Pagi itu.... Marren telah bersiap mengantarkan Arsan pergi bekerja didampingi oleh Madya. Mereka bertiga terlihat akrab mengobrol di ruang tengah hendak menuju lantai bawah ketika sebuah mobil sedan berwarna abu-abu memasuki halaman rumah.'wira datang pagi sekali? Apa dia sengaja agar Arsan melihatnya datang? Benar juga,' pikir Marren seraya memasang senyum di wajahnya. Ketiga orang itu menatap kedatangan Wira melalui kaca rumah yang transparan dan sangat besar yang mengelilingi hampir separuh dinding bagian depan rumah itu agar bisa menikmati taman yang ada di sekitar halaman dan samping rumah. "Ooo, itu Wira? Ada apa dia datang pagi-pagi begini sudah sampai ke mari?" tanya Madya menatap Marren berxgantian dengan Arsan. Arsan pun menunggu jawaban dari Marren seraya menatapnya. "Marren tidak tahu, Mom. Wira tidak memberi kabar apa pun," sahut Marren seraya melangkah cepat ke arah ruang tamu dan pintu masuk untuk menyambut Wira yang telah turun dari mobil Kedua sahabat karib itu
"Tidak Arsan, itu maksud Saya tadi berbicara dengan Wira, tidak bukan di rak yang itu, itu maksud Saya," papar Marren terburu-buru. "Memangnya buku apa yang sedang kalian cari?" tanya Arsan memastikan."Beberapa buku membangun manajemen sebuah bisnis retail dan sejenisnya," sahut Marren menggigit bibirnya karena berbohong seraya menatap sebuah buku yang berjudul Memulai Bisnis Retail di salah satu rak yang terlihat jelas di hadapannya. Terdengar Arsan bergumam untuk sesaat, sebelum akhirnya menunjukkan beberapa buku yang mereka cari ada di rak paling ujung lemari pertama. Seusai mengucapkan terima kasih akhirnya pembicaraan itu pun mereka akhiri. "Hampir saja. Terkadang Saya merasa Arsan itu seperti CCTV saja, seolah dia tahu semua yang Saya pikirkan," keluh Marren bersandar pada sofa dengan lernas. "Itu mengerikan, apa kamu tahu? Maaf maksudku, itu sama saja kamu seperti diawasi selama 24 jam tanpa jeda," sahut Wira menatap Marren dengan wajah penuh simpati dan membuat mereka sa
"Akulah yang harusnya bertanyal Kenapa kau ada di sini, Marren? Dasar perempuan jalang!" pekik Azel beranjak berdiri seolah bersiap memulai pertengkaran. Wanita itu tampak sangat kesal saat menatap Marren yang kini terlihat lebih cantik dan anggun dari sebelumnya. "Azel, jaga bicaramu!" bentak Arland yang berjalan dari lorong di belakang Azel hingga membuat wanita itu tersentak kaget. Melihat kedatangan Arland, semua terdiam dan menatap Arland seolah meminta penjelasan. Terutama Marren dan Azel. "Duduklah Marren, Wira, karena waktu kita tidak banyak. Dan kau Azel, kalau kau tidak bisa menjaga mulutmu dengan benar kali ini juga, jangan pernah berharap aku menolongmu lagi! Aku tidak peduli walau kau saksi yang sedang kucari" ucap Arland memerintah dengan tegas. "Saksi? Oh, pantas saja," sela Marren terkejut lalu menghela napas dengan kasar seraya duduk bersebelahan dengan Wira dalam sofa yang sama berseberangan dengan posisi Azel. Sementara Arlamd duduk di sofa tunggal d
Klik! Terdengar bunyi itu saat Arland menarik pengaman pistol tersebut yang membuat Azel terdiam bergetar ketakutan dan mulai berkaca-kaca."Aku tidak main-main, Azel," lanjut Arland dengan suara rendah namun terdengar sangat mengancam Azwl mengangguk berkali-kali dengan cepat tanda paham. Wanita itu mulai menangis, namun Arland tidak juga menjauhkan benda mengerikan itu yang kini menempel di pelipisnya. "Kak, Kak Arland. Tolong jangan begini, Kak, saya mohon tenanglah sedikit," bujuk Marren mencoba mendekati tempat duduk Arland perlahan-lahan. "Tidak apa-apa, Marren, aku taidk akan menarik pelatuknya jika ia mengatakan semua nama-nama itu," sahut Arland masih tetap menatap wajah Azwl yang mulai berkeringat dan bergetar hebat. Marren melirik Azel yang juga menatapnya dengan sorot mata memohon, tidak ada lagi kesombongan dan kejahatan di sana. Marren mendesah perlahan. 'Ternyata dia punya rasa takut juga, padahal baru beberapa detik yang lalu dia tetap saja bersikap sombong pad
Sepulang dari salon kecantikan, hari sudah menjelang sore, saat Marren sampai rumah. Wira yang menurunkan Marren di depan rumah tidak ikut masuk karena ia harus buru-buru pulang. Dengan langkah gontai, Marren berjalan menuju ke kamarnya setelah melihat ibunya yang masih terlelap dalam kamar. Marren menghela napas dengan berat dan melemparkan dirinya pada ranjangnya yang empuk. la kembali terngiang ngiang ucapan Arland diselingi ucapan Arsan tempo hari. 'Ternyata benar kata Arsan, Arland masih saja menginginkan Saya. Kasihan Wira, kalau dia sampai tahu niat Arland mendekatinya karena Saya. Atau jangan jangan ia sudah tahu? Makanya sepanjang jalan tadi dia lebih banyak diam. Benar! Bahkan tadi dia turun lebih dulu agar Saya dan Arland bisa berbicara berdua saja' 'Oh, tidak! Saya harus bagaimana ini? Apa yang harus Saya lakukan jika Rachel memang tahu ia hanya dimanfaatkan oleh Arland. Walau pun situasinya memang darurat, apakah saya harus diam saja dan membiarkan Wira menahan saki
Marren menatap A4san yang tidur pulas di sampingnya. Dengkuran halusnya mewamai suasana kamar yang terasa dingin oleh pendingin udara ruangan. Marren membenamkan wajahnya dalam dada bidang Arsan yang menghadap padanya. Wanita cantik berwajah sendu itu sesekali menatap wajah Arsan yang terlihat lelah. 'Arsan, suami tercinta... Sayang... Kamu sudah menang, kamu telah mendapatkan hati Saya, kamu telah mendapatkan cinta dan kasih sayang Saya. Andaikan semua yang Saya dengar itu bohong. Andaikan semua yang terjadi itu adalah palsu. Tapi... Oh, Tuhan... Kenapa Saya malah semakin mencintainya? Di saat semua kenyataan mulai terkuak, kenapa Saya tidak ingin jauh darinya? Ya, Tuhan, apa yang harus Saya lakukan?" jerit Marren dalam hati. Marren meraba wajah Arsan dari alis matanya yang hitam dan tebal, hidung yang panjang, mancung dan maskulin serta bibir yang padat berisi hingga wajah tirus yang membingkainya. Jambang tipis yang mulai tumbuh itu pun ikut di mainkan oleh Marren, la terse
Marren membuka mata dengan perlahan, kepalanya terasa berdenyut-denyut dan berat. la menatap ke sekeliling ruangan itu untuk memastikan dia ada di mana. Sorot matanya tertumbuk pada sosok Arsan yang duduk di tepian ranjang dengan wajah terlelap. Pria itu terlihat kelelahan. "Arsan? Oh, apa yang terjadi? Ini di kamar, tapi kenapa rasanya ada yang aneh, kenapa Arsan tidur sambil duduk seperti itu?" Marren kebingungan saat menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh siang. 'Seingat saya sedang minum coklat dan.... Oh, benar! Semua gelap dan Saya tidak ingat lagi apa yang terjadi. Dan sekarang sudah menjelang sore, apa Arsan sedang menunggui Saya? Apa dia tidak pergi bekerja?" pikir Marren dalam benaknya. Wanita cantik itu mengernyitkan wajahnya dengan kalut. Marren bergerak hendak bangun dan pergerakannya itu membangunkan Arsan dari lelapnya. Pria tampan itu tersentak bangun. "Sayang, kamu sudah bangun? Oh, Tuhan, syukurlah, Sayang," sahut Arsan menyentuh kening
Marren segera menutup mata kembali dan berpura-pura tertidur, agar la bisa leluasa mendengarkan pembicaraan keduanya."mommy, justru karena itulah Arsan tidak ingin membicarakan hal itu sekarang, karena Marren pasti akan semakin kalut," papar Arsan duduk di sofa setelah menghirup secangkir kopi di meja. "Iya, kamu benar, Nak. Tapi dengan dibicarakan, kita jadi tahu apa yang harus dilakukan supaya masalah yang sedang dipikirkan Marren bisa segera diatasi.Tapi, apa sebenarnya kalian ada masalah? Kalau boleh Mommy tahu?" ucap Madya mencoba memberi pengertian pada Arsan seraya duduk di sampingnya."Arsan sadar, mungkin Arsan terlalu mengekang dia, tapi, ini demi kebaikannya. Marren juga tahu apa alasan Arsan melakukan ini semua. Tetapi, entah kenapa akhir-akhir dia lebih pendiam setiap kali Arsan bersamanya. Seperti ada sesuatu yang Marren sembunyikan dari Arsan, Mom. Mungkin ini salah Arsan, makanya dia tidak mau berterus terang pada Arsan. Dia tidak pernah bersikap seperti ini sebe