Share

Bab 8. Intinya, kita udah nikah.

Keesokan paginya, Ama dibuat kesal lantaran tak menemukan baju yang pas untuk dirinya berangkat ke kantor. Ya, hari ini ada rapat penting, dan dia sebagai seorang CEO maka harus datang.

“Bisa-bisanya aku lupa, kalau hari ini ada rapat,” dumel Ama, kekesalan itu makin menjadi lantaran ia tak menemukan pakaian miliknya.

“Terus, aku harus pakai baju apa?” Ia pun menendang lemari di hadapannya.

“Apa salah lemariku sih, Mal? Kenapa sepagian kamu udah marah-marah?” Suara dari balik punggung Ama menginterupsi.

Ama mendengkus, lalu berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Bibirnya cemberut dengan tangan mengutak-atik hp.

“Gak usah ganggu aku!” Ia menelpon sekretarisnya, tetapi sebuah tangan merebut ponselnya. “Rion, kamu ngapain, sih?!”

“Pakai ini aja!” Sebuah paper bag tiba-tiba disodorkan oleh Orion, tepat di depan Ama.

“Apa ini?” Kening Ama mengernyit, tetapi tetap menerima paper bag itu. “Loh, baju siapa ini?”

Wanita itu membolak-balikkan setelan kantor yang baru saja diberikan oleh Orion.

“Udah pakai aja, sih!”

“Tapi, Rion–” Belum sempat Ama menyelesaikan ucapannya, ia sudah didorong masuk ke dalam kamar mandi.

“Aku tunggu 10 menit. Kalau kamu gak keluar juga, aku bakalan dobrak pintu dan memakaikan pakaian itu!” ancam Rion.

“What?!”

Ama melihat ke arah pintu, lalu ke paper bag dengan perasaan dongkol. Dia mendesah keras, berpikir sebentar hingga akhirnya, mau tidak mau ia pun menurut dan memakainya.

“Gila itu cowok, cuman sekali doang udah paham aja size aku,” ucapnya sambil berputar di depan cermin.

Setelan itu terdiri dari kemeja warna putih dengan tali menggantung di kerah, dan dipadukan rok pensil di bawah lutut dengan saku kecil di bagian depan. Ini memang bukan style Ama, tetapi ia cukup terkesan dengan pemilihan pria tersebut.

“Amal, mau berapa lama lagi kamu di dalam?” Suara ketukan disusul panggilan dari Orion memecah lamunan Ama.

“Astaga! Kenapa gak sabaran banget?!” Ama melihat ke arah pintu dengan kesal. Ia pun berjalan keluar dengan wajah ditekuk. “Berisik banget, sih!” omelnya.

Ama sempat melihat pria itu tertegun, tetapi dengan secepat kilat tatapan itu berubah biasa saja. Aneh.

“Ya, lumayanlah,” celetuk Orion setelah terdiam beberapa saat.

Kening Ama mengerut, apalagi melihat sikap dan ekspresi Orion yang malu-malu. Ucapannya memang sedikit meremehkan, tetapi telinga pria itu memerah, seperti waktu kemarin.

“Cih!” Ama mendengkus. “Aku gak butuh penilaianmu!”

Ia mendorong dada Orion agar menyingkir dari hadapannya. Ia lalu berjalan menuju meja nakas, mengambil ponsel dan juga dompetnya.

“Mau bareng?” Suara Orion terdengar di balik bahunya.

“Hm. Nanti pulangnya aku bisa sendiri,” jawabnya acuh.

“Ok, seenak kamu aja!”

Ama hendak menjawab, tetapi pria itu sudah lebih dulu pergi. Ia pun hanya bisa menghela napas panjang. “Bisa-bisanya aku terjebak sama cowok modelan kayak dia,” keluhnya.

Ama tidak bisa banyak mengeluh sekarang. Ia harus segera berangkat ke kantor sebelum rapat dimulai. Ia tak ingin memberikan contoh yang buruk kepada karyawannya.

Dalam perjalanan, ia menatap Orion yang hari ini terlihat lebih banyak diam. Padahal dulu, tiada hari tanpa pria itu mengejeknya. Dimulai dari masalah gaya rambut, sampai cara berjalan Ama un dikomentarinya.

Di tengah keheningan, tiba-tiba pria itu malah mengucapkan, “Nanti, pulang kerja biar aku yang jemput. Sekalian aku mau ngajak kamu beli baju!”

“Gak usah!” tolak Ama cepat. “Bajuku udah banyak. Lagian, nanti aku bakalan minta bibi buat beresin bajuku buat dikirim ke rumahmu!”

“Sayangnya, aku gak suka dibantah, Amal.” Pria itu melirik sebentar sebelum kembali fokus dengan jalanan di depan.

“Hah! Whatever!” Ama juga malas berdebat. Ia lebih memilih fokus untuk membuka email dari sekretarisnya di ponsel.

***

Satu alis Ama naik ke atas melihat chat dari Orion.

[Mal, kamu bisa pulang sendiri, kan? Maaf, tiba-tiba ada keperluan mendesak, dan ini gak bisa diwakilkan.]

Ama tertawa hambar. “Wah, wah, wah!”

Ama lalu berdiri dari kursinya, berkacak pinggang dengan wajah mendongak. Matanya tertuju pada langit-langit ruang kerjanya yang berwarna putih.

Padahal pria itu yang tadi menawarkannya pulang bersama. Karena tadi mereka berangkat bersama, Ama jadi tidak bawa mobil sendiri. Lalu tiba–tiba, pria itu membatalkan janjinya begitu saja.

“Kenapa aku jadi sakit hati begini, yah?!” ocehnya sendiri.

“Bajingan itu benar-benar sudah membuat moodku hancur!” Ama mendesah kesal, lalu menatap kembali chat dari Orion. “Siapa yang maksa buat beli baju bareng? Dia, kan? Terus, kenapa malah dia batalin? Mendadak lagi!”

Ama semakin kesal karena ia sudah membatalkan pertemuannya dengan salah satu klien hanya untuk pergi dengan Orion. Kenyataannya, ia mendapati pria itu membatalkan secara sepihak janjinya.

“Sebenarnya itu orang mau ke mana, sih? Urusan sepenting apa sampai dia membatalkan janjinya?” Ama terus mengoceh sendiri.

“Kalau gak inget itu orang udah pernah nolongin aku, udah aku bumi hanguskan kantornya itu!” dengkusnya.

Akhirnya, Ama memutuskan untuk pergi ke rumah sakit saja. Ia ingin menjenguk ayahnya. Sudah dua hari ia tak bertemu Akbar lantaran sibuk mengurusi masalahnya yang seperti tak henti-henti datang menghampiri.

Sambil menjalankan mobilnya, Ama menghubungi sekretaris ayahnya untuk menanyakan keadaan beliau. Setelah mengetahui jika Akbar masih belum sadar, Ama semakin menginjak gasnya menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Ama langsung menuju kamar rawat ayahnya. Ia berharap tidak bertemu dengan Ameera, ataupun Karina. Dirinya sedang tak mood untuk ribut.

Sayangnya, harapan Ama tak terkabul. Kenyataannya, di ruangan sang ayah sudah ada Karina, Ameera, dan Edrick. Entah sejak kapan ia sadar jika wajah calon suaminya itu jelek. Mungkin, semenjak diputusin kali.

“Ngapain kamu ke sini? Bukankah dirimu sedang sibuk konferensi pers sana-sini?” Karian menyapanya dengan wajah sinis. Wanita bermuka dua itu bahkan tak malu menggunakan pakaian yang dibelinya di Korea.

“Selain tak tahu malu, kamu juga senang, yah, ngumpulin bekasan dari diriku?” Ama berkata dengan enteng.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status