Dengan kesal, Arland memukul wajah tampan Arsan, "Sialan kau, Arsan! Jaga sikapmu!" hardik Arland membalas pukulan Arsan.Karena tidak terima, spontan Arsan membalas pukulan Arland dan mendarat dengan telak. "Oh, tidak! Apa yang kalian lakukan! Kenapa malah begini? Arsan? Kak?" ujar Marren dengan panik mencoba melerai.Marren dan Wira berusaha memisahkan keduanya dengan sekuat tenaga karena perkelahian mereka menjadi tontonan orang-orang yang ada di gedung bioskop dan pengunjung sekitarnya. Marren segera memeluk tubuh Arsan dan mendorongnya menjauh. Sementara Wira menarik lengan Arland menjauh.Akhirnya adu jotos itu pun benar-benar harus terhenti karena di datangi oleh petugas keamanan setempat yang menginginkan mereka berdamai dan mempersilakan mereka keluar dari dalam gedung, karena telah mengganggu kenyamanan para pengunjung. Dengan anggukan kepala Marren menyuruh Wira menyeret Arland pergi. Walau masih memandang dendam pada Arsan, Arland mengalah dan patuh saat Wira menarik p
"Marren, kenapa Saya merasa kamu sedang menuduh?" tanya Arsan menatap Marren dengan tajam. "Tidak Arsan, Saya sedang bertanya. Saya hanya bertanya kenapa kamu harus begitu marah pada hal itu? Hanya itu," sahut Marren dengan nada ketus seraya bersedekap dan membuang muka pada Arsan. "Dulu Saya juga pernah memanfaatkan Wira untuk mencari informasi tentangmu, bukannya Saya pernah cerita? Dan hanya sebatas itu, karena kebetulan perusahaan Papanya ada di bawah naungan Kakek. Saya hanya bertemu dua kali dengannya itu pun juga kami makan bersama keluarganya dan Kakek. Tidak ada kami jalan berdua, seperti Arland sekarang. Saya menghormatinya karena dia teman baikmu Marren, tidak lebih," papar Arsan menjelaskan dengan nada tegas dan menghela napas dengan berat. Hening"Tapi Arsan, apa kamu tahu, kenapa Wira tadi canggung? Karena dia memang pernah menyukaimu, dulu dia selalu menceritakan tentangmu dengan bangga, dia tahu segala sesuatu tentangmu yang bahkan Saya tidak mengenalimu...." ucap
Minggu siang Marren dan Arsan tiba di rumah dengan lelah dan mengantuk. Apalagi Arsan, karena malam itu la hampir sering terbangun karena Marren yang tidak bisa memejamkan mata barang sekejap pun. Mau tidak mau Marren terus menerus mengganggu tidur Arsan. Melihat kelesuan keduanya, Madya menawarkan kue buatannya dan minuman lemon dingin kesukaan Arsan, Arsan melahap potongan kue brownies dengan lahap di hadapannya dengan sesekali menahan kantuknya. "Mommy, ini tidak seperti yang Mommy pikirkan. Kami tidak tidur karena Saya merasa tidak nyaman tidur di tempat asing. Walau itu hotel bintang lima sekali pun," ucap Marren setelah meneguk es lemonnya karena menatap Madya yang terus saja tersenyum melihat keduanya yang terlihat kurang tidur."Loh, Mommy tidak bertanya apa-apa loh padahal? Kenapa Marren gugup begitu? Lagi pula memang apa yang Mama pikirkan?" ujar Madya dengan menahan senyumnya.Pertanyaan Madya sukses membuat wajah Marren memerah dan Arsan terbatuk-batuk karena tersedak.
Pagi itu.... Marren telah bersiap mengantarkan Arsan pergi bekerja didampingi oleh Madya. Mereka bertiga terlihat akrab mengobrol di ruang tengah hendak menuju lantai bawah ketika sebuah mobil sedan berwarna abu-abu memasuki halaman rumah.'wira datang pagi sekali? Apa dia sengaja agar Arsan melihatnya datang? Benar juga,' pikir Marren seraya memasang senyum di wajahnya. Ketiga orang itu menatap kedatangan Wira melalui kaca rumah yang transparan dan sangat besar yang mengelilingi hampir separuh dinding bagian depan rumah itu agar bisa menikmati taman yang ada di sekitar halaman dan samping rumah. "Ooo, itu Wira? Ada apa dia datang pagi-pagi begini sudah sampai ke mari?" tanya Madya menatap Marren berxgantian dengan Arsan. Arsan pun menunggu jawaban dari Marren seraya menatapnya. "Marren tidak tahu, Mom. Wira tidak memberi kabar apa pun," sahut Marren seraya melangkah cepat ke arah ruang tamu dan pintu masuk untuk menyambut Wira yang telah turun dari mobil Kedua sahabat karib itu
"Tidak Arsan, itu maksud Saya tadi berbicara dengan Wira, tidak bukan di rak yang itu, itu maksud Saya," papar Marren terburu-buru. "Memangnya buku apa yang sedang kalian cari?" tanya Arsan memastikan."Beberapa buku membangun manajemen sebuah bisnis retail dan sejenisnya," sahut Marren menggigit bibirnya karena berbohong seraya menatap sebuah buku yang berjudul Memulai Bisnis Retail di salah satu rak yang terlihat jelas di hadapannya. Terdengar Arsan bergumam untuk sesaat, sebelum akhirnya menunjukkan beberapa buku yang mereka cari ada di rak paling ujung lemari pertama. Seusai mengucapkan terima kasih akhirnya pembicaraan itu pun mereka akhiri. "Hampir saja. Terkadang Saya merasa Arsan itu seperti CCTV saja, seolah dia tahu semua yang Saya pikirkan," keluh Marren bersandar pada sofa dengan lernas. "Itu mengerikan, apa kamu tahu? Maaf maksudku, itu sama saja kamu seperti diawasi selama 24 jam tanpa jeda," sahut Wira menatap Marren dengan wajah penuh simpati dan membuat mereka sa
"Akulah yang harusnya bertanyal Kenapa kau ada di sini, Marren? Dasar perempuan jalang!" pekik Azel beranjak berdiri seolah bersiap memulai pertengkaran. Wanita itu tampak sangat kesal saat menatap Marren yang kini terlihat lebih cantik dan anggun dari sebelumnya. "Azel, jaga bicaramu!" bentak Arland yang berjalan dari lorong di belakang Azel hingga membuat wanita itu tersentak kaget. Melihat kedatangan Arland, semua terdiam dan menatap Arland seolah meminta penjelasan. Terutama Marren dan Azel. "Duduklah Marren, Wira, karena waktu kita tidak banyak. Dan kau Azel, kalau kau tidak bisa menjaga mulutmu dengan benar kali ini juga, jangan pernah berharap aku menolongmu lagi! Aku tidak peduli walau kau saksi yang sedang kucari" ucap Arland memerintah dengan tegas. "Saksi? Oh, pantas saja," sela Marren terkejut lalu menghela napas dengan kasar seraya duduk bersebelahan dengan Wira dalam sofa yang sama berseberangan dengan posisi Azel. Sementara Arlamd duduk di sofa tunggal d
Klik! Terdengar bunyi itu saat Arland menarik pengaman pistol tersebut yang membuat Azel terdiam bergetar ketakutan dan mulai berkaca-kaca."Aku tidak main-main, Azel," lanjut Arland dengan suara rendah namun terdengar sangat mengancam Azwl mengangguk berkali-kali dengan cepat tanda paham. Wanita itu mulai menangis, namun Arland tidak juga menjauhkan benda mengerikan itu yang kini menempel di pelipisnya. "Kak, Kak Arland. Tolong jangan begini, Kak, saya mohon tenanglah sedikit," bujuk Marren mencoba mendekati tempat duduk Arland perlahan-lahan. "Tidak apa-apa, Marren, aku taidk akan menarik pelatuknya jika ia mengatakan semua nama-nama itu," sahut Arland masih tetap menatap wajah Azwl yang mulai berkeringat dan bergetar hebat. Marren melirik Azel yang juga menatapnya dengan sorot mata memohon, tidak ada lagi kesombongan dan kejahatan di sana. Marren mendesah perlahan. 'Ternyata dia punya rasa takut juga, padahal baru beberapa detik yang lalu dia tetap saja bersikap sombong pad
Sepulang dari salon kecantikan, hari sudah menjelang sore, saat Marren sampai rumah. Wira yang menurunkan Marren di depan rumah tidak ikut masuk karena ia harus buru-buru pulang. Dengan langkah gontai, Marren berjalan menuju ke kamarnya setelah melihat ibunya yang masih terlelap dalam kamar. Marren menghela napas dengan berat dan melemparkan dirinya pada ranjangnya yang empuk. la kembali terngiang ngiang ucapan Arland diselingi ucapan Arsan tempo hari. 'Ternyata benar kata Arsan, Arland masih saja menginginkan Saya. Kasihan Wira, kalau dia sampai tahu niat Arland mendekatinya karena Saya. Atau jangan jangan ia sudah tahu? Makanya sepanjang jalan tadi dia lebih banyak diam. Benar! Bahkan tadi dia turun lebih dulu agar Saya dan Arland bisa berbicara berdua saja' 'Oh, tidak! Saya harus bagaimana ini? Apa yang harus Saya lakukan jika Rachel memang tahu ia hanya dimanfaatkan oleh Arland. Walau pun situasinya memang darurat, apakah saya harus diam saja dan membiarkan Wira menahan saki