah Kinara. Hanya sekalimat itu yang terlontar di mulut Aarav membuat Aavar menaikan sebelah alisnya. "Udah jagain Kinar." Seakan mengerti, Aavar hanya berdehem. "Udah tugas gue juga buat jagain Kinar kalau dia terjebak ke dalam masalah," jawab Aavar sembari melirik ke arah Kinara. Yang ditatap malah mengernyit alisnya, tidak mengerti. Aarav tersenyum tipis, lirikan matanya beralih pada
"Kinar?!" Sebuah teriakan dari belakang sana membuat Kinara menoleh. Dia, Aavar dan Vanzo—berlari menuju Kinara. "Apa yang terjadi?" tanya Vanzo tatkala pria berumur 60 tahun itu berdiri di hadapan Kinara. "Katakan Kinar, apa yang terjadi pada Aarav?" Aavar ikut buka suara, wajahnya kentara akan penuh kekhawatiran.Sebelum itu Kinara memang memberitahu pada Aavar setelah suaminya masuk dalam penanganan para dokter. Dan mungkin inilah alasan mereka datang ke sini. Kinara menggeleng pelan, ada tangis yang berhasil menumpuk di balik kelopak matanya. Siap menjatuhkan pertahanan yang ada. "Saya--saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Mas Aarav, Kek …." Sekuat tenaga Kinara membuka suara, walau ada perasaan takut akan keadaan Aarav saat ini. "Katakan saja apa yang sebelumnya terjadi diantara kalian berdua?" ujar Vanzo tak sabaran. Sungguh, ini baru pertama kalinya Aarav masuk ke rumah sakit setelah bertahun-tahun lamanya tidak. Membuat ia merasakan cemas akan cucunya itu. "Kinar, ten
15 tahun yang lalu.... "Ma ... sakit Ma ...." Suara ringisan penuh rintihan terdengar begitu pilu. Seorang anak kecil berumur 9 tahun terbaring tak berdaya di atas kasur king size."Mama .... sa--sakit," rintihnya semakin pilu. Meremas dadanya yang malah semakin terasa sakit. Merasa tidak ada sahutan apapun membuat anak laki-laki itu turun dari ranjang, merangkak pelan menuju pintu yang tertutup. "Tolong--jantung Aarav, s-sakit ...." Ya, dia yang tak lain Aarav. Merangkak pelan menuju pintu, berharap setelah dia keluar dari kamar ini ia bisa menemukan Mamanya. "Uhuk!" Semburat darah keluar dari mulut Aarav kala batuk menyertai. Terasa sakit, sesak nan terasa terhimpit. Pusing melandai kepala Aarav, sudah tidak kuat untuk merangkak menemui Mamanya. "S--sakit---""Ya ampun Aarav?!" Suara teriakan yang menggema membuat Aarav menjatuhkan tubuhnya. Bertepatan dengan itu Keila langsung menyerobot memeluk Aarav. "Ayah?! Aarav, Yah!" Teriakan memekkakan itu terdengar nyaring ke setiap ru
"Ma, kapan Aarav bisa sembuh Ma? Kapan? Aarav capek Ma." Aarav kecil menatap Mamanya dengan lesu. Rona merah yang menandakan habis menangis ia hiraukan begitu saja. Sudah hampir satu tahun ia di negeri orang tapi apa? Tidak ada perubahan sama sekali. "Ma, kata Mama Aarav bakal sembuh. Tapi kapan?" Aarav kembali menangis, tubuhnya semakin bergetar. Keila yang melihat putra bungsunya ini menangis tidak bisa menahan tangisnya yang ikut jatuh. Segera mungkin Keila memeluk tubuh Aarav yang begitu kecil ini. Lihat, bahkan tulangnya tampak tidak ada daging saja. Kurus kering. "Sabar ya sayang, Mama lagi usaha buat nyari pendonor jantung, Nak. Mama juga lagi usaha buat kamu." Keila mengusap-usap punggung anaknya. Menenangkan bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. "Untuk sekarang Aarav harus mau makan obat dan terapi jalan ya? Setidaknya dengan begitu Aarav bakal sembuh.""Mama bohong, bilangnya kalau Aarav minum obat Aarav bakal sembuh. Tapi, kenapa rasanya selalu sakit, Ma? Di sini ….