Untuk mengusir ketegangan yang terjadi, Ikarus menarik Hera ke dalam dekapannya. Manik matanya terlihat gelisah dan Hera tidak tahu bagaimana cara menenangkan dirinya.“Ra…”Hera mendongak dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata suaminya. “Mm?”“Aku menyesal karena udah jujur sama kamu. Seandainya tadi aku nggak bilang, kamu pasti nggak akan segusar ini, kan?” Ikarus mengusap punggung Hera dengan lembut lalu mendaratkan kecupan singkat di keningnya.“Aku cuma… entahlah.” Hera menghela napas. “Nggak habis pikir kenapa Bima bisa sejahat itu dan dia dulu adalah tunanganku.”Ada perasaan bersalah yang mendadak hadir di hati Ikarus. Bukannya pria itu tidak ingin jujur dan menceritakan apa yang terjadi sebenarnya kepada Hera, hanya saja Ikarus tidak ingin membebani pikirannya. Kondisinya yang belum stabil membuat Ikarus membatasi diri untuk tidak mengatakan banyak hal yang akan mempengaruhi Hera.“Kita nggak pernah tahu kapan bahaya akan mengancam kita, Ra. Tapi yang terpenting, sebelum
“Itu normal kok, Rus. Itu biasa terjadi karena saraf di kepala Hera tengah mencoba mengingat-ingat kejadian di masa lalu. Cuma jangan berlebihan ya?”Tepat pukul dua pagi Ikarus sengaja menghubungi Kiev. Ia tahu jika Kiev tengah berjaga malam. Dan tidak ada salahnya jika Ikarus memastikan kondisi Hera, kan? Rasa khawatir yang tidak bisa dibendungnya membuat Ikarus harus memastikan bagaimana kondisi perempuan itu.“Oke, Bang. Sejauh ini Hera masih baik-baik saja, sih. Bahkan dia sudah tertidur pulas sekarang.”“Kapan lo ke Bali?” tanya Kiev di seberang sana. “Kayaknya Hera harus segera ketemu sama Dokter Dimas, deh.”“Gue mau rencana honeymoon dulu, Bang. Aman nggak misal gue pergi sama Hera?”“Aman-aman aja, sih. Toh secara fisik, Hera baik-baik saja dan sudah pulih. Cuma ingatannya doang yang masih mengkhawatirkan.”“Jadi aman, ya?”“Aman. Lo emang mau honeymoon ke mana, sih?”“Kalau jadi sih gue mau ke Maldives, Bang.”“Anjay! Belva dulu juga ngajak ke sana. Tapi dianya keburu hamil
“Good morning.” Suara sapaan itu terdengar menyapa indera pendengaran Ikarus begitu pria itu keluar dari kamar dalam kondisinya yang sudah rapi. Aroma wangi yang menyapa indera penciumannya membuat perut Ikarus mulai keroncongan. Pria itu menyampaikan jasnya di atas meja lalu tersenyum lebar.“Masak apa? Wangi banget, sih?” Ikarus melangkah mendekati Hera lalu memeluknya dari belakang.Perempuan itu terlihat sibuk memasak nasi goreng Jawa untuk sarapan mereka.“Kamu udah siap aja. Kamu mau berangkat sekarang, ya?” tanya Hera sembari tangannya sibuk mengaduk nasi gorengnya di atas penggorengan.“Iya. Aku mau sekalian ngajuin surat pengunduran diri. Pokoknya setelah pengajuan resign ini approved, baru kita pikirkan liburan ke Maldives, ya. Nggak masalah, kan?”“Iya.” Hera tersenyum. “Kamu mau aku buatkan kopi?”“Boleh.”Ikarus menarik diri lalu berjalan mendekati meja makan dan menarik kursi di sana. Sementara Hera sibuk membuatkan kopi untuknya. Pagi itu keduanya menghabiskan waktu ya
“Kamu… marah?”Menit demi menit berlalu dalam keheningan dan Ikarus tahu jika Hera tengah menahan kemarahannya. Baik Evander maupun Hanna sudah meninggalkan ruangannya, dan kini hanya ada mereka berdua. Duduk di sofa dan hanya saling berdiaman, sibuk dengan pikiran masing-masing.“Nggak apa-apa kalau kamu mau marah. Tapi setelah itu dengerin aku dulu, ya?” lanjut Ikarus.Hera menghela napas panjang dengan kedua tangannya yang saling bersedekap. Perempuan itu tidak tahu apakah ia harus marah atau sebaliknya setelah melihat pemandangan apa yang terjadi tadi.“Kalian ada sesuatu? Dia siapa kamu? Kenapa kamu kalian terlihat akrab dan… dekat?” ujar Hera pada akhirnya.“Hanna bukan siapa-siapa aku, Ra. Sebelum kamu datang tadi, dia cuma bilang kalau dasiku miring. Dia membenarkan dasiku dan—”“Tapi kayaknya kamu nggak keberatan gitu, ya?” Hera mendengus pelan. “Kelihatan banget kamu diam saja disentuh sama dia, padahal jelas-jelas kamu udah punya aku! Coba kalau aku tadi nggak datang, pasti
“Hera nggak salah paham sama lo, kan?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Evander. Ikarus baru saja kembali ke ruangannya setelah mengantarkan Hera ke depan. Pria itu menghela napas, melemparkan punggungnya di sofa sembari memijat pelipisnya.“Untungnya nggak,” jawab Ikarus singkat.“Jangan bilang Hanna masih berharap sama lo, Rus?”“Gue sama Hanna cuma sebatas masa lalu, Van. Dan itupun udah bertahun-tahun yang lalu. Dia nggak mungkin berani deketin gue. Karena gue udah bikin dia kalah telak soalnya.”Evander mengerutkan keningnya. “Lo apain memangnya?”“Gue cuma minta ke dia untuk nggak melewati batas aja, sih.” Ikarus mengedikkan bahu. “Kalau dia sampai melanggar batas, gue bakalan mutasi dia ke hotel lain.”“Bangsat!” umpat Evander. “Pantesan aja sikapnya dia sekarang jauh lebih kalem dari biasanya. Ternyata ada udang di balik batu!”“Untungnya aja lo sama dia nggak ngapa-ngapain ya, kan? Nggak kebayang gue gimana Hera ngamuknya.”Ikarus terkekeh. “Gue nggak sebrengsek itu,
Hera mengerjapkan matanya. Sayup-sayup angin berembus kencang menerpanya, sesekali Hera menggigil. Ia bisa merasakan kepalanya berdengung hebat. Seperti ada bongkahan batu yang menumpu di atas kepalanya.Perempuan itu merintih lirih. Kemudian ia mendongak dengan matanya yang mengedar ke sekitar. Hera bisa merasakan sudut bibirnya yang terasa perih, ia tidak ingat luka itu dari mana asalnya.Lalu, “Lepaskan saya!”Hera baru menyadari jika kedua tangannya kini telah diikat di bahu kursi. Susah payah perempuan itu mencoba melepaskan diri, namun yang justru didapatinya hanyalah rasa sakit di pergelangan tangannya.Pandangan Hera kemudian tertoleh ke arah Pradipta yang juga diikat di kursi sama sepertinya. Wajahnya terlihat babak belur dan pria itu terlihat tidak sadarkan diri.“Dipta… bangun, Dip!”Hera mencoba kembali memungut ingatannya. Perempuan itu masih ingat dengan jelas jika mobilnya yang dikendarainya bersama Pradipta melaju meninggalkan Sixty Season Hotel. Lalu setelah berkendar
“Ares!”Kairav dan Bella yang sudah mendengar kabar tentang Ikarus langsung berlari menuju IGD. Terlihat raut cemas Bella di wajahnya, perempuan itu bahkan terlihat hampir menangis sekarang.“Om, Tante…” Ares menyalami Kairav dan Bella. “Ikarus masih ditangani di ruang operasi. Sementara Hera langsung ditangani sama Dokter Kiev karena sempat pingsan setelah kejadian ini.”“Bagaimana bisa, Res? Kamu tahu bagaimana kronologinya?” tanya Bella dengan cemas.“Hera diculik Bima, Tante. Ikarus sempat dihubungi penculiknya dan memintanya datang sendirian. Kami datang terlambat dan Ikarus sudah lebih dulu mendapatkan luka tusukan. Tapi untungnya Bima dan komplotannya sudah diringkus pihak kepolisian.”Kairav menghela napas panjang. “Udah berapa lama dia di dalam?”“Sekitar satu jam, Om.” Ares terlihat cemas.“Terus Hera kena luka juga? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Bella sekali lagi.Ares mengangguk. “Dia baik-baik saja, Tante. Tapi dia sempat pingsan tadi saat dilarikan ke rumah sakit. Sebe
“Ya ampun, Bang. Kamu emang dasarnya udah bucin atau gimana, sih? Heran banget sama kelakuan kamu yang kayak gini tahu, nggak! Nurun siapa, sih?” Suara gerutuan Bella membuat Ikarus sejenak terkekeh. Ikarus baru saja dipindahkan ke ruang rawat VVIP. Kondisinya yang masih belum stabil pasca operasi, sempat membuat Bella uring-uringan tak jelas.Ikarus kini sudah dipindahkan agar bisa satu ruangan dengan Hera. Hera masih terlelap di brankarnya, sementara Bella masih menggantikan Kairav selagi sang suami menyiapkan segala kebutuhan Ikarus.“Emang dulu Papa nggak sebucin ini sama Mama, ya?” “Mana pernah Papa kamu bucin! Dulu bahkan Mama ogah-ogahan banget nikah sama Papa kamu!” sungut Bella.“Terus maunya diajak nikah sama Papa gara-gara diiming-imingi apa?”“Heh! Gini-gini Mama masih punya harga diri, ya!” Bella mendecak. “Dulu bahkan awal-awal Papa kamu yang ngotot sama Mama. Sampai-sampai nawarin posisi di sini, terus ya akhirnya Mama kerja di sini.”“Mama dulu pasti dokter yang heba