"Umi ... Umi kenapa?" teriak Cintya histeris.Sejurus kemudian, tubuh umi Khofsoh hampir limbung. Untung saja Cintya dengan cepat menangkapnya, sehingga tidak sampai jatuh. "Mas, cepat angkat umi!" Cintya semakin panik, karena umi tak sadarkan diri. Bara langsung mengangkat tubuh kecil uminya ke kamar. Mbah Yah dan Cintya tergesa-gesa mengikuti dari belakang. "Umi, bangun Mi!" Bara menepuk pelan pipi wanita yang di telapak kakinya ada surganya."Mbah, tolong carikan minyak kayu putih," perintah Cintya dengan nada bergetar karena khawatir. Baru kali ini dia melihat umi tak sadarkan diri. Mbah Yah tergesa mengambil minyak kayu putih di kotak obat. "Ini Bu."Cintya mengolesi jarinya dengan minyak kayu putih, lalu mendekatkan ke hidung sang mertua. "Bagaimana ini, Mas?" panik Cintya, karena umi juga belum sadar. Bara terus menepuk pelan pipi uminya. Cintya kembali mendekatkan ujung minyak kayu putih ke hidung umi. Setelah beberapa menit, usahanya berhasil. Umi mengerjap lalu matany
Sejak kejadian tadi pagi, suasana rumah mendadak sepi. Tak ada senyum di antara penghuninya. Umi Khofsoh masih mendiamkan Bara. "Umi," panggil Bara di depan pintu kamar. Dari tadi uminya hanya berdiam diri di kamar. Bahkan untuk makan saja, mbah Yah harus mengantarnya. Tak ada sahutan. Namun Bara tahu, uminya belum tidur jam segini. Dengan memberanikan diri, Bara membuka pintu. "Umi." Bara menghampiri umi yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Tangannya memegang tasbih, sementara matanya terpejam. Bara meraih tangan lembut uminya. Kepalanya ia sandarkan di pangkuan umi. "Umi jangan mendiamkan aku begini. Umi boleh memarahiku, tapi jangan pernah mendiamkanku." Bara mengiba, seperti anak kecil yang sedang merayu meminta coklat. TesCairan bening lolos dari mata umi yang masih terpejam. Sesungguhnya hatinya amat tersiksa. Ingin sekali ia membelai rambut anaknya, seperti waktu Bara masih kecil. Namun urung ia lakukan, mengingat Bara telah melakukan kesalahan fatal. "Umi, ji
"Hati-hati, Nak!" pesan umi Khofsoh, karena Bara berjalan tergesa. Bara begitu hati-hati saat menuruni anak tangga. Ada dua nyawa yang harus ia pertahankan. Cintya mengalungkan tangannya di leher Bara. Dia memperhatikan wajah Bara yang tampak tegang. "Duduk di sini dulu. Aku keluarkan mobil." Bara menurunkan Cintya di kursi teras. "Ini Bu, jilbabnya!" Mbah Yah menyerahkan jilbab instan berwarna moka kepada Cintya. Mbah Yah mencomotnya asal karena sama-sama panik. "Terima kasih, Mbah." Cintya mengenakan jilbab yang diberikan mbah Yah. Sementara itu, Bara tengah memanaskan mesin mobil yang sudah beberapa hari ini tak terpakai."Sakit perutnya, Nduk?" tanya umi Khofsoh. "Tidak Umi." Cintya tidak merasakan apa-apa. Mungkin karena saking paniknya. Umi Khofsoh menuntun Cintya menaiki mobil. Mbah Yah mengunci pintu rumah, lalu ikut duduk di bangku belakang. "Jauh rumah sakitnya?""Dekat, Umi. Enggak sampai lima menit sudah sampai," jawab Bara sambil fokus mengemudi. "Kita ke klinik
"Bu Cintya mengalami pendarahan. Pendarahan terjadi, karena adanya kontraksi rahim. Banyak penyebanya. Salah satunya karena hubungan suami istri, di trimester pertama," jelas bu bidan. "Boleh ditutup lagi bajunya!" ujar sang perawat. Umi membantu mengancingkan baju Cintya. Lalu, dia membantu menantunya bangun. Bu bidan kembali ke tempat duduknya. "Untuk saat ini, istrinya jangan dicampuri dulu, ya, Pak!"Muka Cintya memerah menahan malu. Baginya, membahas masalah ranjang merupakan hal tabu. Dibantu Bara, dia kembali duduk di hadapan bu bidan. "Apa ini bahaya, Bu?" Kali ini Bara memberanikan bertanya."Kalau tidak segera ditangani sangat berbahaya. Efeknya bisa menyebabkan keguguran dan juga nyawa ibunya terancam. Saya sarankan istirahat total, sampai dirasa tidak ada darah yang keluar. Namun, kalau selama tiga hari masih terus pendarahan, segera ke dokter kandungan. Karena saya tidak bisa meresepkan obat penguat kandungan. Itu di luar wewenang saya."Bara mengangguk menyimak penj
#Berbagi_Surga "Nduk." Cintya menjingkat kaget, kala umi Khofsoh menepuk pundaknya. "Eh iya, Mi," jawabnya sambil mengatur debar jantung yang berdetak lebih cepat, karena kaget. "Lagi mikirin apa, sih? Dari tadi dipanggil kok enggak nyahut," ujar umi Khofsoh pelan. Dia tidak mau, anak menantunya sampai stres, karena akan berakibat pada calon cucunya. "Enggak ada, Mi," bohong Cintya. Dia tidak mau gegabah menceritakan kecurigaannya pada umi.Setelah hampir setengah jam menunggu, Bara keluar bersama istri mudanya. Mereka diantar seorang wanita yang lebih muda dari umi Khofsoh. Dari perawakannya, Cintya tahu kalau itu ibu Aisya. Raut mereka juga sangat mirip. Bedanya, Aisya lebih tinggi dan kurus. "Aisya duduk di belakang sama umi, ya?" ujar Bara sambil membuka pintu belakang. Wajahnya mendadak pias, ketika beradu pandang dengan umi. Namun Aisya segera menguasai diri. Umi Khofsoh menggeser duduknya agak ke tengah, agar Aisya bisa masuk. "Umi," sapanya sambil meraih tangan umi. Dici
Umi Khofsoh menuju dapur, setelah memastikan Bara benar-benar menemani Cintya. Diraihnya gelas kaca berukuran sedang lalu mengisinya dengan air hangat. Tak lupa, umi Khofsoh meminta mbah Yah untuk mencarikan pembalut Cintya di kamar atas. Tok tokUmi Khofsoh mengetuk pintu kamar Aisya. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, dia beringsut masuk. "Dapat, Mas?" tanya Aisya dengan mata terpejam. Dia tidak tahu, kalau yang masuk mertuanya. "Bara sedang menemani Cintya. Jadi saya bawakan air putih hangat, agar nyeri perutmu reda." Sadar bukan suaminya yang datang, Aisya sontak bangun. Dia menjadi salah tingkah."Tidurlah. Saya hanya mau mengantarkan ini!"Tak lama, mbah Yah menyusul umi di kamar Aisya. Dia menyerahkan sebungkus pembalut, yang isinya tinggal setengah. Aisya masih diam. Dia takut berbicara. "Pakai ini dulu!" Umi Khofsoh meletakkan pembalut di samping Aisya. Aisya hanya mengangguk. "Bara umi minta menjaga Cintya."Lagi-lagi Aisya hanya mengangguk. Umi Khofsoh mencoba men
Bara yang bingung dengan perubahan istrinya, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Dia tak tahu, harus membujuk dengan cara apa lagi agar Aisya berhenti merajuk. "Bagaimana, kalau memang aku enggak bisa hamil?" tanya Aisya dengan suara menyayat hati. Aisya teringat percakapannya dengan umi, kalau salah satu tujuan pernikahannya adalah memperbanyak umat Rasul. Nyatanya, justru kakak madunya yang diberi amanah terlebih dahulu. "Kita baru satu bulan menikah. Jangan takut berlebihan," hibur Bara. "sekarang tidurlah, sudah malam." Bara mengecup kening Aisya. Dia sengaja menghindari perdebatan dengan istri mudanya. "Aku takut Mas akan meninggalkanku," lirih Aisya. "Kalian tadi mengobrol apa saja?" tanya Bara mengalihkan pembicaraan. Dia tahu, pasti terjadi sesuatu antara umi dan Aisya. "Aku sakit hati, Mas." Aisya menutup wajahhnya dengan kedua telapak tangan. Tak lama, tubuhnya kembali terguncang. Bara semakin tak tega melihat istri mudanya tersiksa. Entah apa yang dikatakan um
Bara menunduk dalam. Tak mudah membujuk Aisya yang terlanjur kecewa dengan sikap umi. Namun, mengantarkan Aisya pulang ke rumahnya, juga bukan pilihan tepat. Pasti umi Khofsoh semakin benci dengan Aisya. Bara ingin kedua istrinya mempunyai kedekatan dengan umi. "Kita makan, yuk!" ajak Bara agar Aisya tidak larut dalam kesedihan. "Mas kenapa sih, dari tadi malam selalu mengalihkan pembicaraan kalau aku bahas umi?" kesal Aisya. "aku enggak lapar, Mas. Aku hanya pengen pulang." Bara menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Rongga dadanya ikut sesak, memikirkan Aisya dan umi. Dalam hati, Bara juga menyesalkan sikap umi, yang terkesan membeda-bedakan Aisya dan Cintya. "Makan dulu, nanti sakit,"bujuk Bara."Biar saja aku sakit. Enggak ada yang peduli, kan?" "Siapa bilang. Aku enggak mau lihat Kamu ataupun Cintya sakit.""Aku capek, begini terus," keluh Aisya sambil tangannya menarik rumput yang tumbuh di samping pohon Kenanga. Tangannya terus meremas-remas rumput itu. "Ayo makan!" paksa