Tepat di sebelah kanan Kinara sosok suaminya tengah menatapnya dengan tajam. Membuat siapa saja akan dibuat ketar-ketir. "Mas?" Kinara beranjak dari duduk, namun bertepatan itu pula Aarav beranjak —berjalan menuju Kinara.Kinara hanya berdiri mematung, sedang Aavar malah asik makan, menghiraukan kondisi Kinara yang sudah tercyduk ini. "Mas … ada di sini?" tanya Kinara menatap intens Aarav yang sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa? Duduklah, makananmu masih banyak," ujar Aarav sembari matanya melirik pada piring milik Kinara. "Makasih." Aarav menepuk pundak saudaranya, kemudian ikut duduk di sebelah Kinara. Hanya sekalimat itu yang terlontar di mulut Aarav membuat Aavar menaikan sebelah alisnya. "Udah jagain Kinar." Seakan mengerti, Aavar hanya berdehem. "Udah tugas gue juga buat jagain Kinar kalau dia terjebak ke dalam masalah," jawab Aavar sembari melirik ke arah Kinara. Yang ditatap malah mengernyit alisnya, tidak mengerti. Aarav tersenyum tipis, lirikan matanya beralih pada
"Kinar?!" Sebuah teriakan dari belakang sana membuat Kinara menoleh. Dia, Aavar dan Vanzo—berlari menuju Kinara. "Apa yang terjadi?" tanya Vanzo tatkala pria berumur 60 tahun itu berdiri di hadapan Kinara. "Katakan Kinar, apa yang terjadi pada Aarav?" Aavar ikut buka suara, wajahnya kentara akan penuh kekhawatiran.Sebelum itu Kinara memang memberitahu pada Aavar setelah suaminya masuk dalam penanganan para dokter. Dan mungkin inilah alasan mereka datang ke sini. Kinara menggeleng pelan, ada tangis yang berhasil menumpuk di balik kelopak matanya. Siap menjatuhkan pertahanan yang ada. "Saya--saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Mas Aarav, Kek …." Sekuat tenaga Kinara membuka suara, walau ada perasaan takut akan keadaan Aarav saat ini. "Katakan saja apa yang sebelumnya terjadi diantara kalian berdua?" ujar Vanzo tak sabaran. Sungguh, ini baru pertama kalinya Aarav masuk ke rumah sakit setelah bertahun-tahun lamanya tidak. Membuat ia merasakan cemas akan cucunya itu. "Kinar, ten
15 tahun yang lalu.... "Ma ... sakit Ma ...." Suara ringisan penuh rintihan terdengar begitu pilu. Seorang anak kecil berumur 9 tahun terbaring tak berdaya di atas kasur king size."Mama .... sa--sakit," rintihnya semakin pilu. Meremas dadanya yang malah semakin terasa sakit. Merasa tidak ada sahutan apapun membuat anak laki-laki itu turun dari ranjang, merangkak pelan menuju pintu yang tertutup. "Tolong--jantung Aarav, s-sakit ...." Ya, dia yang tak lain Aarav. Merangkak pelan menuju pintu, berharap setelah dia keluar dari kamar ini ia bisa menemukan Mamanya. "Uhuk!" Semburat darah keluar dari mulut Aarav kala batuk menyertai. Terasa sakit, sesak nan terasa terhimpit. Pusing melandai kepala Aarav, sudah tidak kuat untuk merangkak menemui Mamanya. "S--sakit---""Ya ampun Aarav?!" Suara teriakan yang menggema membuat Aarav menjatuhkan tubuhnya. Bertepatan dengan itu Keila langsung menyerobot memeluk Aarav. "Ayah?! Aarav, Yah!" Teriakan memekkakan itu terdengar nyaring ke setiap ru
"Ma, kapan Aarav bisa sembuh Ma? Kapan? Aarav capek Ma." Aarav kecil menatap Mamanya dengan lesu. Rona merah yang menandakan habis menangis ia hiraukan begitu saja. Sudah hampir satu tahun ia di negeri orang tapi apa? Tidak ada perubahan sama sekali. "Ma, kata Mama Aarav bakal sembuh. Tapi kapan?" Aarav kembali menangis, tubuhnya semakin bergetar. Keila yang melihat putra bungsunya ini menangis tidak bisa menahan tangisnya yang ikut jatuh. Segera mungkin Keila memeluk tubuh Aarav yang begitu kecil ini. Lihat, bahkan tulangnya tampak tidak ada daging saja. Kurus kering. "Sabar ya sayang, Mama lagi usaha buat nyari pendonor jantung, Nak. Mama juga lagi usaha buat kamu." Keila mengusap-usap punggung anaknya. Menenangkan bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. "Untuk sekarang Aarav harus mau makan obat dan terapi jalan ya? Setidaknya dengan begitu Aarav bakal sembuh.""Mama bohong, bilangnya kalau Aarav minum obat Aarav bakal sembuh. Tapi, kenapa rasanya selalu sakit, Ma? Di sini ….
"Kita harus secepatnya mencari pendonor jantung untuk Aarav. Melihat kondisinya yang semakin memburuk besar kemungkinan dia tidak akan bertahan lama." Keila meremas ujung jarinya, resah. "Lalu, apa yang harus kita lakukan? Sejauh ini tidak ada yang mau mendonorkan jantungnya untuk kita, jikapun ada, tidak cocok," jawab Keila. Pria dengan stelan jas putih itu menghirup udara dalam-dalam. "Aku akan berusaha mencari pendonor. Jika tidak maka akan aku cari ke negara lain.""Tapi—" "Mama tidak perlu khawatir, Salil pasti akan temukan pendonor jantung itu. Mau bagaimana pun, dia adik Salil. Jadi, sudah kewajiban Salil dalam mengurus serta menjaganya."Salil Aland William, anak pertama Keila yang berhasil kabur dari kekerasan sang Ayah. Seseorang yang berhasil mengharumkan nama baiknya dengan kerja keras seorang diri. Tidak disangka, kepergian Salil waktu itu banyak membawa perubahan pada diri Salil. Kepergian beberapa tahun yang lalu membuat Keila putus asa. Bukan hanya Salil, tapi anak
"Kinar?""Heum?""Boleh saya bertanya?" Aarav menggenggam erat tangan mungil istrinya. Tatapannya sayu dalam menatap. Sebuah ingatan yang dulu tersimpan teringat kembali dalam pikiran. Membuat Aarav merasakan arti ketakutan itu untuk yang kedua kalinya. Jujur. Ia ingin panjang umur. Ingin membina rumah tangga dengan Kinara, seseorang yang selama ini ia inginkan kehadirannya. Semata-mata bukan karena jasa Ayahnya Kinara dahulu yang memintanya untuk menjaga dia, melainkan jiwa ini yang terasa sudah tertaut dengan hati Kinara. Tidak terasa, air mata dipelupuk mata Aarav jatuh juga. Membuat Kinara dengan segera menghapusnya. "Mas mau bertanya kan? Gak perlu menangis Mas," ujar Kinara dengan senyuman kecil. Kinara tidak tahu saja kalau tangisan itu tangisan akan ketakutan Aarav. Ada begitu banyak hal yang sekarang Aarav takuti. Pertama, Aarav takut jika mulai detik ini umurnya tidak akan bertahan lama. Seperti yang dulu-dulu. Walau dokter memberitahukan bahwa ini hanya gejala kecil ta
"Udah sehatan?" Satu pertanyaan dari Kinara membuat Aarav membuka matanya. Sebelumnya matanya masih mengerjap, namun suara lembut nan tenang yang terdengar berhasil mencuri perhatian Aarav. Untuk pertama kalinya, Aarav menyunggungkan senyum tatkala mata itu menatap objek yang amat indah. Siapa lagi kalau bukan istrinya.Kinara tersenyum menatap sang suami, ia duduk dengan menopang dagu. "Senyum Mas manis ya?" celetuk Kinara berhasil membuat bibir Aarav kembali menurun. "Eh, kok ilang? Padahal manis banget …," ujar Kinara menegapkan tubuhnya. "Mas, senyum lagi dong … masa cuman sebentar?" tanya Kinara mulai mendekat kembali. "Senyumnya cuman ke Kinar aja ya, jangan ke orang lain." Kinara mengulum bibir, tangannya bersiap menarik sudut bibir Aarav, namun sang empu dengan sigap menahan pergelangan tangan Kinara. "Kinar …? Kamu sehat?"Tak! Kinara sedikit memukul bahu Aarav, bibirnya sedikit naik pula. Mengerucut kesal. Berbeda dengan Aarav dia malah ingin tertawa melihat muka jutek
"Kalian … saling kenal?" tanya Aarav melihat keduanya. Tatapan yang sebelumnya terkunci diantara Kinara dan Devan membuat Aarav risih dibuatnya. "Tidak!""Tentu saja kenal."Jawaban yang berbeda membuat Aarav menoleh pada Kinara. Dia menuntut pertanyaan dari keduanya. Tatapan Aarav juga tertoleh pada Devan. Pria itu hanya menatap Kinara dengan tatapan yang sulit diartikan. "Turunkan pandanganmu Paman! Dia istriku!" kata Aarav tidak suka pada pandangan yang ditujukan Devan pada istrinya. Ya, Devan adalah pamannya—adik Darren. Atau anak terakhir Vanzo."Ayo keluar," kata Aarav pada Kinara. Kinara menurut, keluar dari mobil dengan perasaan gelisah. Terkejut pula akan kebenaran yang satu ini. Devan? Dia … pamannya Aarav? Gemetar sudah kaki Kinara kala tatapan Devan tertuju padanya. Entah apa arti dari tatapan itu,namun berhasil membuat jantungnya menciut. Kinara mendekat pada Aarav, memeluk lengannya dengan erat. Menghindari tatapan Devan yang sedari tadi mengarah padanya. Aarav mer