Semua Bab Dendam dan Rahasia Tuan Muda: Bab 171 - Bab 180
205 Bab
Masa Lalu Lodra
Wanita itu mengajak Adhira memasuki sebuah kamar yang sama redupnya dengan lorong yang mereka lalui. Ada sebuah ranjang dengan tumpukan pakaian bekas di atasnya. Sisa puntung rokok serta botol-botol minuman berserakan memenuhi lantai kamar. Tanpa ragu, Adhira mengempaskan tubuh wanita tadi ke atas ranjang.Dengan gusar dia bertanya, “Katakan, siapa yang menyuruhmu mengakui tuduhan pembunuhan terhadap Semias?”“Begitu pentingkah nama itu bagimu? Kau tahu kalau kejadian itu sudah belasan tahun berlalu. Kenapa masih harus diungkit lagi?”“Karena kau menyamarkan pembunuh yang sebenarnya. Sekarang, jawab pertanyaanku, siapa yang memerintahmu membuat pengakuan itu?”“Kau sendiri sudah tahu pembunuhnya.”“Yang menyuruhmu mengaku dan pembunuhnya adalah dua orang yang berbeda.”Wanita tadi meraih cangkir yang ada di meja kecil samping ranjang. Ketika hendak meneguknya, Adhira langsung menaha
Baca selengkapnya
Dia menyukaimu
Nila tertegun akan tebakan Adhira. Tidak ada orang lain yang bisa dipikirkan Adhira selain gadis yang telah dikenalnya dulu saat di perempatan jalan. Ibu muda yang memukuli anak berusia tiga tahun itu sekarang sudah meninggal dilalap api.Saat itu Nila sempat mengunjungi putrinya. Jadi dia meminta Salimah, yang merupakan komplotan pengemis jalanan, untuk menjemputnya dari panti asuhan.Ternyata saat Nila melihat bayi itu, kengerian makin menghantuinya. Wajah bayi itu mengingatkannya pada pria bejat yang pernah menghamilinya. Dia pun meminta Salimah untuk membawanya kembali ke panti.Namun kesempatan itu justru dipakai Salimah untuk mencari keuntungan. Dia menggunakan bayi malang tadi untuk menarik simpati para pengguna jalan.Mudah bagi Adhira untuk merasa kasihan dengan bayi itu dan menjadikan dia serta sahabatnya orang tua asuh yang baru. Suatu pertemuan menjadi takdir yang terjalin sampai akhir hayat.“Aku ingin membunuh diriku sendiri, ta
Baca selengkapnya
Soal Matematika di Buku Biologi
“Dia menyukaimu.”Jika ruangan ini tidak redup maka bisa dilihat Adhira hanya tersenyum kecut. Jadi itulah sebabnya Lodra terlihat sangat tulus meminta maaf padanya waktu berada di Pemakaman Nirwana Biru dulu. Adhira mengira keputusan untuk memercayai Lodra sekali lagi adalah keputusan tepat, tapi nyatanya Lodra hanya memperlakukannya seperti sampah.“Menyukaiku?”Nila mengangguk.Adhira langsung mencibir, “Dia mengirimku ke neraka dua kali. Bagaimana itu bisa dikatakan suka?”“Itu karena dia tahu kau menyukai Ervan.”Pernyataan ini seperti awan panas yang mengisi serambi jantungnya. Bagaimana mungkin ada orang yang tahu kalau Adhira menyukai Ervan? Dia tak pernah menunjukkannya pada siapa pun. Setidaknya tidak ada yang tahu dia dan Ervan adalah musuh bebuyutan yang berhasil menjadi teman karib.“Aku melihatnya melamun begitu lama di depan sebuah buku biologi. Aku tidak tahu kekuat
Baca selengkapnya
Melompat Bersama
“Jika aku memberitahumu keberadaannya, maukah kau membantuku membuat kesaksian?”Secara samar Adhira yakin sebenci-bencinya dia dengan anak itu, darah yang mengalir tetaplah miliknya. Jiwa yang dia berikan tetap merupakan karunia baru baginya.Nila menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa. Aku sudah berjanji.”Adhira tahu membujuk keledai untuk bernyanyi adalah sesuatu yang mustahil. Tapi dia tahu hasrat terpencil yang ditanam Nila itu. Jadi dia menggunakan sedikit pancingan untuk menjerat keledai ungu ini.“Kau tahu sebenarnya kau adalah korban dari kasus ini. Semua terjadi karena kau tunduk pada Lodra. Saat kau melawan, Lodra tak memiliki apa pun untuk menekanmu.”Sembirat kemerahan lagi-lagi terlukis dari bola matanya. Garis kehitaman masih melingkari mata berkelopak ganda itu.Adhira melihat Nila sekarang sudah menitikkan air mata. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi putri yang selalu dirundung
Baca selengkapnya
Berapa kali dia menciummu?
Adhira melirik ke sekujur tubuh Ervan. Dia baru sadar ada memar kecil di belakang kepalanya. Dia tak tahu apakah ini memar yang diakibatkan benturan yang dulu atau yang baru-baru ini. Ervan tak akan mengizinkannya memeriksa lebih jauh.Ervan meraih kedua tangan Adhira dan berkata dengan serius, “Hira, aku tidak mau kamu berbuat nekad seperti ini lagi.”Adhira selalu mendapati ucapan Ervan dengan serius, tapi dia tahu kali ini Ervan lebih serius dari serius. Dia marah.“Kamu tidak mau aku mendekati wanita itu atau kamu tidak mau aku menyelidiki kasus ini?”Ervan memelotot sebal. Ini membuat Adhira makin gemar mengoloknya.“Wanita itu berusia tak begitu jauh dari kita. Saat melahirkan Laila, usianya masih 16 tahun. Dia saudara sepupu Lodra. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Dia juga dijadikan pelayan di kediaman Refendra.”Ervan tampak tak peduli dengan cerita Adhira, dia hanya bertanya, “Apakah dia
Baca selengkapnya
Apakah kamu membenciku?
Sambil mengamati gugusan bintang di berkelap-kelip di kejauhan, Adhira menekuri rentetan saksi yang sudah berhasil mereka kumpulkan. Tanpa pengakuan dari para saksi, kasus ini akan sangat sulit dibuka. Adhira sendiri tidak tahu apakah dia akan bisa menjamin Mivar untuk mau maju ke meja persidangan. Atau Nila yang sudah dijadikan alat oleh Lodra untuk membuat kesaksian.“Mereka sedang memeriksa keadaan di bawah.”“Tampaknya kita memang selalu sial kalau bersama-sama seperti ini,” keluh Adhira.“Kamu merasa sial?” tanya Ervan.“Memangnya bukan?” Adhira balik bertanya.Namun kemudian, dia menarik kata-katanya. “Sebetulnya tidak benar-benar sial sih. Kita berada di puncak teratas dari bianglala. Artinya kita memiliki kesempatan menikmati pemandangan paling lama di sini.”Ervan tersenyum kecil. Lesung pipi yang sudah lama hilang itu kembali terbentuk di wajahnya. Tatapan panjang Adhira d
Baca selengkapnya
Bianglala
“Apakah kamu membenciku?”Ervan tak langsung menjawab. Dia tak pernah ingin mendengar nama Limawan saat ibunya menceritakan tragedi kematian ayahnya. Sulit untuk tidak membenci anak yang terus mengganggu semasa di SMA dulu.Namun Ervan ternyata gagal mengubah dendamnya menjadi kebencian. Terlebih saat dia tahu bahwa orang di depannya ini hanya korban dari kebengisan para anggota aliansi itu.Ervan menjawab pelan, “Aku tidak bisa membencimu… Hira.”Telinga Adhira memerah.“Hanya kamu yang memanggilku dengan nama itu.”“Saat aku masih kecil, aku ingat ada seorang teman yang pernah menyelamatkanku dari gigitan anjing.”Pikirannya terbang ke masa-masa lampau, saat untuk pertama kalinya dia dibawa oleh Haris ke kediaman Limawan. Mereka masih berusia lima atau enam tahun.Ervan memiliki bayangan samar saat anjing putih berpenampakan seperti serigala itu mengeram ganas ke arahnya.
Baca selengkapnya
Kau bukan kakakku
Bagi pengusaha besar seperti Lodra Refendra, mengadakan pesta pernikahan di pulau pribadi yang eksotis ini bukanlah permasalahan yang sulit. Letaknya sekitar delapan puluh kilometer ke arah utara dari pesisir.Burung camar, pasir putih, laut biru, batu dan karang semua bersatu padu membentuk keindahan tanpa cela. Tempat itu adalah elemen mimpi dari setiap pasangan yang tengah memadu cinta.Gedung kaca di tengah-tengah halaman berumput itu menjulang apik, mengundang mata setiap pengunjung agar segera menapakkan kakinya di sana. Ada pondok-pondok penginapan di sepanjang pantai. Semua sudah disewa oleh Lodra untuk hari istimewanya ini.Siang itu masih terlalu awal. Belum ada pengunjung yang datang ke sana.Lodra duduk tenang di atas bangku rias menunggui waktu yang tepat untuk berbincang dengan Kiara. Setelah menunggu cukup lama, dia pun beranjak menuju ruang yang berada di bagian belakang aula resepsi.“Lodra?”Kiara sudah memakai
Baca selengkapnya
Penyuguhan Teh
Adhira menoleh. Bibirnya bergetar. Dia memicing tajam meredam kengerian. Wajah Lodra menyeret fragmen masa lalu ke ingatannya. Saat Adhira memalingkan wajahnya ke arah laut, Lodra langsung mencengkeram dagunya dengan erat. “Lepaskan dia!” “Kamu ada di bawah kuasaku, Adhira. Pantaskah memerintahku seperti ini?” Adhira menyergah tangan Lodra dan mundur ke penyangga teras. Dia melirik ke jurang yang berupa batu karang itu. “Lepaskan adikku!” “Aku dan Kiara akan menikah. Kenapa kau yang marah?” “Aku tidak akan membiarkannya menikahi bajingan sepertimu.” “Kami sama-sama setuju dengan pernikahan ini. Tidak ada pemaksaan. Kudengar dia juga sudah tidak mengakuimu sebagai kakaknya.” “Dia tidak mencintaimu.” “Dan menurutmu kau mencintaiku?” “Kau tidak pantas dicintai.” Api amarah membara di balik bola mata Lodra. Dia mencengkeram kedua tangan Adhira dengan erat dan mendorongnya hingga ke dinding penyangga. Di saat yang bersamaan, Adhira merasa dirinya pusing dan lemah. Ketakutan men
Baca selengkapnya
Antar aku kembali
 Lodra menuang teko yang berisi teh yang sama seperti yang sudah diminum yang lain ke dua cangkir yang baru. Dia memberikan satu pada Kiara.“Mari kita saling bersulang, Sayang,” ucap Lodra.Walau Kiara mengikuti arahan Lodra, kedua matanya tak berhenti menatap Adhira. Lodra menyilangkan lengannya ke lengan Kiara dan isi cangkir pun mengalir ke mulutnya. Tindakan mereka segera mendapat tepukan meriah dari para tamu.Mereka menunggu beberapa waktu sebelum Lodra menuang kembali cangkirnya dengan teh tadi.Haris bangkit dari kursinya dan memberi aba-aba pada anggota aliansi yang hadir, “Untuk pernikahan yang abadi. Mari kita bersulang untuk pasangan pengantin hari ini!”Anggota aliansi yang mendapat kehormatan untuk minum itu pun meneguk isi cangkir mereka masing-masing, diikuti Adhira yang sempat mendapat lirikan pasrah dari Ervan.Kiara berdiri dengan kepala tetap merunduk. Meski wajahnya sudah dipoles sed
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
161718192021
DMCA.com Protection Status