Semua Bab Aster [Indonesia Ver.]: Bab 81 - Bab 90
103 Bab
Take Your Time
“Aw! Lo kalau jalan bisa pake mata gak, sih?!” bentak seorang wanita yang tampak buru-buru, ia kesal pada sosok menjulang tinggi yang seperti sengaja menabrak dirinya.“Sori.”“Sori-sori, mata lo udah gak fungsi ha?” hardiknya sembari membereskan tumpukan kertas yang berceceran.“Jangan marah-marah, nanti cepet tua.”Suara itu, suara yang amat Sindi kenal. Ia mendongak, menatap siapa sosok yang telah menabraknya barusan. Tepat saat netra mereka bertemu, detik itulah matanya terbuka sempurna.“Altair! Ini beneran lo?” tanya Sindi dengan raut terkejut.“Yaiya lah, lo pikir?!” jawab Alta sembari membantu Sindi membereskan tumpukan kertas tersebut.“Ngapain lo di sini?” Sindi heran, mengapa tiba-tiba Alta berada di Bandung, terakhir bertemu lelaki itu masih di Jogja.“Jalan-jalan aja,” bohong Alta.Keduanya telah selesai memberesk
Baca selengkapnya
Gesekan
Green sudah siap untuk berangkat mengajar. Setelah melewati masa libur dua hari, kini semangatnya sudah kembali. Begitupun dengan Langit, lelaki itu juga sudah siap dengan pakaian kerjanya. Tak lupa, Green menyiapkan bekal untuk sang suami mengingat Langit akan mengajar sampai sore hari ini.“Kak, ini makan siangnya jangan lupa dibawa ya,” teriak Green dari dapur. Ia sudah harus berangkat mengingat aturan sekolah yang mewajibkan semua guru mengikuti upacara di hari Senin.“Iya, Dek,” jawab Langit kalem. Lelaki itu tengah menyiapkan buku dan beberapa perlengkapan mengajarnya.“Saya berangkat, Kak,” pamit Green. Wanita itu menemui Langit di ruang kerja kemudian mencium punggung tangan lelaki tersebut.“Bareng saya aja.”“Kita gak searah. Bukannya Kakak juga buru-buru? Kan ada kelas pagi.” Green mengingatkan sembari merapikan baju Langit yang tidak berantakan.Langit menimbang-nimbang,
Baca selengkapnya
Petuah
Wanita berambut sebahu tengah duduk di pojok sebuah kafe, ditemani secangkir coklat panas dan earphone terpasang di telinga. Selepas kelas memasak, wanita yang tak lain adalah Reina menyambangi tempat tersebut untuk bersantai sejenak. Kepalanya reflek bergoyang ke kanan dan kiri mengikuti alunan musik. Kafe yang terbilang tidak terlalu ramai membuatnya semakin merasa rileks.Hidup Reina sekarang sudah jauh lebih baik. Setelah memilih menyibukkan diri dengan melakukan apa yang disuka, ia merasa tak perlu khawatir soal apapun lagi. Bisa dibilang, saat ini Reina hanya fokus pada dirinya, tidak memikirkan hal lain apalagi masa lalu.“Rei, lo di mana?” Pesan dari Regita masuk ke ponselnya, Reina segera membalas pesan tersebut.“Kafe Marina.”Tak sampai satu detik, ponselnya kembali bergetar. “Gue ke sana.”“Ngapain?”“GBT!”“Yaudah, hati-hati.”“
Baca selengkapnya
(Belum) Terungkap
“Ra, aku pulang malem ya. Ada meeting sama klien yang gak bisa ditunda. Gak apa-apa, kan?”Aira membaca pesan singkat yang dikirimkan Rian seraya mencebikkan bibirnya. Ia kesal karena akhir-akhir ini Rian selalu izin pulang terlambat. Padahal, bukan hanya kantor yang membutuhkan kehadirannya, melainkan Aira juga. Ia sedang hamil dan butuh Rian ada di sampingnya.“Yahhh, harus banget? Kan kamu tahu, aku tuh gak bisa tidur kalau gak ada kamu. Aku tungguin deh ya, kamu pulang jam berapa?”“Iya sayang, aku tahu. Tapi, ini penting banget buat keberlangsungan perusahaan kita. Kamu tidur duluan aja ya, aku gak bisa pastiin bakal pulang jam berapa.”“Yaudah deh, hati-hati sayang. I love u.”“Love you more, istriku.”Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Aira sudah mencuci mukanya dan bersiap hendak menyambut Rian untuk makan malam bersama dengan perasaan riang gem
Baca selengkapnya
Prahara Rumah Tangga
Sore harinya, Green dan Langit sudah kembali dari aktivitas mereka. Green sudah mengganti pakaian gurunya dengan baju rumah, begitupun Langit. wanita itu tampak asyik dengan ponsel, ia tak peduli pada Langit yang duduk di sampingnya.“Tadi pulang sama siapa?” tanya Langit memulai pembicaraan.“Ojol,” jawab Green cuek.“Kok gak nunggu saya jemput?”“Lama.”“Sayang, kamu masih marah?” Langit memiringkan tubuhnya hingga menghadap Green.“Enggak.”Langit memegang kedua pundak Green, memutar tubuh wanita itu agar berhadapan dengannya. “Saya harus gimana biar dimaafin?”“Gak gimana-gimana, lagian saya gak marah.”“Gak marah tapi cuek gitu.”“Saya capek, Kak, mau istirahat.” Green beranjak dari sofa, dan meninggalkan Langit. Ia sedang tak ingin berbicara pada lelaki itu. Terlebih, tadi pagi kepala sekol
Baca selengkapnya
Rujak
 “Sayang..,” Aira terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba, ia sangat ingin makan rujak. Alhasil, di hari yang sudah gelap ia membangunkan Rian yang baru saja terlelap.“Hmmmm?” Rian menggeliat, matanya terbuka setengah. Ia melihat wajah imut Aira tengah menatapnya dengan raut memohon. “Kenapa sayang?”“Pengin rujak,” tutur Aira dengan perasaan tidak enak. Ia kasihan pada Rian yang baru beberapa menit lalu memejamkan mata, tapi mau bagaimana lagi, keinginan jabang bayi tak bisa diajak kompromi.“Sayang...,” Aira menggoyang-goyang tubuh Rian karena lelaki itu mengacuhkan dirinya. Cukup lama Aira menunggu, namun Rian tak kunjung merespon. Dengan perasaan sedih, Aira memunggungi Rian, matanya sudah berkaca-kaca.Sebuah tangan besar melingkari pinggang Aira. Rian berbisik di telinga Aira dengan suara serak khas bangun tidur, suar
Baca selengkapnya
Pertengkaran (1)
Langit pergi dengan motor besarnya, meninggalkan Green yang menurutnya sulit diajak kerjasama. Ditemani langit sore, ia membelah jalanan ibukota. Sebenarnya, Langit tak punya tujuan akan pergi kemana. Tapi yang jelas, ia harus menenangkan diri dan meredam emosi lebih dulu. Sebelum bertemu dan berbicara dengan Green lagi nanti.Langit sudah sangat jauh dari rumahnya. Saat tengah mengemudi, seseorang dari arah tak terduga tiba-tiba melintas begitu saja. Ban motor Langit nyaris menyentuh kaki orang tersebut, tapi untungnya semua masih bisa dikendalikan.Langit turun dari motornya dengan emosi yang meluap-luap, ini saat yang tepat untuk menumpahkan amarah yang sedari tadi ia tahan.“Anda punya mata yang masih berfungsi, kan? Mengapa tidak digunakan dengan baik?” cecar Langit.Sosok yang nyaris tertabrak oleh Langit adalah wanita. Wanita itu menutupi wajah sedihnya dengan rambut. Bukan, bukan karena cecaran Langit ia menangis. Melainkan, ada sesuat
Baca selengkapnya
Pertengkaran (2)
“Jadi, kamu difitnah sama Kakak ipar kamu?” tanya Langit saat Regita selesai bercerita. Regita mengangguk, hidungnya merah, matanya tak henti mengeluarkan cairan bening. “Rasanya sakit aja gak dipercaya sama kakak sendiri,” lirihnya. “Saya paham perasaan kamu. Tapi, kakak kamu juga ada di posisi yang sulit. Kamu pun harus pahami dia. Satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan supaya dipercaya ya cari bukti. Buktiin kalau memang apa yang kamu bilang itu gak cuma omong kosong doang. Kamu harus selamatkan kakak kamu itu,” jelas Langit. “Iya Pak, saya akan cari bukti supaya si brengsek Rian itu gak bisa ngelak lagi!” ujar Regita bersemangat. “Nah gitu dong, kamu harus bantu kakak kamu supaya keluar dari masalahnya, bukan malah mau bunuh diri.” Langit terkekeh pelan, kemudian tersenyum lembut. “Hidup terlalu berharga, jangan dibiarkan berakhir sia-sia,” sambungnya. Ucapan Langit membuat Regita semakin yakin untuk terus mendampingin Aira. Di dunia ini, hanya Aira lah yang ia punya. Regita
Baca selengkapnya
Tak Terduga
 Langit mengejar Green yang berjalan sangat cepat. Saat Green hendak memberhentikan taksi yang lewat, Langit segera menarik tangan wanita itu kemudian meminta maaf pada sopir taksi lebih dulu.“Kamu apa-apaan, sih? Mau ke mana?” tanya Langit dengan tatapan tajam.“Apasih, Kak, lepasin!” ujar Green setengah berteriak.Dari kejauhan, Mang Ujang dan Pak Ardi yang tengah berada di pos satpam mengamati Langit dan Green. Mereka saling berpandangan, kemudian memutuskan untuk kembali sibuk dengan aktivitas bermain catur.“Masuk!” titah Langit. Green menggeleng. Ia berusaha melepas tangan Langit yang mencekal pergelangan tangannya. Namun, usahanya sia-sia. Langit semakin mempererat cekalannya, membuat Green meringis kesakitan.“Awwww, sakit, Kak,” rintih Green.“Masuk saya bilang.” Langit tak peduli pada Green yang merintih kesakitan, ia hanya in
Baca selengkapnya
Pembuktian
 “Gue sayang lo.”Alta diam selama beberapa saat, mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan Sindi, orang yang selama ini hanya ia anggap sebagai teman.“Al, gue sayang lo!” ulang Sindi, kali ini nadanya lebih tegas. Seolah ingin meyakinkan pada Alta bahwa ia serius dengan ucapannya.“Sin…” lirih Alta. “Kenapa harus gue?” tanyanya bingung.Sindi menundukkan wajah, ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Sudah bisa dipastikan Alta akan menolak dirinya. “Gue gak tahu,” jawabnya dengan suara bergetar. “Gue sadar, gak seharusnya gue punya perasaan ini. Tapi, Al...” Sindi menjeda ucapannya, kemudian menatap Alta lekat. “Semua perasaan gue ke lo, datang gitu aja. Gue paham, sampai hari ini cuma nama Green yang ada di hati lo. Tapi paling enggak, sekarang gue lega. Karena seperti yang lo bilang, mendem semuanya cuma bikin dada gue makin sesak,” tutupnya seraya ter
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status