Share

Bab 6. Ada yang Berniat Buruk

“Sialan! Kok, aku malah mau-mau aja dijadiin babu sama itu permen neon!”

Wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Tangannya mengikat rambutnya tinggi, hingga leher jenjangnya terlihat.

Ia melongok ke arah lemari, mencari-cari keberadaan beras, atau bahan-bahan yang bisa dia pakai untuk menyokong perut mereka.

“What?!” Mata Ama melotot shock saat menemukan persedian dapur di lemari Orion begitu lengkap. “Ini orang emang rajin masak, atau ini kebetulan aja?”

Dia kemudian sibuk mencuci beras, memasukkannya ke dalam magic com dan mengatur timer. Sambil menunggu beras matang, dia memilih untuk mengambil wortel, kol, dan daun bawang, memotongnya, kemudian mencampurnya menjadi satu dengan tepung. Dia ingin membuat bakwan sebagai teman nasi gorengnya nanti.

Setelah nasi matang, dia mulai berkutat membuat nasi goreng. Dia mengambil udang dan juga telur sebagai toping. Tidak lupa daun bawang di potong-potong dan ditaburkan di atas penggorengan.

“Yes! Akhirnya, udah jadi!”

“Kamu masak apa?”

Seseorang tiba-tiba mendekat dan meletakkan kepalanya di bahu Ama dengan santai. Wanita itu menoleh dan mengangkat bahunya kaget.

“Astaganaga! Bikin kaget aja, sih, On!”

Akan tetapi, gerakan refleksnya justru membuat kepala mereka bertabrakan. Ama langsung berteriak keras. Namun, lelaki itu justru tak peduli dan tetap saja berdiri di belakangnya.

Jantung Ama berdegup kencang sesaat ketika dirinya berada sangat dekat dengan Orion. Napas segar bercampur aroma khas dari lelaki itu mendominasi indera penciuman Ama.

“Bisa minggir dulu gak, sih!” pekik Ama, sekali lagi dia menggerakkan bahunya, dan menyikut perut Orion.

Diam-diam, Ama menelan ludah kasar. Dirinya bahkan belum pernah sedekat itu dengan Edrick, tapi Orion dengan kurang ajarnya berani dekat-dekat seperti ini.

“Kenapa? Aku cuma penasaran sama masakan istriku. Gosong atau tidak.” Rion melongok, mengintip ke arah wajan.

“Nggak mungkin gosonglah!” Ama mendengkus.

Dia lalu mengedikkan bahu untuk menyingkirkan lelaki itu. Berjalan sambil membawa dua piring nasi goreng menuju meja makan.

Aroma sedap itu seperti menggiring Rion menuju meja makan tanpa diminta.

“Ini enak!” Pujian Rion langsung terdengar ketika satu suap nasi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya.

“Apa aku bilang, Ama gitu loh,” ucap Ama bangga dengan menepuk dadanya.

“Tiap pagi wajib, sih, bikinin aku sarapan!” Lelaki itu menyeringai sambil mengelap mulutnya.

“Apa? Nggak! Enak aja! Suruh bibi aja yang masak!” Ama mengerutkan keningnya.

“Kamu ‘kan istriku.” Rion dengan santai membawa piringnya ke dapur untuk dicuci. “Lagipula, aku gak terbiasa pake asisten rumah tangga.”

Ama terpaku, menegang di kursinya. Pipinya memanas, seiring dengan detak jantungnya semakin menggila.

‘Istriku, dia bilang….’

*

“Melalui video ini, kami ingin mengklarifikasi jika kami sudah menikah. Kejadian malam itu adalah bulan madu kami. Jadi, kami tidak melakukannya di luar nikah.”

Ama mengembuskan napas lega ketika kalimat itu selesai. Namun, Rion tertawa keras di sampingnya. Saat ini mereka sedang menunggu di salah satu ruangan, di kantor Orion, latihan untuk konferensi pers nanti.

“Rion, kamu apaan, sih? Aku tuh udah susah payah buat hafalin kalimat itu seharian, lho!” Ama mencubit perut Rion yang sayangnya tidak bisa, sebab perut lelaki itu keras.

“Hei, Nona. Kamu pikir mereka akan percaya kalau kamu sekaku itu?” cibir Orion.

“Lalu?”

Orion menggeser duduknya lebih dekat dengan Ama. Kemudian, ia menyampirkan tangannya ke bagian belakang sofa, seakan sedang merangkul Ama.

“Misalnya….” jari telunjuk Orion menyentuh dagu Ama. “Kita bisa sedikit… menunjukkan kemesraan…”

“Hih! Pergi sana!” Ama mendorong wajah Orion agak menjauh darinya. “Merinding aku bayanginnya, Rion! P-pokoknya aku gak mau kayak gitu!”

Untungnya, sebelum Ama melempar heelsnya ke kepala Orion, pria itu sudah bangkit lebih dulu. Ia berdiri, dan memperbaiki penampilannya. Sambil memasukkan tangan ke saku, Orion menunjuk dua benda di atas meja.

“Jangan lupa tunjukkan buku nikah dan foto wedding kita kemarin,” katanya.

Ama berdecih, lalu ikut berdiri. Ia membawa skrip klarifikasinya, buku nikah, dan dua lembar foto pre-wedding itu dengan kasar.

“Pria menyebalkan!” umpat Ama untuk terakhir kalinya, sebelum mendahului Orion berjalan menuju ruang konferensi pers.

Bisa Ama dengar kekehan khas pria itu di belakang.

Karena Ama yang bersikeras menginginkan konferensi pers ini, Orion pun lepas tangan. Ia hanya membantu menyiapkan tempat dan informasi saja. Sementara seluruh pernyataan disusun oleh Ama.

Sebenarnya, publik sudah mengetahui kalau Ama dan Orion sudah menikah. Perusahaan Orion pun sudah memberikan klarifikasi. Namun tetap saja, Ama tidak puas.

“Buat apa sih pakai klarifikasi. Toh, semua juga tahu kalau kita sudah menikah,” Orion menjawab seperti itu ketika Ama terus mengulang satu-satunya cara memulihkan namanya adalah konferensi pers.

Mereka pun memasuki ruang konferensi pers bersamaan, lalu duduk bersebelahan. Para wartawan sudah siap dengan kameranya. Ama sempat kaget karena ada begitu banyak wartawan yang datang di konferensi pers.

Ama melirik Orion yang mengangguk di samping, lalu tatapannya turun ke arah bawah meja. Saking gugupnya, ia tanpa sadar sampai menggenggam tangan Orion.

Namun bukannya langsung melepaskan, Orion malah mengelus punggung tangan Ama dengan ibu jarinya.

“Tenang….” bisik Orion dengan gerakan mulut saja.

“Selamat sore, semuanya,” sapa Ama, memulai konferensi pers.

Walaupun sempat gugup di awal, Ama bisa menguasai kondisi dengan cepat. Ia menjelaskan secara runut, dan klarifikasi dibalik gemparnya foto dan video mereka di hotel.

Lalu, mereka mulai ke sesi tanya jawab.

“Jadi, bagaimana kalian bisa menikah? Dan, sejak kapan kalian saling mencintai?” tanya salah satu wartawan dari stasiun televisi Suta.

Ama sempat melihat ke arah Orion, lalu menjawabnya dengan lancar. Dia sudah menduga jika pertanyaan klasik itu pasti akan terlontar dari para wartawan. Jadi, dia sudah menyiapkan, bahkan menghapal jawabannya.

Pertanyaan kedua dari salah satu stasiun televisi GV.

“Kami sempat mendengar kabar, jika perusahaan kalian adalah rival, lalu bagaimana bisa kalian memutuskan menikah? Dan, semua orang juga tahu, kalau Nona Amalthea sudah bertunangan dengan Tuan Edrick!”

Jantung Ama sempat terhenti sekejap. Bukan hanya karena pertanyaannya, tapi wartawan itu juga terlihat terbawa emosi.

Tangan Ama bergetar mengambil mikrofon di depannya. Tatapan wartawan itu masih mengarah kepadanya, dan tersenyum culas. Sepertinya dia mengharapkan Ama salah bicara.

“Untuk hal itu—”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status