Ama menggeleng pilu. “T-tapi kita–” “Ssttt!” Rion meletakkan jarinya di depan bibir Ama. “Cukup kamu tanamkan dalam pikiran dan hatimu, Amal. Ada aku, Orion, suamimu! Aku gak akan pernah meninggalkanmu!” katanya menyakinkan. Ama membiarkan pria itu menempelkan kening mereka, sementara ia memejamkan mata sambil menangis. “Bohong! Kau sama saja dengan bajingan itu! Kau pasti akan meninggalkanku,” sahutnya bosan. Pria itu berdecak, lalu mengecup keningnya. Ia ingin protes, tetapi Orion dengan berani mengecup bibirnya. “Orion!” Ama mendelik kesal. Ia langsung mendorong tubuh Orion, sedangkan dirinya memilih berjalan ke arah kursi taman. Bibirnya ia usap seolah tak sudi dicium oleh sang suami. Namun, Orion hanya terkekeh. Sepertinya ia sangat senang melihat Ama marah-marah. Pria itu pun menarik tangan Ama agar berhadapan dengannya lagi. “Apa mantanmu itu baru saja mengganggumu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut. Ama menaikkan satu kakinya dengan punggung bersandar, seda
“K-kau mencintaiku…?” cicit Ama dengan suara bergetar.Entahlah, kenapa ia merasa sedikit takut sekarang. Bukan takut yang bagaimana, tapi ia takut kalau dadanya meledak karena jantungnya berdetak tidak normal.‘Aku gak bakal mati kan ya?’Apalagi, Orion tidak cepat menanggapi. Pria itu malah mengulurkan tangannya untuk menyelipkan anak rambut Ama ke belakang telinga. Lalu, bibir pria itu mengarah ke telinga Ama.“Tapi, bohong,” bisiknya kemudian.Mata Ama seketika terbuka lebar. Menatap Orion yang sedang terbahak di kursi kemudinya dengan tatapan tak percaya. “ORION!” teriaknya.Dan, Orion hanya terbahak.“J-jadi, kamu mempermainkan ku?” tanyanya dengan tangan mengepal.Orion tersenyum kalem dan mulai menjalankan kembali mobilnya. “Kamu tuh lucu, Mal. Apalagi kalau lagi tegang begitu. Lagian, aku tahu kamu gak mungkin mencintaiku,” ujarnya sambil melirik Ama.Suara Orion kembali terdengar memecah hening di antara mereka. “Aku juga gak mungkin menjalani pernikahan dengan seseorang ya
“Iya, ini aku, Edrick.” Ama tak bisa menahan diri untuk tak merotasikan kedua bola matanya. “Ada apa? Kalau tidak ada hal yang perlu–” “Ama, tunggu! Jangan dimatikan dulu!” Suara di seberang terdengar memotong ucapan Ama. Kening wanita itu mengernyit heran. Ama memijit pelipisnya. “Apa lagi?” tanyanya bosan. Kejadian semalam saja masih belum hilang dari ingatan. Haruskah pagi ini Ama kembali berurusan dengan Edrick yang notabene sudah menghinanya? Pria itu bahkan sudah menjudge dirinya sebagai wanita yang tak pantas untuk disukai oleh orang lain. “Sial! Berani sekali pria itu menghubunginya setelah apa yang telah dia lakukan,” umpatnya dalam hati. Ama menjadi berpikir, apa selama ini Edrick memang semenyebalkan itu? “Ama, bisakah kita kesampingkan dulu masalah pribadi kita?” Suara Edrick terdengar memelas. Ama berdecih. Ia bahkan ingin meludahi ponselnya sendiri sekarang. “Lalu untuk apa seorang Edrick menghubungiku? Apa kau masih level berbicara denganku?” Wanita itu
Ama dibuat terperangah dengan kedatangan sang suami. Pria itu bahkan dengan cekatan menata makanan yang dibawa di atas meja. Tidak lupa air minum juga piring sudah disiapkan oleh Orion.“Hei, ayo buruan sarapan!” Orion memanggilnya yang masih duduk di kursi. Pria itu melambaikan tangan untuk memintanya bergabung di sofa. “Aku yakin bubur itu tak akan mengganjal perutmu yang kurus itu. Kemarilah! Aku sudah membeli makanan ini dalam perjalanan!”“Sial! Kenapa kau mengatai perutuku kurus, Orion!”Suara kekehan terdengar dari Orion. “Apa aku harus menyuruhmu untuk berkaca? Huh!”Ama melihat dirinya sendiri, lalu ke arah bubur yang masih cukup banyak. Pandangannya kemudian dilemparkan ke arah sang suami yang tengah menepuk sisi kosong di sampingnya.“Kemari,” panggil Orion sekali lagi.“Sial!” Ama berdecak kesal kemudian menurunkan kakinya dari pangkuan dan berjalan menuju Orion.Aroma santan yang gurih langsung menyeruak hidungnya. Perutnya tiba-tiba bergejolak minta diisi. “Daripada kam
“Sial! Gara-gara Rion, aku jadi gak fokus kerja.” Setengah hari yang menurut Ama sangat lama. Bagaimana tidak, hampir 5 jam ia dibuat mati penasaran dengan maksud ucapan dari sang suami. Kini, langkahnya begitu pasti masuk ke dalam sebuah restoran di mana ia sudah janjian dengan Orion dan ayah mertua. Ia melongok, mencari keberadaan dua pria tersebut. Namun, selama mata menyusuri, tidak ia temukan keluarga barunya itu.Kenapa Orion tak menjemput? Karena Ama yang melarang. Ia begitu tak ingin menyusahkan orang lain pada saat kaki dan tangannya masih berfungsi untuk menyetir mobil. Lagipula, ia sudah biasa pergi-pergi sendiri selama ini.“Selamat datang, Nona. Apa Anda sudah buat janji?” tanya salah satu pegawai resto ketika melihatnya kebingungan di depan pintu.“Saya sudah buat janji dengan Tuan Orion,” jawabnya. “Apa mereka sudah datang?”“Baik, mari saya antar ke ruangannya, Nona.”Ama hanya mendengarkan sambil mengikuti langkah si pramusaji membawanya ke dalam sebuah lorong yang m
Ama pikir, Orion adalah lelaki berbeda dari yang lain. Kenyataannya, pria itu sama saja brengseknya dengan Edrick. “Rion itu benar-benar udah bikin mood aku hancur!” Ama menghentakkan satu kakinya kesal tepat di depan mobilnya. Parkiran terlihat sepi siang itu dan membuat Ama leluasa meluapkan emosinya. “Tau gitu tadi aku makan sendiri!” Ia menghela napas keras, lalu berbalik badan untuk membuka pintu mobil. Namun, suara Orion di belakang bahu segera membuatnya menoleh. “Amal! Tunggu dulu!” Adalah Orion Setiawan yang memanggilnya. “Biar aku antar!” Ama menepis tangan Orion. Ia lalu bersandar di badan mobil sambil bersedekap di depan dada. Tatapannya begitu bosan. “Jadi, ini yang kamu maksud tadi pagi?” Lelaki itu tak menjawab. Orion justru bertingkah seperti anak kecil yang hendak minta uang pada ibunya. Si suami memainkan ujung blazer yang dikenakan olehnya tanpa berani menatap manik coklat miliknya. Ia menepis tangan sang suami, lalu berseru tak sabar. “Jawab, Rion!” Kepala
Sesampainya di apartemen, Ama langsung melempar tas miliknya di atas sofa. Ia duduk dengan tangan sesekali memijat kening yang terasa pening. Embusan napas lelah pun tak terelakan. Baru saja ia memejamkan, suara ponselnya berdering. Sontak, decakan dari bibir merah pudar itu memenuhi ruang tamu. Dengan melawan malas dan kesal, Ama berusaha melihat si penelpon.“Siapa sebenarnya orang kurang ajar yang mengganggu waktu istirahatku? Apa dia tak tahu, kalau aku lagi kesel?” Bibirnya terus mendumel, tetapi tangan satunya tetap mencari keberadaan gawai tersebut.Setelah ketemu, Ama meliriknya. Adalah Orion Setiawan. “Cih! Masih ada muka itu orang hubungin aku!” Ia memang memutuskan tak pulang ke rumah milik sang suami hari ini. Ama butuh ketenangan setelah bergulat dengan banyak masalah hari ini. Ia juga butuh mendinginkan pikiran di rumahnya sendiri.Bayangan akan nikmatnya tidur di kamar sendiri harus terhempas karena dering ponsel. Mau tidak mau, Ama memperbaiki posisi duduknya agar le
“Kamu gak mau?” Ama tersenyum mencemooh menatap suaminya. Ia bahkan terlihat santai dengan tangan bersedekap di depan dada. “Itu hak kamu, Rion. Karena aku, gak akan pernah mau dibodohi lagi sama kamu!” “Kapan aku membodohimu, Mal?” Tangannya ditarik, lalu tubuhnya di pojokan ke dinding.“Cih! Apa kau lupa dengan semua yang telah kamu lakukan padaku dulu? Atau, kau hanya pura-pura lupa?” Ama menatap sengit lelaki itu. “Semua tak akan pernah terjadi jika kamu tak meniduriku, Bodoh!”“Tunggu dulu!” Rion segera mengkoreksi. “Bukankah kejadian itu karena ulahmu sendiri? Kalau kamu lupa, kamu yang udah merayuku, menggodaku, Amal!” Lelaki itu menyangkal dengan santai.“Tapi, lelaki yang baik tidak akan pernah tergoda, Rion!” Ama bersikeras. Ia melengos ke arah lain asal bukan mata Orion. Tatapan sang suami sungguh mematikan hingga sulit bagi dirinya mengelak.Lelaki itu tiba-tiba tersenyum menyeringai. “Jadi, aku bukanlah lelaki yang baik? Hm?”“Itu,” jedanya ragu, “k-kamu bisa menilainya