"Bi Fara, panggil Sina kemari! Suruh dia menemuiku!" titah Qasam yang bertemu dengan Fara di anak tangga. Pria itu mengenakan piyama tidur, tampak santai sekali."Oh, baik, Tuan. Akan saya panggil." Fara balik menuruni anak tangga. Qasam menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian sosok yang ditunggu muncul juga, Sina menunduk menghadap Qasam. "Selamat pagi, Tuan! Ada yang bisa saya bantu?" Qasam menatap Sina yang menunduk. Dia menatap dari ujung kaki ke ujung rambut. Tatapannya sinis pada Sina. Modelan begini bagaimana bisa menjadi pembantu di rumah itu? Sungguh tidak memenuhi kriteria sama sekali. Qasam menyungging senyum."Mumpung kau belum lama bekerja di sini, aku akan berikan mandat kepadamu," ucap Qasam sambil mengangkat kaleng minuman dan meneguknya.Sina mengangkat wajah. Lalu tersenyum. "Tuan muda, saya tahu kalau kita ini ipar bukan? Pastilah Tuan mau memberikan keistimewaan buatku. Aku ini adiknya Kak Qizha."Wah, pintar sekali dia mengakui persaudaraan di saat begini. "
Tak lama kemudian, Qizha muncul. Wanita itu menuruni anak tangga dengan bantuan kruk. "Qizha, mama ingin menanyakan kepadamu satu hal, tapi sebelumnya, mama ingin tahu, kenapa kamu pakai kruk begini?" tanya Habiba yang baru tahu kalau menantunya itu dalam kondisi tidak baik- baik saja."Ini kemarin kecelakaan dikit pas naik mobil sama teman. Tapi nggak apa- apa kok," sahut Qizha dengan tenang."Sungguh? Itu kamu sampai harus pakai kruk loh, berarti parah ya? Ada yang patah?""Enggak, Ma. Cuma kaki agak sakit jadi butuh bantuan kruk."Qasam mengawasi wajah mamanya dengan serius, takut mamanya akan curiga. Habiba mengangguk. Akhirnya Qasam lega melihat mamanya mengangguk."Baiklah, sekarang mama mau tanya, ini Sina adalah adik tirimu, kenapa kamu biarkan dia menjadi pembantu di sini?" tanya Habiba.Qizha menatap Qasam, takut salah menjawab. Pria itu bisa saja kecewa padanya jika ia sampai salah bicara. Namun Qasam hanya diam, tak memberikan kode apa pun. Sepertinya dia memasrahkan ja
Semuanya tercengang. Qasam pun terkejut, tapi bukan terkejut atas penjelasan Sina, melainkan terkejut kenapa Sina berani buka mulut atas kasus itu. ingin sekali Qasam menggantung kepala Sina di pohon durian. Sudah sangat muak atas kelakuan wanita penyihir itu.Sejak awal melihat Qasam sebagai preman yang berpura- pura miskin, wanita itu dengan entengnya menghujat, menghina dan membenci. Sekarang memohon- mohon minta tinggal di rumah bagus dan setelah ditolak, dengan enaknya berusaha menyingkirkan Qizha. Dasar tukang dengki!“Kau bicara apa, huh? Jangan sembarangan bicara kalau tidak mau kepalamu ini ke lempar ke sawah!” tegas Qasam sambil menarik lengan Sina dan menyeretnya. “Keluar kau dari sini!”“Qasam, tunggu! Biarkan dia bicara dulu!” pinta Husein. “Meskipun benalu itu menyebalkan, tapi kita butuh informasi dari dia!” “Apa yang perlu papa dengarkan dari wanita pendusta ini? aku jauh lebih kenal dia, dia ini pembohong, tukang tipu, tukang fitnah!” geram Qasam.“Nyonya,
“Qasam, tunjukkan hasil pemeriksaan milik Qansha pada mama!” pinta Habiba tegas.“Mama tidak percaya padaku? Qansha meninggal bukan karena keracunan. Bagaimana mungkin mama malah mempercayai Sina?” Qasam tampak frustasi, dia sedang berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya. Sejak awal, Qasam berniat akan menyelesaikan masalah Qansha sendirian tanpa campur tangan siapa pun. Ada banyak masalah yang akan muncul bila fakta yang sebenarnya itu terbongkar. Pertama, mamanya pasti akan marah besar mengingat Qasam menyembunyikan masalah besar itu sendirian. Kedua, Qasam kini melindungi Qizha. Jika Habiba sampai tahu kasus yang sebenarnya, Qizha pun pasti akan terancam juga.“Justru sekarang mama ingin melihat hasilnya, berikan saja pada mama!” pinta Habiba.“Papa juga mau lihat! Selama ini hanya kamu sendiri yang mengurus masalah itu. papa percayakan segala urusan kepadamu, jangan sampai malah menjadi masalah. Berikan dokumen itu kepada kami!” tegas Husein yang terkesan mendesak.
“Omong kosong!” gertak Husein kesal. “Papa sudah bisa membaca masalah ini dengan jelas. Kau membela Qizha hanya karena kau jatuh cinta pada pandangan pertama, kau juga sampai rela mengejar Qizha ke kampungnya dan bahkan sampai menyamar jadi preman hanya demi bisa menikahinya. Kegilaan macam apa ini? Memalukan!”Husein marah besar.Qasam tergugu, tak menyangka papanya malah salah paham dan menilai dari sudut pandang yang melenceng jauh dari kenyataan. Qizha pun bingung harus berbuat apa. Pertikaian di hadapannya membuatnya jadi serba salah. Tak berani angkat suara. “Ma, Pa, akulah yang bodoh dalam hal ini,” ucao Qizha. “Aku nggak bisa membaca situasi yang mengancam. Sampai aku harus mempercayai ayahku sendiri, yangbternyata ayahku memperalay dan menjebakku.”“Kau tidak disuruh bicara. Diam kau!” hardik Husein muak sekali.“Papa jangan melakukan kesalahan seperti yang kulakukan, awalnya aku juga tidak percaya pada Qizha, tapi sekarang aku mempercayainya,” ujar Qasam.“Alasan apa
Qizha kini tinggal di sebuah kontrakan. Tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Kembali ke laptop. Setelah sekian lama ia tinggal seatap dengan Qasam, bahkan perasaan mereka sudah saling sayang satu sama lain, kini mereka malah dipisahkan oleh situasi. Jujur saja, Qizha merasa rindu. Ingin bertemu Qasam. Sedang apa suaminya itu sekarang? Qizha menjalani hari- hari sendirian. Masak sendiri dan makan pun sendiri. Meski terpisah dari Qasam, namun ia tetap berusaha semangat. Toh di kantor dia juga masih bisa bertemu dengan suaminya itu. Kadang- kadang, Qizha merasa was- was saat terdengar suara- suara aneh di dekat rumahnya. Bisa jadi ada suara ketukan dan ternyata suara musang berlarian di genting, suara seperti garuk- garuk dinding yang ternyata itu hanya kucing, atau suara- suara lain yang membuat waspada.Bukan takut pada setan, tapi takut ada manusia jahat yang bisa saja berbuat tak jahat kepadanya. Semenjak menikah dengan Qasam, ancaman dari mana bisa saja datang. Bahka
Baiklah, sehubungan suami yang memerintah, Qizha pun naik ke kasur yang hanya muat untuk dua orang itu. Kasur juga tidak empuk, ranjangnya berupa dipan sederhana. Qizha berselimut kain tipis. Kipas angin menyala, suaranya pun berisik sekali. Qasam duduk di pinggir kasur sesaat setelah mematikan lampu, ruangan pun berubah menjadi remang- remang, penerangannya hanya melalui lampu dari luar yang masuk dari ventilasi. Brak brak brak.. gludak.Qizha kembali membuka mata saat mendengar suara berisik itu. Ia melihat Qasam tengah memukuli kipas angin, tak begitu keras memukulinya, hanya sedang berusaha membuat kipas tak bersuara.Qizha menutup mulutnya saat tawa itu meluncur keluar dari mulut, lucu juga melihat Qasam kebingungan mengurus kipas angin. Qasam berhenti memukul kipas saat pandangannya bertemu dengan Qizha, ia yabg berdiri di dekat kipas pun kembali ke kasur. "Kipasnya berisik sekali," ucap Qasam sambil menarik selimut yang dipakai oleh Qizha dan memasukkan tubuhnya menyatu di
Qasam kini berpenampilan seperti preman, sama seperti ketika dia menyamar saat mendatangi kampungnya Qizha. Ia mengenakan kaos ketat hitam dipadu celana jeans yang bagian pahanya sobek. Jaket kulit menggayut di pundak. Ia duduk nangkring di atas motor. Sorot matanya tajam mengarah pada wanita yang berjalan menuju ke arahnya. Tak lain Sina. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat, mendekat pada Qasam dengan raut gembira. "Mas Qasam! Kok tumben penampilan balik ke laptop?" Sina sok akrab. Bahkan kini dia sudah berani memanggil Qasam dengan panggilan 'Mas'. Qasam tidak mau memprotes urusan panggilan itu. Tak ada guna. "Sesuai kesepakatan, aku akan kasih uang kepadamu dengan satu syarat!" ucap Qasam."Syarat apa?" Sina tampak senang sekali. "Temui ayahmu, setelah itu baru aku berikan uang untukmu!" "Loh, memangnya kenapa dengan ayah?" Sina mulai tampak berpikir. "Lebih tepatnya pertemukan aku dengan ayahmu." Tak mungkin Qasam langsung minta ketemu dengan Agatha, hal itu tentu ak