Share

Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh
Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh
Penulis: Lavinka

Bab 1. Kesalahan Semalam

Amalthena berjalan sempoyongan di sebuah lorong hotel. Dia merasakan ada yang salah dengan tubuhnya setelah minum segelas wine yang ditawarkan Karina—kakak tirinya.

Dia mengumpat saat rasa sakit menyerang kepalanya, ditambah tubuhnya juga menggigil. Padahal dia hanya minum sedikit tadi, dan toleransinya terhadap alkohol lebih kuat dari beberapa orang.

Gaunnya yang tanpa lengan semakin membuat dia menggigil hingga ke sekujur tubuhnya. Ia harus cepat pulang, sebelum ada orang yang melihatnya dalam keadaan seperti ini.

Ketika dia hampir mencapai lift, dia merasakan dahinya menabrak sebuah dada bidang seorang pria.

“Ah, maaf!” ujar Ama dengan kepala tertunduk.

“Ama?”

Ama tertegun mendengar suara familiar itu. Ia pun mendongak.

“Kamu gak apa-apa?” tanya pria itu lagi.

Walaupun pandangannya sedikit mengabur, Ama tetap yakin jika pria itu adalah Orion Setiawan. Pria yang selama ini menjabat sebagai CEO Angkasa Group. Hubungan mereka pun tidak berjalan baik, alias musuh bebuyutan.

Jika biasanya, dia akan marah dan pergi begitu saja ketika bertemu dengan Orion. Kali ini, dia justru merasa aneh dengan reaksi tubuhnya. Apalagi, saat tangan pria itu memegang lengannya.

“Ahhh….” tanpa sadar Ama mendesah, kala merasakan tangan dingin pria itu menyentuh lengannya yang tak tertutup kain.

Ama semakin ingin merasakan sentuhan itu, merasakan Orion untuk mengatasi panas yang aneh ini. Ia pun menuntun tangan Orion untuk terus menyentuhnya, sementara tangannya sudah menggerayang di balik jas Orion, menyentuh dada pria itu.

Samar-samar, Ama melihat pria itu menggertakkan rahang. “Amal! Ada apa dengan dirimu!”

Bibir Ama seketika merengut lucu. “Tubuh kamu hangat, On,” bisiknya.

Dia seolah tak menanggapi larangan Orion, dan tangannya tetap berusaha mencuri-curi kesempatan untuk menyentuh tubuh kekar di balik jas itu.

“Hentikan, Amal! Atau, kau akan menyesal!

Ama tidak dungu untuk mendengar degupan dari jantung pria itu saat dia bersandar di tubuhnya, apalagi saat jarak wajah mereka yang cukup dekat.

Ama berusaha mencium hingga memberikan sentuhan-sentuhan yang tentu saja tidak bisa ditolak oleh siapa pun, termasuk Orion.

Ciuman itu tak terelakan lagi. Bibirnya gemetar karena hawa panas yang terus mendesaknya untuk berbuat lebih. Dia mengerang ketika Orion sama sekali tak mau membuka mulutnya.

“Sial!”

Ama menyeringai senang ketika tubuh pria itu mulai memberikan reaksi. Dia merasakan tubuhnya melayang, lalu dibawa entah ke mana. Dia hanya tersenyum manis ketika merasakan empuknya kasur.

“Kau salah memilih lawan, Amal!” gertak Orion terdengar samar di telinga Ama.

Setelah itu, pria itu mulai menguasai tubuhnya. Dia bahkan tak diberikan waktu barang sedikit pun untuk memekik. Orion benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu, sama seperti dirinya.

***

Keesokan paginya, Ama terbangun dalam keadaan linglung. Dia ingin menggeliat, tetapi dia merasa ada yang aneh.

Ketika akhirnya dia membuka mata, sebuah pemandangan kulit putih dengan dada bidang, justru terpampang nyata.

‘Apa ini?’ batinnya bertanya-tanya.

Dia menelan ludah kasar, lalu meneliti tubuhnya sendiri yang tertutupi selimut.

“Hahhh!” Dia memekik tertahan, dengan satu tangan membekap mulut.

Panik, tetapi sebisa mungkin Ama mencoba untuk menguasai dirinya sendiri. Dia berusaha membuat gerakan sepelan mungkin ketika menengadahkan kepalanya, dan matanya semakin melotot shock saat pria yang ada di sampingnya adalah Orion.

“Arghh!” Amalthena tanpa aba-aba segera menendang tubuh pria itu hingga terdengar bunyi gedebam setelahnya.

Bugh!

“Apa yang sudah kamu lakukan padaku, Bajingan?!” teriaknya.

pria itu mendesis sambil bangun dari lantai. Ama memalingkan wajah ketika Orion berdiri hanya menggunakan celana boxer.

“K-kau, apa yang sudah kau lakukan padaku, Brengsek!” pekik Ama lagi.

“Oh, kamu sudah bangun?” Orion mengusap rambutnya sendiri sambil menguap lebar.

“What?” Ama berteriak kesal. “Reaksi macam apa itu?”

“Mau aku jelasin pun kamu pasti gak mau dengar, kan?” Setelah itu, Orion hanya memunguti pakaiannya dengan santai, sangat berbeda dengan Ama yang sudah meledak.

“Orion!” Ama buru-buru bangun dari ranjang sambil memeluk selimut yang menutupi tubuh polosnya.

Orion hanya menoleh, tanpa mengucapkan apapun. Dari tatapannya, Ama seolah bisa mendengar pria itu bilang, ‘Apa lagi, sih, Mal? Sebenarnya mau kamu itu apa, sih?’

“Kamu–” Ama hendak bicara, tetapi bibirnya tak menemukan kata apa pun.

Akhirnya, dia pun berteriak kesal dan mengambil pakaiannya, kemudian memakainya cepat. Perasaannya yang masih kesal hingga tak memedulikan keberadaan Orion di belakangnya. Dia tak peduli pria itu melihatnya berpakaian atau tidak.

Kini, yang terpenting dirinya harus segera pergi dari ruangan ini, sebelum ada yang memergoki mereka. Jetika mencapai pintu dia berbalik. Menatap Orion dari balik bahunya.

“Masalah ini belum selesai, Orion. Aku pasti akan menagih penjelasan padamu!” Setelah itu, dia pergi.

Di lorong, Ama terlihat berhenti sebentar. Punggungnya disandarkan pada dinding dengan kepala mendongak ke atas.

“Gila! Bagaimana bisa aku ada di sini dan terjebak dengan manusia seperti dia?”

Namun, ada satu hal yang lebih penting….

“Bagaimana ini? Kalau Mas Edrick tahu… aku harus bagaimana?” Wanita itu menggigiti kuku jarinya.

Edrick adalah tunangannya, dan beberapa bulan lagi mereka akan menikah. Namun, tentu pernikahan ini akan batal jika malam sialan tadi terbongkar. Itu gara-gara minuman yang diberikan Karina.

Ama yakin, pasti ada sesuatu kemarin.

“Arghh! Kenapa hari ini aku sial banget, sih?” Dia ingin menangis, tetapi dering ponselnya kembali berdering, ini dari ibu tirinya–Ameera.

“Mau ngapain lagi, sih, ini nenek lampir? Gak ngerti banget apa, kalau aku sekarang lagi banyak masalah?”

Wanita itu berdecak. Tak kuasa menolak panggilan itu, Ama pun mengangkatnya.

“Pulang sekarang juga! Atau, kau akan melihat rumah peninggalan ibumu ini menjadi abu!” ancam Ameera, ibu tirinya, langsung di seberang telepon.

Ama mengacak-acak rambutnya kesal. Dia bahkan mengumpat, memaki kesialan yang tengah menimpanya hari ini.

“Aku harap nanti gak bakalan ada drama menjijikan yang aku lihat di sana!”

Ama pun segera pergi ke lobi dan memanggil taksi untuk pulang ke rumah.

Namun, harapan Ama sepertinya tidak terwujud. Ketika dirinya baru saja menginjak lantai marmer rumahnya, mukanya sudah ditampar dengan keras beberapa foto oleh ayahnya.

“Jelaskan apa maksud dari semua foto ini, huh!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status