Share

Bab 2. Dicoret dari Hak Waris

Ama menunduk menatap foto-foto yang dilempar ayahnya. Foto-foto tersebut diambil dengan sudut yang pas. Tentu akan membuat orang yang melihat menjadi salah paham.

Itu adalah foto dirinya dan Orion yang tengah ada di lorong hotel semalam, bahkan ada beberapa foto Orion ketika menggendongnya masuk ke kamar hotel.

Deg!

Keringat dingin membanjiri dahi Ama. “B-bagaimana bisa ada f-foto itu…”

Tubuhnya gemetar ketakutan, apalagi saat matanya menangkap jelas keberadaan Edrick yang duduk di single sofa, di rumahnya.

Tungkainya yang lemas dipaksa untuk berjalan mendekati sang tunangan. “M-mas, A-ama bisa jelasin!”

Pria itu langsung menepis tangan Ama saat ingin digenggam. Sakit, tapi tak berdarah. Hatinya begitu diliputi rasa takut dan juga frustasi.

“M-mas….” panggilnya dengan mata basah.

“Bukankah pria itu adalah Orion?” tanya Edrick.

Ama menegang kaku, apalagi saat Edrick membawa-bawa nama pria itu. Dia bingung harus menjawab apa dan hanya menunduk.

“I-tu–”

“Tega kamu, Ma!” kata itu begitu pendek, tapi cukup membuat hati Ama semakin porak-poranda.

Ama menggeleng. Dia berusaha keras untuk menjelaskan pada Edrick. Namun, lidahnya begitu kelu, apalagi saat melihat tatapan kecewa yang tergambar jelas di sorot mata sang tunangan.

“A-ma bersumpah, Mas. Hanya Mas Edrick yang Ama cinta, bukan pria mana pun,” ujarnya, jujur.

“Lalu, bagaimana bisa kamu tidur sama Orion, Ma?” Suara Karina menginterupsi Ama yang sedang mencoba menjelaskan pada Edrick. “P-padahal… padahal semalam ulang tahunku, tapi kamu malah membuat Mas Edrick marah gara-gara kejadian ini…”

Ama masih tidak paham dengan korelasi ulang tahun Karina dan keadaan Edrick. Namun, melihat bagaimana wanita itu meneteskan air mata, dan bersandar di bahu Edrick, ia sudah bisa menduganya.

“Kau yang sudah membuatku mabuk semalam!” Ama berkata dengan suara bergemeletuk menahan geram. Dia bahkan langsung mendorong dada kakak tirinya itu dengan penuh benci.

“K-kok kamu malah nyalahin Kakak, sih?” Karina masih menangis. “I-itu ulang tahunku… a-aku tidak mungkin melakukan hal buruk kepada adikku sendiri…”

“Cukup, Ama!” bentak Edrick. “Kamu padahal tau, kalau aku tuh gak suka kamu deketan sama pria bajingan itu! Kalau kamu mabuk, harusnya mencariku atau pulang saja, bukannya tidur dengan Orion!”

Ama menggeleng prihatin. “Sumpah demi apa pun, Mas! Aku juga gak tau bagaimana bisa ada di kamar itu dengan Orion!”

Plak!

Bukan Edrick atau Karina, tapi Akbarthea atau ayahnya sendiri yang menampar keras pipi Ama. Wanita itu terdiam. Bahkan semua orang yang ada di sana pun ikut terkejut.

“Kamu masih berani menuduh kakakmu yang melakukan itu? Apa kamu tidak tahu jika semalaman kakakmu sudah mencarimu ke mana-mana?!” bentak Akbar.

Ini adalah kali pertama Akbar meninggikan suara untuk Ama.

“A-ayah….”

Ayahnya yang sedari tadi duduk dan menonton kini terlihat begitu kecewa. Wajah ramah dan tatapan teduh yang biasa pria tua itu berikan kepada Ama, kini jelas tidak tersirat di sana. Hanya tatapan marah dan juga kecewa.

“Cukup, Ama! Ayah sudah melihat semuanya. Ayah nggak nyangka jika kamu akan berbuat seperti—ugh….”

Brug!

“AYAH!”

Tubuh Akbar mendadak limbung, dan terjatuh di lantai.

“Ayah!” Ama yang panik pun langsung menghampiri pria tua itu, memeluknya dengan derai air mata yang membasahi wajahnya.

“Ayah… maafin Ama… maaf…”

“A-ayah kece-wa padamu, A-ama. J-jika kamu tak menyelesaikan masalah ini, A-ayah akan mencoret namamu dari hak w-waris!”

***

"Gimana keadaan ayah saya, Dok?”

Ama bergegas menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. Serangan jantung ayahnya tiba-tiba kambuh, sehingga membuat Ama kalap sendiri. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit ia terus berdoa. Hanya ayahnya satu-satunya keluarga yang ia punya.

“Kondisi Tuan Akbar sudah stabil. Namun, beliau masih tidak sadarkan diri. Saya akan memindahkan beliau di kamar inap saja untuk memantau keadaan beliau hingga sadar,” ucap sang Dokter.

Ama bisa bernapas sedikit lega setelah mendengar penjelasan dokter. Lalu, ayahnya pun dipindahkan ke kamar rawat inap VVIP, Ama terus menemaninya di sana. Dirinya tidak mengharapkan kedatangan ibu dan kakak tirinya.

Wanita itu memegang telapak tangan Akbar dan menempelkannya ke pipi.

“Ayah, maafin Ama...,” ujar Ama sambil terisak.

Kalau saja dia tidak datang ke pesta Karina, kalau saja dia masa bodoh dengan tatapan orang-orang ketika dia menolak minuman Karina, kalau saja dia tidak mementingkan citra perusahaan daripada citranya sendiri, semua ini tidak akan terjadi. Ayahnya pasti masih sehat dan menyambutnya dengan senyuman di rumah.

Suara pintu didorong dari luar segera membuat Ama menoleh. Bibirnya tak bisa untuk tak berdecih, apalagi dengan tak berperasaan dua manusia palsu itu masuk dan duduk di sofa.

Karena malas berbicara dengan mereka, Ama hanya membuang muka dan kembali fokus pada ayahnya

“Cecunguk kayak kamu sudah terlalu lama dimanja. Sekarang, aku sebagai ibu barumu harus memberimu sedikit pelajaran hidup.” Ameera mengangkat dagunya tinggi.

“Tahu apa Anda tentang hidupku? Kalian masuk ke dalam keluarga kami karena harta yang telah dikumpulkan oleh kedua orang tuaku.” Ama berbicara penuh penekanan, masih duduk di sebelah brankar ayahnya.

“Kalian sudah merusak hidup kami. Dan kamu!” Ama menunjuk Karina dengan mata tajam. “Aku pastikan kamu dapat balasan yang lebih buruk dari bayanganmu.” Lanjut Ama.

Bukannya takut, Karina malah tertawa sinis. "Coba saja. Memangnya siapa lagi yang percaya padamu sekarang? Mas Edrick bahkan tidak sudi melihat wajahmu lagi."

Ama masih menatap tajam Karina. Tangannya mengepal kuat.

'Bolehkah aku melempar tabung oksigen ini ke wajah penuh suntik botox itu?' batin Ama menggeram.

"Ah, satu lagi," sekarang, Ameera yang berbicara. "Sepertinya, pengacara ayahmu akan menghubungimu segera. Untuk membicarakan perpindahan hak waris."

Kedua ibu dan anak itu pun tertawa lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status