Amalthena berjalan sempoyongan di sebuah lorong hotel. Dia merasakan ada yang salah dengan tubuhnya setelah minum segelas wine yang ditawarkan Karina—kakak tirinya.
Dia mengumpat saat rasa sakit menyerang kepalanya, ditambah tubuhnya juga menggigil. Padahal dia hanya minum sedikit tadi, dan toleransinya terhadap alkohol lebih kuat dari beberapa orang. Gaunnya yang tanpa lengan semakin membuat dia menggigil hingga ke sekujur tubuhnya. Ia harus cepat pulang, sebelum ada orang yang melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ketika dia hampir mencapai lift, dia merasakan dahinya menabrak sebuah dada bidang seorang pria. “Ah, maaf!” ujar Ama dengan kepala tertunduk. “Ama?” Ama tertegun mendengar suara familiar itu. Ia pun mendongak. “Kamu gak apa-apa?” tanya pria itu lagi. Walaupun pandangannya sedikit mengabur, Ama tetap yakin jika pria itu adalah Orion Setiawan. Pria yang selama ini menjabat sebagai CEO Angkasa Group. Hubungan mereka pun tidak berjalan baik, alias musuh bebuyutan. Jika biasanya, dia akan marah dan pergi begitu saja ketika bertemu dengan Orion. Kali ini, dia justru merasa aneh dengan reaksi tubuhnya. Apalagi, saat tangan pria itu memegang lengannya. “Ahhh….” tanpa sadar Ama mendesah, kala merasakan tangan dingin pria itu menyentuh lengannya yang tak tertutup kain. Ama semakin ingin merasakan sentuhan itu, merasakan Orion untuk mengatasi panas yang aneh ini. Ia pun menuntun tangan Orion untuk terus menyentuhnya, sementara tangannya sudah menggerayang di balik jas Orion, menyentuh dada pria itu. Samar-samar, Ama melihat pria itu menggertakkan rahang. “Amal! Ada apa dengan dirimu!” Bibir Ama seketika merengut lucu. “Tubuh kamu hangat, On,” bisiknya. Dia seolah tak menanggapi larangan Orion, dan tangannya tetap berusaha mencuri-curi kesempatan untuk menyentuh tubuh kekar di balik jas itu. “Hentikan, Amal! Atau, kau akan menyesal! Ama tidak dungu untuk mendengar degupan dari jantung pria itu saat dia bersandar di tubuhnya, apalagi saat jarak wajah mereka yang cukup dekat. Ama berusaha mencium hingga memberikan sentuhan-sentuhan yang tentu saja tidak bisa ditolak oleh siapa pun, termasuk Orion. Ciuman itu tak terelakan lagi. Bibirnya gemetar karena hawa panas yang terus mendesaknya untuk berbuat lebih. Dia mengerang ketika Orion sama sekali tak mau membuka mulutnya. “Sial!” Ama menyeringai senang ketika tubuh pria itu mulai memberikan reaksi. Dia merasakan tubuhnya melayang, lalu dibawa entah ke mana. Dia hanya tersenyum manis ketika merasakan empuknya kasur. “Kau salah memilih lawan, Amal!” gertak Orion terdengar samar di telinga Ama. Setelah itu, pria itu mulai menguasai tubuhnya. Dia bahkan tak diberikan waktu barang sedikit pun untuk memekik. Orion benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu, sama seperti dirinya. *** Keesokan paginya, Ama terbangun dalam keadaan linglung. Dia ingin menggeliat, tetapi dia merasa ada yang aneh. Ketika akhirnya dia membuka mata, sebuah pemandangan kulit putih dengan dada bidang, justru terpampang nyata. ‘Apa ini?’ batinnya bertanya-tanya. Dia menelan ludah kasar, lalu meneliti tubuhnya sendiri yang tertutupi selimut. “Hahhh!” Dia memekik tertahan, dengan satu tangan membekap mulut. Panik, tetapi sebisa mungkin Ama mencoba untuk menguasai dirinya sendiri. Dia berusaha membuat gerakan sepelan mungkin ketika menengadahkan kepalanya, dan matanya semakin melotot shock saat pria yang ada di sampingnya adalah Orion. “Arghh!” Amalthena tanpa aba-aba segera menendang tubuh pria itu hingga terdengar bunyi gedebam setelahnya. Bugh! “Apa yang sudah kamu lakukan padaku, Bajingan?!” teriaknya. pria itu mendesis sambil bangun dari lantai. Ama memalingkan wajah ketika Orion berdiri hanya menggunakan celana boxer. “K-kau, apa yang sudah kau lakukan padaku, Brengsek!” pekik Ama lagi. “Oh, kamu sudah bangun?” Orion mengusap rambutnya sendiri sambil menguap lebar. “What?” Ama berteriak kesal. “Reaksi macam apa itu?” “Mau aku jelasin pun kamu pasti gak mau dengar, kan?” Setelah itu, Orion hanya memunguti pakaiannya dengan santai, sangat berbeda dengan Ama yang sudah meledak. “Orion!” Ama buru-buru bangun dari ranjang sambil memeluk selimut yang menutupi tubuh polosnya. Orion hanya menoleh, tanpa mengucapkan apapun. Dari tatapannya, Ama seolah bisa mendengar pria itu bilang, ‘Apa lagi, sih, Mal? Sebenarnya mau kamu itu apa, sih?’ “Kamu–” Ama hendak bicara, tetapi bibirnya tak menemukan kata apa pun. Akhirnya, dia pun berteriak kesal dan mengambil pakaiannya, kemudian memakainya cepat. Perasaannya yang masih kesal hingga tak memedulikan keberadaan Orion di belakangnya. Dia tak peduli pria itu melihatnya berpakaian atau tidak. Kini, yang terpenting dirinya harus segera pergi dari ruangan ini, sebelum ada yang memergoki mereka. Jetika mencapai pintu dia berbalik. Menatap Orion dari balik bahunya. “Masalah ini belum selesai, Orion. Aku pasti akan menagih penjelasan padamu!” Setelah itu, dia pergi. Di lorong, Ama terlihat berhenti sebentar. Punggungnya disandarkan pada dinding dengan kepala mendongak ke atas. “Gila! Bagaimana bisa aku ada di sini dan terjebak dengan manusia seperti dia?” Namun, ada satu hal yang lebih penting…. “Bagaimana ini? Kalau Mas Edrick tahu… aku harus bagaimana?” Wanita itu menggigiti kuku jarinya. Edrick adalah tunangannya, dan beberapa bulan lagi mereka akan menikah. Namun, tentu pernikahan ini akan batal jika malam sialan tadi terbongkar. Itu gara-gara minuman yang diberikan Karina. Ama yakin, pasti ada sesuatu kemarin. “Arghh! Kenapa hari ini aku sial banget, sih?” Dia ingin menangis, tetapi dering ponselnya kembali berdering, ini dari ibu tirinya–Ameera. “Mau ngapain lagi, sih, ini nenek lampir? Gak ngerti banget apa, kalau aku sekarang lagi banyak masalah?” Wanita itu berdecak. Tak kuasa menolak panggilan itu, Ama pun mengangkatnya. “Pulang sekarang juga! Atau, kau akan melihat rumah peninggalan ibumu ini menjadi abu!” ancam Ameera, ibu tirinya, langsung di seberang telepon. Ama mengacak-acak rambutnya kesal. Dia bahkan mengumpat, memaki kesialan yang tengah menimpanya hari ini. “Aku harap nanti gak bakalan ada drama menjijikan yang aku lihat di sana!” Ama pun segera pergi ke lobi dan memanggil taksi untuk pulang ke rumah. Namun, harapan Ama sepertinya tidak terwujud. Ketika dirinya baru saja menginjak lantai marmer rumahnya, mukanya sudah ditampar dengan keras beberapa foto oleh ayahnya. “Jelaskan apa maksud dari semua foto ini, huh!”Ama menunduk menatap foto-foto yang dilempar ayahnya. Foto-foto tersebut diambil dengan sudut yang pas. Tentu akan membuat orang yang melihat menjadi salah paham. Itu adalah foto dirinya dan Orion yang tengah ada di lorong hotel semalam, bahkan ada beberapa foto Orion ketika menggendongnya masuk ke kamar hotel.Deg!Keringat dingin membanjiri dahi Ama. “B-bagaimana bisa ada f-foto itu…”Tubuhnya gemetar ketakutan, apalagi saat matanya menangkap jelas keberadaan Edrick yang duduk di single sofa, di rumahnya. Tungkainya yang lemas dipaksa untuk berjalan mendekati sang tunangan. “M-mas, A-ama bisa jelasin!”Pria itu langsung menepis tangan Ama saat ingin digenggam. Sakit, tapi tak berdarah. Hatinya begitu diliputi rasa takut dan juga frustasi. “M-mas….” panggilnya dengan mata basah.“Bukankah pria itu adalah Orion?” tanya Edrick.Ama menegang kaku, apalagi saat Edrick membawa-bawa nama pria itu. Dia bingung harus menjawab apa dan hanya menunduk. “I-tu–”“Tega kamu, Ma!” kata itu begi
Ama sudah tidak tahan. Ia pun berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Karina. Tanpa babibu, dia langsung menarik rambut Karina, sampai membuatnya memekik nyaring. "Apa yang kamu lakukan, jalang?!" teriak Karina, sambil berusaha melepaskan jambakan Ama. "Dengar, ya!" Ama mendesis. "Kamu tidak akan bisa mengambil itu semua, karena dari awal, semua itu memang bukan untukmu!" "Amalthea! Lepaskan tanganmu!" Ameera mulai membantu sang anak yang mulai menangis. Namun, bukannya melepaskan, Ama malah menjambak rambut Ameera dengan tangan satunya. "Diam kamu, Nenek!" Keributan di kamar rawat VVIP itu akhirnya mengundang perhatian orang-orang di luar. Pintu terbuka, membuat Ama berhenti sejenak dan menoleh. Pada saat itulah jambakannya mengendur. Edrick berdiri di depan sana bersama kedua orang tuanya. "Amalthea!" bentak Edrick. 'Oh, sialan!' Ama mengumpat dalam hati. Situasi ini pasti terlihat seperti dirinya yang menyiksa dua dedemit ini. Ama buru-buru melepaskan tangannya. "Mas Edric
“Apa?” Ama yakin, ia tadi mendengar sesuatu. “Ck! Baiklah, sesukamu saja,” jawab Orion akhirnya, malah mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Kalau begitu, aku terima semua syaratnya. Tapi, aku juga punya beberapa syarat.” “Apa itu?” Ama mengerutkan keningnya. “Satu, tidak boleh bermesraan dengan lawan jenis selain aku di hadapan khalayak ramai. Dua, jika pergi harus saling memberi tahu ke mana dan dengan siapa. Ketiga, jika sampai perjanjian ini berakhir dan kamu memiliki sedikit rasa padaku, maka kamu harus menuruti semua keinginanku.” Orion memberikan syaratnya tanpa jeda. “Apa-apaan itu semua tadi?” Ama menganga tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Deal atau nggak?” Orion menatap Ama serius. Orion mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Ama berpikir keras. Wanita itu tampak menimang-nimang persyaratan dari Orion. Beberapa saat kemudian, akhirnya Ama membuka suara. “Deal!” Tangan Ama menggantung di udara. Cepat-cepat pria itu melangkah untuk menyambut uluran tang
Sosoknya yang tinggi itu tampak mengintimidasi Edrick. Ama terdiam di tempatnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Orion. “Seperti yang kau bilang, dua hari yang lalu kalian masih bertunangan,” Orion lalu melirik Karina yang berdiri di sebelah Edrick. “Tapi, apa kau tidak memiliki kaca di rumah?” Ama tidak bisa berpaling. Pesona Orion hari ini benar-benar menjeratnya hingga netra Ama sulit sekali dialihkan dari pria tersebut. “Sayang sekali istriku harus bertemu ubur-ubur sepertimu kemarin,” Nada bicara Orion kembali seperti semula. “Dia sangat malang malang bertemu dengan pria bodoh yang sudah menyia-nyiakannya.” Sudut bibir pria itu tertarik ke atas hingga membentuk sebuah kurva senyum. Ama terpaku sesaat, merasakan debaran jantungnya yang mendadak jadi aneh. “Istriku,” panggil Orion lembut. Ama baru sadar ketika pria itu sudah merangkul pinggangnya kembali. “Hm?” sahut Ama. “Bukankah aku ini tampan?” Seperti terhipnotis, Ama mengangguk saja hingga Orion sema
“Sialan! Kok, aku malah mau-mau aja dijadiin babu sama itu permen neon!” Wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Tangannya mengikat rambutnya tinggi, hingga leher jenjangnya terlihat.Ia melongok ke arah lemari, mencari-cari keberadaan beras, atau bahan-bahan yang bisa dia pakai untuk menyokong perut mereka. “What?!” Mata Ama melotot shock saat menemukan persedian dapur di lemari Orion begitu lengkap. “Ini orang emang rajin masak, atau ini kebetulan aja?”Dia kemudian sibuk mencuci beras, memasukkannya ke dalam magic com dan mengatur timer. Sambil menunggu beras matang, dia memilih untuk mengambil wortel, kol, dan daun bawang, memotongnya, kemudian mencampurnya menjadi satu dengan tepung. Dia ingin membuat bakwan sebagai teman nasi gorengnya nanti.Setelah nasi matang, dia mulai berkutat membuat nasi goreng. Dia mengambil udang dan juga telur sebagai toping. Tidak lupa daun bawang di potong-potong dan ditaburkan di atas penggorengan. “Yes! Akhirnya, udah jadi!”“Kamu mas
“Bolehkah saya yang menjawabnya?” Sebelum Ama menyelesaikan jawabannya, sebuah tangan besar menggenggamnya di bawah meja. Adalah Orion pelakunya. Ama mengerjap.“Apa kalian tahu takdir kalian apa?” Orion mengambil alih mikrofon yang satunya. “Itu adalah kisah kami.” Orion melempar tatapan teduh pada Ama. “Kisah kami memang sedikit rumit, tetapi di balik pertengkaran yang sering dilakukan, ada cinta yang mengikat kami untuk bersama.”Orion memberikan senyum manis pada Ama sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “Pernikahan kami memang terkesan mendadak, tapi percayalah! Tidak ada yang saling menikung di sini. Ama dan Edrick sudah berpisah saat kami memutuskan menikah. Terima kasih!”Ama terdiam, mendengarkan perkataan Rion ketika menjawab pertanyaan karyawan yang terakhir. Dia sedikit tersentuh dengan kata-kata Orion. Bibirnya sempat membalas senyum pria itu sebelum dirinya tersadar, kalau mereka masih berada di tempat konferensi pers. ‘Bagaimana bisa dia terlihat begitu lancar? Pad
Keesokan paginya, Ama dibuat kesal lantaran tak menemukan baju yang pas untuk dirinya berangkat ke kantor. Ya, hari ini ada rapat penting, dan dia sebagai seorang CEO maka harus datang. “Bisa-bisanya aku lupa, kalau hari ini ada rapat,” dumel Ama, kekesalan itu makin menjadi lantaran ia tak menemukan pakaian miliknya. “Terus, aku harus pakai baju apa?” Ia pun menendang lemari di hadapannya. “Apa salah lemariku sih, Mal? Kenapa sepagian kamu udah marah-marah?” Suara dari balik punggung Ama menginterupsi. Ama mendengkus, lalu berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Bibirnya cemberut dengan tangan mengutak-atik hp. “Gak usah ganggu aku!” Ia menelpon sekretarisnya, tetapi sebuah tangan merebut ponselnya. “Rion, kamu ngapain, sih?!” “Pakai ini aja!” Sebuah paper bag tiba-tiba disodorkan oleh Orion, tepat di depan Ama. “Apa ini?” Kening Ama mengernyit, tetapi tetap menerima paper bag itu. “Loh, baju siapa ini?” Wanita itu membolak-balikkan setelan kantor yang baru saja diberika
“Apa kamu bilang?” Karina menarik lengannya paksa, bahkan kuku jari kakak tirinya ada yang menancap di kulitnya. “Lepaskan tangan kotormu dari lenganku, Sundel!” Mata Ama berkilat marah. “Apa? Sundel!” Karina berseru tak terima. Karina pun mendorong bahu Ama dengan telunjuknya. “Hei, Jalang! Asal kamu tau, yah! Yang lebih pantas dengan Mas Edrick itu cuma aku. Dan apa kamu bilang tadi? Bekasan? Sorry, sepertinya itu tak berlaku untukku. Karena kenyataannya, akulah yang pertama untuk Mas Edrick!” Pertama? Kening Ama mengernyit, mencoba memproses maksud dari perkataan Karina yang menyebutkan jika dialah yang pertama, bukan dirinya. “Apa, sih, mau kamu?” Ama menepis tangan Karina. Rasa perih langsung menyengat ketika tangan kakak tirinya sudah menghilang dari lengannya. “Arkh, kenapa kamu mendorongku, Ama?” Wanita itu berakting. Ama menatap Karina bosan. “Please, deh, gak usah sok jadi ratu drama di sini. Aku muak tau, gak, sih!” “Ama! Berani sekali kamu mengatai calon istri