Semua Bab SULTAN DESA: Bab 51 - Bab 60
102 Bab
51. Amanat
Detik-detik menjelang keberangkatan orang tuanya ke Tanah Suci adalah saat-saat yang paling membingungkan buat Gilang. Dia berada di antara dua pilihan yang sama sulitnya. Dan dua-duanya bukan jalan keluar yang terbaik. "Abi lihat seperti ada yang ingin kamu sampaikan," kata ayahnya sesaat sebelum naik bus jamaah menuju penginapan karantina. "Katakanlah sebelum terlambat." Gilang menggeleng dengan wajah muram. Dia tidak sanggup mengutarakan. Bagaimana dia tega membekali perjalanan suci mereka dengan sebuah kenistaan? "Selamat jalan, Abi." Gilang memeluknya dengan sedih. "Semoga Abi baik-baik saja di Tanah Suci." "Jaga adikmu baik-baik," pesan Umi menahan tangis ketika mendapat kesempatan memeluk anaknya yang terakhir kali. "Jangan bertengkar. Kamu mesti sabar menghadapinya." Sementara Wisnu sudah pergi diam-diam. Dia pengap melihat pemandangan di sekeliling. Air mata bercucuran di mana-mana seolah mereka tidak akan bertemu lagi. Mereka pergi h
Baca selengkapnya
52. Dalam Rinai Hujan
Kartika memandang ke luar lewat gorden jendela kamar. Hujan turun sangat deras. Musim kemarau telah berlalu. Gilang sampai hari ini belum memberi tahu di mana alamat adiknya. Dia sedikit tenang karena pemuda itu tidak mungkin membiarkan mereka menderita. "Aku sudah katakan jangan datang ke apartemen kalau kamu belum berubah," kata Gilang dalam pertemuan terakhir mereka. "Kamu masih saja menggangguku." "Aku sudah berubah," sahut Kartika. "Aku sudah menghentikan kegilaan itu. Bagaimana aku membuktikannya padamu?" Entah Kartika bertekad ingin menghentikan hubungan terlarang itu atau Abah tidak pulang-pulang, mereka sudah sebulan lebih tidak berhubungan intim. "Aku ingin tubuhmu," ujar Gilang tiba-tiba. "Kamu adalah ikan Yellowfin yang sungguh menggugah selera untuk disantap." Kartika memandang tak percaya. "Kamu serius?" "Kamu akan mendapatkan alamat adikmu kalau bersedia melayaniku." "Se...ka...rang?" tanya Kartika terbat
Baca selengkapnya
53. Sandiwara yang Sempurna
Istri muda Abah bernama Surti, kira-kira seusia Nita. Lulus SMP langsung jadi istri muda bandar jeruk, bertahan 2 tahun. Kemudian jadi istri muda pamong desa, dua tahun juga. Nah, paling singkat dengan Abah, dua bulan. Sekalipun cuma dua bulan, sensasinya tidak kalah dengan dua tahun. Jika dilayani, Abah bisa sampai sepuluh kali dalam sehari. Kartika salut pada Ambu yang dapat bertahan puluhan tahun. Hari ini Surti datang dengan diantar ayahnya untuk menggugat cerai. Gadis semuda itu berumah tangga dengan Abah tidak trauma saja bagus. "Kedatangan aku ke sini untuk minta cerai," kata Surti menjelaskan maksudnya. "Aku ingin bertemu Abah." "Sebentar," tukas Kartika tidak mengerti. "Abah sudah dua bulan tidak pulang. Tinggal di rumah yang baru bersamamu. Mengapa tiba-tiba saja kau datang ke rumahku ingin bertemu Abah?" "Malam Abah pergi," sahut Surti. Kartika kaget. "Pergi kenapa?" Surti kelihatan serba salah. Dia menoleh ke ayahny
Baca selengkapnya
54. Kabar Buruk
Rara membuka dasi dan kemeja suaminya. Sebuah pelayanan yang sudah menjadi janjinya sebagai istri. Gilang baru pulang kerja. Istrinya libur hari Sabtu dan Minggu. Dia pasti sibuk kalau suaminya nanti masuk kantor tiap hari. Dia harus pulang lebih awal agar bisa menyambut kedatangan suaminya. Gilang tidak pernah minta untuk mendapat pelayanan seperti pangeran. Dia tidak enak jika Rara sedang mencopot sepatu di beranda kepergok oleh mertuanya. Dia sudah menolak untuk diperlakukan begitu, istrinya malah marah dan menganggapnya menutup pintu untuk berbakti kepada suami. Perlakuan istimewa ini membuat Gilang mempunyai beban tanggung jawab untuk dapat mewujudkan setiap keinginan istrinya. Untung Rara tidak memiliki banyak keinginan. Dia hanya ingin dicintai untuk selamanya. Gilang jadi tidak tahu harus belanja apa setiap kali mereka pergi jalan-jalan ke mall. Gilang sungguh suami yang beruntung. Dia dianugerahi seorang istri yang demikian sempurna dengan sedikit pe
Baca selengkapnya
55. Pulang
Rara ketar-ketir saat Gilang mengajak pulang kampung. Dia ingin suaminya saja mengantar Ambu pulang dan diturunkan di depan rumah. Mata-mata orang tua Gilang bertebaran di setiap sudut kampung untuk memonitor anaknya selama mereka pergi ke Tanah Suci. Dia tidak mau kepulangan mereka menghadirkan petaka baru. "Kita tidak mungkin bisa sembunyi selamanya," kata Gilang sambil menunggu istrinya selesai berdandan. "Hanya soal waktu pernikahan kita bocor ke warga." "Jangan kita yang menentukan menentukan," sanggah Rara. "Biarlah waktu itu sendiri yang menentukan." "Apa yang kamu takuti kalau orang tuaku tahu tentang pernikahan kita?" tanya Gilang. "Kamu takut suamimu jatuh miskin?" "Aku takut suamiku tidak dapat menerima kenyataan. Aku tahu kamu tidak kerasan tinggal di Jakarta, hanya karena cinta kamu rela tidur di kamarku. Sampai kapan itu bertahan?" "Selamanya," sahut Gilang yakin. "Aku sudah ingin belajar hidup seperti orang kebanyakan, kamu sugu
Baca selengkapnya
56. Bukan untuk Bertengkar
Hujan turun sangat deras ketika mobil Gilang memasuki jalan perkampungan. Suasana sangat sunyi padahal baru jam delapan malam. Gilang melambatkan lari mobil karena jarak pandang terbatas. Dia menjalankan mobil agak ke tengah, menjaga agar ban tidak terpeleset ke tanah dan pasti merepotkan. Jalan ini belum memiliki trotoar. "Ketakutanmu terbukti tidak beralasan," kata Gilang. "Siapa yang tertarik melihat perut buncit di hujan lebat begini? Kodok saja enggan keluar lubang." "Aku tidak takut ketahuan perut buncit," sahut Rara. "Aku takut akibatnya yang menimpa kamu." "Aku sendiri tidak takut akibatnya. Kenapa kamu mesti takut?" Gilang sudah nekat. Dia tidak peduli dengan pandangan warga. Kenal saja tidak. Dia besar di kota. Sejak masuk SMP dia sudah meninggalkan kampung halaman. Dia pulang enam bulan sekali dan itu tidak cukup untuk mengenal perkembangan penduduk kampung. Kepala Gilang mumet karena memikirkan orang tua. Ayahnya tokoh terpandang d
Baca selengkapnya
57. Merubah Rencana
Jantung Rara berdebar kencang. Dia tidak tahu apa maksud Gilang dengan membawa dirinya pulang ke rumah orang tuanya. Dia kuatir suaminya tersinggung dengan kata-kata Kartika sehingga merubah rencana semula. "Aku ingin menginap di rumah kakakku karena sudah lama tidak pulang," kata Rara cemas. "Kau rubah rencana secara mendadak. Aku terus terang tidak paham." "Kamu tidak ingin tidur di kamar paling mewah di kampung ini?" tanya Gilang santai. "Kesempatan yang mungkin datang hanya sekali untuk seumur hidup." "Aku takut, lebih baik kita pulang ke Jakarta." "Apa yang kamu takuti?" "Kamu membawaku ke rumah dengan perut besar begini, bagaimana aku bisa tenang?" Ada satu yang paling ditakuti Rara dengan kedatangan ke rumah orang tua suaminya. Mereka masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan oleh orang rumah dan suaminya tidak menyadari hal itu. Orang tua Gilang mungkin saja sudah mendengar kabar tentang pernikahan diam-diam ini. Ke
Baca selengkapnya
58. Kamar yang Indah
Malam yang penuh kebahagiaan. Rara sangat tersanjung mendapat sambutan hangat dari orang rumah. Dia sendiri lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Mereka mengingatkan dengan kejutan yang sangat istimewa. Pesta ulang tahun yang sangat mewah dan mungkin tidak dialaminya lagi. Gilang mengajak istrinya masuk ke dalam kamar selesai menikmati hidangan makan malam. Koki menyiapkan masakan spesial dan semua memuji kelezatannya.  Rara duduk di sofa beludru sambil melihat-lihat interior kamar. Sebuah kamar yang sangat besar dan mewah. Lebih besar dari rumah mereka di Jakarta. Perabotan sangat eksklusif dan memiliki nilai seni. Lukisan naturalisme ghotic yang terpampang di dinding berwarna cerah menambah kesan mewah dan menarik. Suaminya begitu dimanjakan kehidupan. Kemewahan adalah teman sehari-hari. Dia tidak perlu bermimpi karena semua sudah terwujud. Kekayaan semakin berlimpah apabila mewarisi harta opanya. Sebuah keadaan yang membuat Rara sangat khawa
Baca selengkapnya
59. Hari Ceria
Rara bangun dengan badan pegal-pegal. Dia melihat suaminya tidak ada di tempat tidur. Matanya melirik jam besar berbentuk lemari dengan ukiran unik yang terdapat di sudut ruangan. Pukul delapan. Suaminya tentu sudah berada di tempat kerja. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Rara mengambil handphone di meja kecil. Ada notifikasi chat dari suaminya. Dia buka. "Aku tidak membangunkan kamu karena kelihatan pulas sekali," bunyi chat itu. "Orang rumah hari Minggu biasa breakfast jam 8.00. Kamu pasti bangun telat. Hubungi saja manajer rumah tangga untuk menyiapkan sarapan saat kamu bangun. Nomornya ada di telepon rumah." Rara mengirim chat memberi kabar. "Aku bangun jam delapan tepat. Aku mesti pergi ke rumah Kartika karena tidak membawa baju salinan." Kemudian muncul chat balasan. "Wisnu sudah membelikan beberapa setel pakaian dan seperangkat alat kecantikan sebagai hadiah ulang tahun.  Hadiah itu aku simp
Baca selengkapnya
60. Api Cemburu
Rara melewati hari-hari di rumah suaminya dengan bahagia. Dia merasa jadi ratu di rumah itu. Setiap kata-katanya adalah perintah, tak ada yang berani membangkang, padahal bukan menantu resmi. Dia akan pergi sebelum orang tua suaminya pulang dari Tanah Suci. Siang itu Rara menemukan Pak Kumis sudah mencukur bersih kumisnya. Malam itu dia sebenarnya bercanda tapi didengar serius oleh security separuh baya itu. Dia tidak takut melihat pria berkumis, hanya geli. Itu juga untuk Gilang, bukan untuk orang lain. Dia merasa terganggu apabila mereka berciuman. Rara menghabiskan waktu di dalam rumah. Dia tidak merasa bosan karena rumah ini sangat besar dan terdapat banyak ruangan. Dia kadang jalan santai di taman ditemani Silvana dengan CCTV dikondisikan oleh Wisnu. Anak itu sangat berpengaruh di rumah ini sehingga tidak ada satu pegawai pun yang berani berkhianat. Kemudian Rara tenggelam berjam-jam di perpustakaan melalap habis novel klasik yang menarik perhatiannya. K
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status