All Chapters of Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku: Chapter 71 - Chapter 80
170 Chapters
Bab 71
."Bagus kamu kuliah aja, Husna. Bisa malu Mama, punya menantu cuma lulusan SMA. Ya? Kamu cari kampus yang kamu suka, jurusan apa, lalu kuliah, deh. Oke?""I-iya, Ma," jawabku takut-takut..Seperti yang direncanakan sebelumnya, siang ini, kami berlima meninggalkan rumah, untuk menuju rumah orang tua Pak Hanan, suamiku.Menempuh perjalanan hampir tiga jam, sampailah kami di kediaman Mama. Sebuah rumah mewah, yang berada di tengah komplek perumahan elit.Mama menyambut kami dengan senyum ramahnya. Sementara, Ayah mertua tak ada di rumah, sebab masih ada urusan dengan pekerjaan.Berbincang dan bercengkrama beberapa lama, Ibu, Ayah, serta Mas Dika, pamit untuk pulang. Tentu setelah menikmati jamuan makan yang sudah disiapkan oleh asisten Mama."Nak Hanan," panggil Ayah, sebelum meninggalkan rumah ini."Ya, Yah.""Ayah titip Husna, ya?""Insya Allah, siap, Ayah."Ini kali kedua Ayah menitip
Read more
Bab 72
Ada benarnya juga, sih, memang. Aku pikir ini tak akan jadi masalah, tapi ternyata buat Mama ini penting. Baiklah, mungkin ini cara yang dipilih olehNya, untuk aku bisa menikmati rasanya kuliah. Alhamdulillah 'ala kulli haal … ."Mama yakin, dalam hati kamu juga ingin menikmati bangku kuliah, tapi kondisi kamu yang mengharuskan kamu kerja. Tapi bagus, kamu udah tau dunia kerja, jadi ambil jurusan bisa disesuaikan sama dunia kerja kamu.Oke, sudah cukup, ya, silakan istirahat. Tadi, kamarnya udah diberesin, kok, tinggal pakai. Soal kampus, nanti kamu bicarakan sama suami kamu, yang suka iseng ini. Tapi baik kok dia, suka bantu Mama kalau pas dia di rumah. Kalau Mama boleh usul, nih, ambil aja Sastra Inggris, itu nanti bisa kamu gunakan buat buka wawasan tentang dunia. Kalau desain kan, udah bisa, ya, kan?"Ha? Sastra Inggris? Aduh, Ma, aku lihat tulisan sama cara baca yang nggak sama aja, bisa sakit kepala, ini gimana ceritanya malah disarankan am
Read more
Bab 73
"Lihat di sana, dia jauh lebih sepadan dengan keponakanku dibandingkan kamu," ujar Tante Wanda, sambil tersenyum miring ke arahku. Entah bagaimana, ia sudah menyambut kedatanganku di ujung tangga saat aku hendak turun. Apa ia sengaja menungguku di sini, untuk menunjukkan keakraban suamiku bersama perempuan yang lain? Siapa dia?Aku yang baru saja menyusul suamiku ke bawah, tak dapat menyembunyikan rasa tak suka. Tapi kututupi dengan tetap tersenyum di depan Tante yang rese."Nikmati saja waktumu jadi anggota keluarga ini, yang tak akan lama lagi," ujarnya lagi, memperingatkan aku saat ia berjalan sejajar denganku. Aku tak mendengarkan lagi, kulangkahkan kaki, lantas bergabung dengan mereka berdua. Dia suamiku, enak saja dekat-dekat sama perempuan lain."Hai, Sayang, ini Yasmin, sepupu Tante Wanda, teman kuliah Mas juga. Sekarang, dia megang beberapa retail minimarket. Keren ya, dia," ujarnya, memperkenalkan tamunya. "Yasmin, ini Husna,
Read more
Bab 74
"Udah boleh sholat, ya?" tanyanya, dengan mata berbinar-binar. Perubahan yang drastis ini, mau tak mau, membuat aku mengernyitkan dahi."Sudah, Mas. Kenapa?" tanyaku tak mengerti."Nggak apa-apa. Nanti sore, kita balik ya?" ajaknya, terlihat semangat sekali. Kucari kebenaran dari raut wajahnya. Baru tadi pagi ia berkata akan menginap semalam lagi di sini, sedangkan barusan malah berubah pikiran. Ia menganggukkan kepala seakan mengerti kalau aku bertanya melalui ekspresi wajah."Iya. Nggak jadi nginep lagi? Katanya mau balik besok?" tanyaku memastikan."Enggak lah. Nggak usah lama-lama di sini. Ya udah, kita sholat bareng, ya?" ajaknya, lantas berdiri dan mengajakku serta.Ia menghentikan langkahku, tepat saat kaki ini baru melewati bibir pintu, dengan menarik tanganku."Kenapa, Mas?" tanyaku, tak mengerti kenapa tiba-tiba berhenti. Kubalikkan badan, hingga kami berhadapan. Bukannya mau ambil wudhu di kamar mandi ya, tad
Read more
Bab 75
"Kita tinggal di sini, ya, Sayang. Rumah ini, Mas hadiahkan buat kamu. Sore tadi sudah dibersihkan sama orang yang Mas suruh. Maaf ya, rumahnya belum ada isinya. Tapi, kalau untuk tidur, sudah ada kasurnya, kok. Besok kita belanja, buat ngisi rumah ini. Sekarang kita istirahat, ya," ujarnya panjang pendek. "Iya, Mas. Terima kasih, ya," jawabku kemudian. Pandanganku sudah terhalang oleh kaca-kaca begitu mendengar penjelasannya.Sebenarnya rumah ini tak benar-benar kosong. Aku menemukan dua buah ember di ruang mencuci yang sangat nyaman. Ada juga beberapa perabotan di dapur. Baiklah, bismillah, belajar jadi istri, dimulai dengan menata rumah ini esok hari..Hari pertama menjadi suami istri di rumah ini, aku bangun lebih pagi. Kubersihkan pakaian kotor yang kemarin kami bawa dari rumah Mama di ruang cuci. Sebuah ruang yang sangat nyaman, bisa digunakan leluasa untuk menjemur pakaian. Atapnya dari asbes kaca, menutup seluruh ruang ini, jadi aku tak perlu kuatir jika hujan turun. Jika c
Read more
Bab 76
Rasa canggung dan kaku terasa sekali pagi ini. Untuk pertama kalinya, setelah menikah, kami terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing dalam waktu yang terhitung lama."Mas, kita perlu beli alat pel, sama kebutuhan dapur, ya?" ujarku, memecah kesunyian yang ada."Iya. Mau berangkat sekarang?" tanyanya, dengan memintaku duduk di sampingnya."Boleh. Tapi, sebenarnya … ," aku ragu hendak mengatakan bahwa aku nggak bisa masak. Tapi ingin juga menyajikan sesuatu untuk suamiku."Sebenarnya kenapa? Kok, nggak diteruskan?""Itu, aku … nggak suka masak, Mas," kutundukkan kepalaku. Bagaimana ini, sudah jadi istri dan belum pernah memasak untuk suami."Terus kenapa kalau nggak suka masak? Kamu kan, istri Mas, bukan tukang masak. Gini deh, Mas aja yang masak, kalau kamu nggak suka. Itu kan juga tugas Mas, memberi nafkah lahir, berupa menyediakan makanan yang siap disantap untuk istrinya. Ada lagi?"Ha? Benarkah ini? Selama ini, yang aku tau, yang paling sibuk di dapur menyiapkan makanan itu ya,
Read more
Bab 77
"Kita beli mainan dulu, ya, Sayang," ujar Pak Hanan, begitu kami berdua telah menghabiskan makan siang.Dahiku mengernyit seketika. Untuk apa membeli mainan? Bahkan kami berdua sudah memasuki sebuah toko, di mana berjejer banyak sekali mainan anak-anak, mulai dari robot hingga boneka. Mainan lain, seperti slime dan playdough juga banyak sekali. Ia sudah melihat-lihat beberapa robot-robotan, lantas memilih satu. Satu ember kecil berisi pasir kinetik juga ia bawa ke kasir."Mas, beli mainan buat siapa?" tanyaku dengan berbisik, saat kami baru saja ke luar dari toko."Oh, buat anak-anak yang manis, anak pemilik catering. Nanti ikut Mas, ya, ambil pesanan nasi kotak, nanti kita bagikan. Anggap saja ini syukuran kita sebagai pengantin baru, juga syukuran rumah baru kita. Oke?" ujarnya.Di sebuah toko yang menjual makanan kecil, ia berhenti, lantas membeli beberapa jajanan untuk anak-anak. Aku semakin ingin tau, untuk siapa belanjaan ini? Ia l
Read more
Bab 78
"Mas, kita lupa memberikan mainan yang tadi Mas beli, biar aku yang kasihkan, ya?" pintaku, sambil mengambil kantong tersebut."Ya udah, Mas tunggu, ya? Mereka lagi istirahat kayaknya, biasanya rame lari-lari kalau Mas ke sini."Aku mengernyitkan kening saat ia berkata. Tapi tetap berusaha berbaik sangka, bahwa hubungan mereka hanya antara pemesan dan penyedia jasa. Bu Lisa tampak keheranan melihat aku kembali ke tokonya. Ia belum beranjak dari tempatnya saat aku kembali."Maaf, Bu Lisa, ini ada sedikit untuk anak Bu Lisa, tolong diterima, ya" ujarku, dengan menyerahkan kantong tersebut."Alhamdulillah, terima kasih banyak, Mbak Husna, semoga makin lancar rejekinya, makin rukun sama suami dan keluarga," jawabnya, sambil menerima pemberianku. Pemberian suamiku tepatnya."Aamiin ... . Do'a yang sama untuk Bu Lisa. Saya pamit, ya, Bu," ujarku lagi, dengan mengulas senyum."Iya, Mbak, hati-hati, ya," jawabnya yang kusambut dengan ang
Read more
Bab 79
Sampai di rumah, aku kembali dibuat terbengong dengan apa yang kemudian terjadi.Belum ada sepuluh menit sejak kami memasuki rumah, seseorang telah mengetuk pintu, lantas mengantarkan satu tampah penuh berisi nasi dan ayam utuh beserta teman-temannya. Di belakangnya, beriringan dua orang membawa tumpukan nasi kotak."Nah, sudah lengkap. Ayah yang pimpin do'a, ya," pinta Pak Hanan, yang segera ditunaikan oleh Ayah.Kami berlima, beserta lima orang tetangga depan rumah dan samping kiri kanan saja yang hadir. Kami membagi semua yang ada di hadapan, lantas bergotong royong membagikan ke semua tetangga satu gang.Hampir jam sembilan saat semua selesai. Ibu malah pamit pulang. Awalnya aku berharap mereka mau menginap, ternyata kekeh mau pulang. Ya sudahlah, aku tak bisa berbuat banyak."Terima kasih, ya, Nak Hanan, sudah menyediakan tempat tinggal yang nyaman untuk anak Ibu. Ibu do'akan, semoga kalian berdua rukun dan bahagia selalu. Dan, semog
Read more
Bab 80
Ditanya begini, malah semakin membuat aku tak bisa berkata apa-apa. Justru isakanku semakin terdengar. Ia tak bertanya lagi, berganti mendekapku erat, membiarkan aku puas menuntaskan tangisan."Apa Mas menyakiti kamu?"Aku kembali menggelengkan kepala."Aku cuma, merasa beruntung memiliki suami sebaik kamu, Mas," jawabku terbata.Kudengar ia menghembuskan napas panjang, hingga angin kecil itu menyapa keningku."Mas yang beruntung memiliki kamu. Maaf kalau Mas masih terbata dalam memahami kamu. Maaf ya, Sayang," ujarnya, lantas terdengar ia terisak..Terbangun jam tiga pagi, aku tak menemukan suamiku di sampingku. Lantas terdengar guyuran air dari kamar mandi di kamar ini. Tak lama kemudian, ia telah keluar dengan bertelanjang dada. Bagian bawah tubuhnya terlilit oleh handuk kecil.Lantas selarik senyum menyambutku, begitu ia menyadari aku telah terbangun. Ia malah bergerak memangkas jarak. "Gante
Read more
PREV
1
...
678910
...
17
DMCA.com Protection Status