All Chapters of KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU: Chapter 91 - Chapter 100
129 Chapters
Part 91–Kontraksi
Maaf atas keputusan sepihak ini Mas. Tapi aku sungguh tidak sanggup jika keputusanmu itu ternyata memilih menduakanku dengan Indira. Sebelum itu terjadi, lebih baik aku yang mundur dan pergi dari kehidupan kalian. Izinkan aku menenangkan diri untuk sementara waktu. Batin dan fisik ini sudah terlalu lelah. Aku janji akan kembali dan segera menyelesaikan perceraian kita setelah hati dan mentalku siap menerima kenyataan. "Jalan, Pak!" titahku setelah naik ke mobil. "Mau diantar ke alamat mana Bu?" "Stasiun, Pak." Sejauh a
Read more
Part 92–Tak lagi Sendirian
Setelah menempuh waktu hampir dua belas jam, akhirnya kereta pun berhenti di stasiun tujuan akhir. Aku sudah tak tahan lagi menahan sakitnya kontraksi ini hingga rasanya tak kuat untuk berjalan. Dengan kepanikannya, Alia berteriak-teriak meminta pertolongan.Suasana di stasiun menjadi cukup heboh dan riuh setelah mengatahui ada wanita yang mau melahirkan. Alia bahkan semakin panik dan terus meracau ketika melihat air ketuban mulai merembes keluar. Untung saja, dengan sigap petugas-petugas di stasiun ini menolong dan segera membawaku ke rumah sakit terdekat.Tak bisa kugambarkan bagaimana rasanya melahirkan di tempat asing tanpa ada satu pun orang yang kita kenal. Namun, aku harus tetap berjuang dan semangat demi lahirnya buah cintaku dengan Mas William.Setelah perjuangan yang melelahkan dan menegangkan, air mataku tak lagi terbendung ketika mendengar tangisan bayi memenuhi ruangan VK ini. Tangis bahagia ber
Read more
Part 93–Gelisah
~POV William~🌺🌺🌺Percakapan dengan Indira, Mama dan Papa cukup memancing emosi. Sudah kutegaskan kalau hal itu tidak bisa dilakukan, tapi mereka tetap saja bersikeras agar aku rujuk dengan Indira dan menjadikannya istri kedua.Konyol, bukan?Memang poligami tidak dilarang, tapi bukan berarti semua laki-laki memiliki pikiran ke arah sana dan sanggup menjalaninya. Terdengar mudah dan sepele, tapi sesungguhnya itu hal yang sangat sulit. Lusi pernah mengalami kegagalan rumah tangga karena Leon menduakannya.Bagaimana mungkin aku bisa mengulang kejadian pahit yang akan sangat menyakitinya? Setega itukah? Jelas tidak. Aku takut jika memiliki anak perempuan nanti, dia akan mengalami hal yang sama seperti mamanya. Aku tidak rela.Untung saja Lusi tidak pergi bersamaku ke ruang perawatan Alex. Dengan dia pergi ke toilet dulu tadi sudah berhasil menyelamatkan kami dari kesalahpahaman. Dia tak perlu mendengarkan percakapan tak penting yang hanya akan membuat hatinya terluka.Sudah cukup bany
Read more
Part 94–Panik
Kutepikan mobil di depan kedai bakso favorit Lusi dan memesan dua bungkus. "Dia pasti senang sekali aku bawakan bakso ini." Aku tersenyum puas, lalu naik ke mobil lagi dan melanjutkan perjalanan. Setelah mobil terparkir sempurna di halaman, bergegas aku turun dan melangkah lebar ke dalam rumah. Tak sabar ingin melihat ekspresi Lusi ketika melihatku datang dengan membawa makanan kesukaannya. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Dengan tergopoh-gopoh Bi surti menghampiriku dari arah dapur. "Lusinya mana, Bi? Lagi tidur, ya?" tanyaku seraya berjalan menuju ruang keluarga. "Lho, maksud Bapak bagaimana?" Bi Surti yang kini berjalan di belakangku malah bertanya balik. "Bagaimana apanya, Bi?"&nb
Read more
Part 95–Nihil
"Assalamu'alaikum!" seruku dari luar gerbang.Ridho muncul dari dalam rumah. Dia berjalan mendekat sembari melempar senyum ramahnya."William. Baru rencananya siang ini kami mau jenguk Alex ke rumah sakit. Apa kabar?" tanyanya seraya membukakan gerbang."Alhamdulillah aku baik. Gimana kabarmu, anak dan istri?""Alhamdulillah, kami baik juga. Ayo masuk!""Enggak, Do. Enggak usah. Aku ke sini hanya mau cari Lusi saja, kok. Dia di sini, kan?""Lusi?" Ridho malah tampak bingung mendengar pertanyaan dariku ini. "Enggak ada Lusi di sini, Wil.""Ah, yang benar, Do," kataku tak percaya."Serius. Lusi terakhir ke sini itu seminggu yang lalu.""Boleh bertemu istrimu sebentar enggak? Tolong panggilkan," pintaku dengan perasaan khawatir dan takut yang mulai kembali hadir menyelimuti.Ridho mengangguk, lalu pergi dan kembali ke sini bersama Nanny yang menggendong bayinya."Ada apa, ya, Mas?""Lusi beneran enggak ada ke sini, ya?"Nanny menggeleng. "Kenapa memangnya Lusi, Mas?""Dia enggak ada kaba
Read more
Part 96–Surat Perpisahan
Aku diam dengan mata yang mulai terasa menghangat. Memikirkan Lusi yang entah ada di mana dalam keadaan hamil besar begitu, membuat diri ini tak mampu lagi menahan air mata.Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya dan calon anak kami?Ya Allah ...."William?""Alex baik-baik saja, Pah," jawabku dengan suara lirih."Terus, kenapa kamu? Lemas begitu jawabnya."Air mata kembali menetes dalam diam hingga membuat Papa lagi-lagi memanggil dengan sedikit keras.'Ada masalah? Cepat cerita," desaknya."Lusi, Pah.""Kenapa dengan Lusi? Sakit?"Aku refleks menggeleng walau Papa tidak mungkin melihatnya. "Lusi pergi, Pah. Lusi enggak ada di rumah.""Pergi? Pergi bagaimana maksudmu?""Tahu-tahu waktu aku pulang dari
Read more
Part 97–Gosip
"Mbak Lusi. Mau belanja, ya?" tanya Bu Wati—Bu RT di kampung ini yang kebetulan bertemu di gang rumah dekat kontrakanku."Iya, Bu. Kebetulan sayur dan cabai rawit di rumah sudah pada habis," jawabku dengan senyuman ramah."Sama. Saya juga sudah pada habis. Bareng saja, yuk!""Iya." Aku mengangguk setuju.Kami berjalan bersama menuju warung sayur Bu Jasmo yang letaknya tidak terlalu jauh."Lucu banget, sih, bayinya. Jadi gemas. Namanya siapa, Mbak? Saya lupa.""Hafsha Kalimatunnisa.""Cantik sekali namanya. Dipanggilnya apa?""Hafsha atau Nisa, Bu.""Halo, Hafsha! Jadi anak solehah, ya, Cantik," ucap Bu Wati seraya mengusap kepala bayi berusia tiga bulan yang dibalut hijab mini ini."Aamiin.""Ini enggak apa-apa masih kecil sudah dikerudungin dan baju panjang begini, Mbak? Kasihan kalau gerah.""Enggak, sih, Bu. Alhamdulillah Hafsha anteng-anteng aja. Kalau dia enggak suka atau nggak nyaman 'kan pasti sudah rewel dan nangis. Nanti kalau sudah belajar merangkak, tinggal diganti pakai ce
Read more
Part 98–Rindu yang Terpendam
Aku menggeram kesal dalam hati, tapi tetap berusaha mengontrol emosi agar tidak terpancing dan membuat keributan di sini."Berapa semuanya, Bu?" tanyaku seraya mengeluarkan dompet dari saku gamis."Seratus empat puluh lima ribu," jawab Bu Jasmo seraya menyerahkan kantong kresek belanjaanku."Ambil saja kembaliannya." Kusodorkan dua lembar uang seratus ribu."Waduh, yang benar, Mbak? Ini kebanyakan kembaliannya." Bu Jasmo terlihat tak enak sekaligus kaget."Enggak apa-apa. Itu rezeki untuk Ibu." Aku tersenyum, lalu beralih menatap ketiga ibu-ibu tadi yang masih menatapku dengan sinis."Soal berita babi ngepet di TV itu, ibu-ibu sudah tahu kelanjutan beritanya belum?"Mereka semua diam."Ternyata, gosip tentang babi ngepet itu hanya akal-akalan salah satu warga dan suaminya yang iri pada tetangga. Tahu engg
Read more
Part 99–Nasihat Alia
"Mbak enggak usah bohong padaku. Mbak rindu, kan? Enggak ada salahnya coba temui dia, Mbak. Siapa tahu ternyata memang hanya terjadi kesalahpahaman di antara kalian.""Enggak mungkin, Al. Aku tahu jelas Mas William itu seperti apa. Dia akan melakukan apa pun untuk Alex. Sudah pasti pada akhirnya Mas William akan setuju untuk rujuk dengan mantan istrinya itu." Aku menengadahkan wajah. Mengerjap-ngerjapkan mata cepat agar air mata ini tak kembali luruh membasahi pipi."Semua masih fifty-fifty 'kan, Mbak? Bisa jadi itu hanya kesimpulan Mbak sendiri. Mungkin saja suami Mbak selama tiga bulan ini sedih dan kelimpungan mencari Mbak Lusi.""Enggak tahu, Al. Tapi sepertinya enggak," jawabku pelan seraya memainkan jemari Hafsha hingga dia tersenyum lucu."Coba saja temui dulu. Enggak ada yang enggak mungkin 'kan selama Allah berkehendak? Apa enggak akan menyesal atau sedih kalau ternyata terjadi
Read more
Part 100–Pulang
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Masuk, Al, Bu, Pak," jawabku ketika melihat ketiganya berdiri di ambang pintu. "Baru mbak rencana mau ke rumah kamu sekalian pamit pada Ibu dan Bapak.""Iya, Mbak. Habisnya Ibu ini enggak sabaran sekali mau bertemu Hafsha. Katanya takut nanti enggak bisa lihat lagi.""Boleh ibu gendong dulu Hafsha sebentar, Nak?"Aku tersenyum dan mengangguk.Ibunya Alia bergegas mendekati Hafsha yang sudah rapi, lalu menggendong sambil mengusap-usap kepalanya."Nenek akan rindu berat, nih, ditinggal kamu," ucap ibunya Alia, lalu mencium pucuk kepala Hafsha."Iya, Bu. Bapak juga pasti rindu sekali nanti." Ayahnya Alia ikut mendekat dan ikut mencium pucuk kepalanya."Kalau kalian sudah sampai, jangan lupa langsung kabari, ya. Jangan buat kami khawatir!""Insyaallah." Aku mengangguk."Tenang, Bu. Kan, ada aku. Nanti pasti kukabari terus. Jangan khawatir," timpal Alia."Iya. Kamu harus gantian gendong Hafsha kalau Nak Lusi capek.""Beres, Bu. Enggak dikasih tahu juga
Read more
PREV
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status