Semua Bab Menjandakan Istri Demi Selingkuhan: Bab 151 - Bab 160
183 Bab
151. Menunggu Ungkapan Yoga
Aku pun mengulum senyum. "Wah, kalau gitu, jangan sampai kamu sia-siakan Irene ya, Frans. Jangan buat hatinya sakit. Lihat, dia susah didapatkan dan penuh pertimbangan. Kalau kamu sakiti, dia bisa pergi sejauh-jauhnya. Jangan sampai kejadian. Nanti kamu bisa menyesal, Frans," ungkapku akan diri Irene.Kulihat Frans tersenyum lalu mengangguk. "Paham, Mbak. Aku bakal jaga Irene. Dia sudah memberiku kesempatan untuk membuktikan diri, Mbak. Aku jelas tidak akan menyia-nyiakannya."Aku pun memandang bergantian dua sejoli yang sedang curi-curi pandang itu. Perasaan bahagia ini. Suasana ini. Seperti membawaku kembali pada momen saat pertama aku jatuh hati dengan Jasen. Momen itu, seolah baru saja terjadi kemarin. Aku pun menatap langit-langit lalu menghela napas pelan. "Lihat yang terjadi padaku dan Jasen sekarang," gumamku dalam hati. "Ann," panggil Irene pelan. "Ya?""Soal kamu dan Jasen--"Aku tersenyum simpul sambil menggeleng. "Jangan dibahas, Ren. Itu merusak suasana."Kulihat Irene
Baca selengkapnya
152. Pesanan Dalam Partai Besar
Aku masih menatap penuh tanya pada sulungku, pria kecilku masih bungkam. Dia seakan enggan untuk memulai sebuah ungkapan yang selama ini ingin dia utarakan secara langsung. Aku menganggukkan kepala tanda sedang menunggu sebuah kata yang meluncur dari bibir mungilnya.Yoga terlihat sedang menata hati, hal itu terbukti dari cara dia mengambil napas. Aku kembali tersenyum manis agar pria kecilku merasa nyaman sehingga semua yang ada dalam benaknya bisa keluar tanpa beban."Bicaralah, Le! Bunda akan mendengarkan semua, jika memang itu suatu hal yang baik akan bunda coba jalani dengan iklas," paparku."Iya, benar apa yang Bunda kamu katakan, Yoga. Ungkapkan saja, jika memang itu terbaik untuk semua kita akan pikirkan jalan keluarnya," ucap Frans mencoba berbicara pada putraku dengan nada rendah.Yoga kembali menarik napas panjang, lalu bibirnya mulai membuka. Dengan lirih suaranya keluar satu demi satu."Jika Bunda melakukan gugatan cerai berarti kalian berdua sudah tidak bisa bersatu, bol
Baca selengkapnya
153. Lembur
Aku pun berjalan mendekat pada Bi Ijah yang sedang sibuk menyiapkan makan malam. Kuhampiri wanita tua itu untuk berpamitan. Bi Ijah menatapku seaat lalu tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Setelah melihat anggukan kepala Bi Ijah, aku berjalan menuju ruang tamu dimana para orang terkasihku ada dan berkumpul di sana."Irene, Frans dan Yoga, maaf sepertinya aku tidak bisa makan malam bersama kalian. Malam ini aku harus lembur membantu Andin yang sedang menerima job pelanggan dalam partai besar," paparku."Apakah kami boleh ikut?" tanya Irene."Lebih baik kalian istirahat saja dulu, persiapkan tenaga kalian buat perjalanan besok ke Surabaya!" titahku dengan nada rendah."Kamu harus istirahat juga, Ann!" kilah Frans.Aku tersenyum, meskipun sudah memiliki istri lelaki itu tidak pernah lupa memberiku perhatian kecil dan dia tidak peduli jika ada Irene. Sedangkan Irene begitu percaya pada Frans bahwa hatinya hanya untuk Irene."Tenang saja aku sudah biasa seperti ini." Aku pun berjalan menu
Baca selengkapnya
154. Selesai
Sungguh hari yang melelahkan bagiku dan Andin. Kami berdua mengerjakan pesanan untuk besok hingga larut. Semua karyawan yang lainnya sudah aku suruh pulang lebih dulu di jam delapan malam. Saat itu semua kue hanya tinggal menunggu proses matang. Selanjutnya hanya aku dan Andin saja yang menyelesaikan hingga proses akhir. Kulihat wajah Andin kucel dan lelah, hal itu membuatku merasa bersalah. Kedekati Andin dan mengusap punggungnya perlahan."Maafkan mbak ya, Ndin!" ucapku lirih."Tidak apa, Mbak. Semoga dengan hasil ini proses yang akan Mbak Ann jalani lancar!" doa tulus keluar dari Andin.Aku terharu sekali dengan ucapan gadis itu, dia yang dulu begitu polos kini telah tumbuh menjadi wanita yang tangguh. Kini Andin sedang mengangkat kue yang mulai matang satu per satu. Aku membantunya menaruk sebagian kue yang sudah keluar dari loyang."Sudah, Mbak. Semua matang sempurna, tinggal tunggu dingin lalu proses bungkus," papar Andin sambil meregangkan tangannya."Capek ya, Ndin. Duduklah
Baca selengkapnya
155. Perjalanan di Mulai
"Assalamualaikum!" Sayup-sayup kudengar suara perempuan mengucap salam dan mengetuk pintu utama rumahku. Aku pun bergegas berdiri dari duduk jongkokku. Amel menggeleng, gadis kecil itu seakan tidak rela jika aku yang akan menemui suara itu. Namun, aku menganggukkan kepala, meminta persetujuanku. Lama Amel menjawab isyaratku, akhirnya dia tersenyum dan berdiri. Tidak lupa meraih jemariku."Mari Bund, kita temui bersama!" ajak Amel.Aku pun mengangguk setuju dengan ajakannya itu. Tetapi baru saja aku membuka pintu kamar, Bi Ijah sudah membukakan pintu utama tersebut dan muncullah wajah Irene dengan senyumnya."Maaf aku datang di pagi buta seperti ini, Bi, Ann!" ucapnya.Aku tersenyum sambil menggeleng kepala. Ternyata kebiasaan Irene belum berubah terhadapku. Perhatiannya dan kasih sayangnya selayaknya saudara masih sama. Aku sungguh bahagia."Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Pikirku selalu tertuju padamu, Ann. Kamu pulang jam berapa semalam?" tanya Irene."Jam sepuluh malam," jaw
Baca selengkapnya
156. Boneka Dari Siapa
Aku sungguh tidak mengerti apaa yang sebenarnya si Jasen pikirkan. Sudah tiga tahun statusku dia gantung. Sekarang giliran dia menantangku untuk ajukan gugatan cerai, dengan seenaknya dia tidak datang. Ini namanya menghambat jalanku untuk hidup bebas dong. Sungguh manusia yang menyebalkan.Dengan langkah lunglai, aku oun keluar dari ruang sidang. Keputusan hakim ketua tidak bisa diganggu gugat. Dua hari lagi aku harus persiapkab mental, jika si Jasen itu datang. Itu saran pengacaraku. Bisa jadi ini langkah Jasen untuk mempersulit langkahku. Aku harus berusaha, jika diperlukan semua bukti itu akan aku keluarkan agar perceraian ini segera dikabulkan."Maaf Ibu Ann, semua tidak sesuai dengan rencana Anda!" ucap pengacaraku."Tidak apa, Pak. Mungkin harus begini jalannya sidang," balasku."Persiapkan saja mental dan tenaga Ibu, mungkin sudang ini akan lama. Bisa juga sampai pertemuan tiga kali," papar oengacara itu.Aku menyimak semua informasi yang diberikan oleh sang pengecara secara de
Baca selengkapnya
157. Jasen Bermain di Balik Hukum
Aku memandang lembut pada kedua anakku bergantian, kemudian memandang pada Irene tajam. Aku rasa sahabatku itu tahu arti dari pandanganku, kulihat senyum masam tercetak pada bibirnya. Mungkin Irene paham akan tatapan tajamku."Bisa kalian jelaskan sati per satu!" pintaku."Maafkan aku, Ann. Tadi aku sempat kirim kabar pada Cyntia tentang kedatangan Amelia ke Surabaya melalui sambungan telepon. Namun, ... ," Irene berhenti sambil menatapku penuh harap."Iya, lanjutkan saja!"Kemudian Irene melanjutkan ceritanya. Saat dia menghubungi Cyntia, gadis itu kebetulan sedang bersama Jasen di kantor lebih tepatnya diruang kerja si Jasen. Aku yang mendengar sedikit cerita Irene mulai mengerti kemana akhir dari cerita itu. Tetapi aku mencoba bersabar mendengarkan semua cerita Irene. Selama keduanya bertelepon itu lah si Jasen ikut nimbrung, akhirnya dia berkata bahwa akan berusaha menghambat jalannya sidang pertamaku. Huft, rupanya inilah alasan hakim."Jika kamu sudah mengerti, mengapa tadi bert
Baca selengkapnya
158 . Kejujuran Yoga
Lama aku menunggu Yoga berbicara jujur, dengan sabar aku menunggu dan mencoba menyakinkan apa yang seharusnya dia ungkapkan. Lambat laun bibir mungil itu mulai terbuka dan mengeluarkan suara yang lama aku nanti."Bunda, maafkan Yoga bila harus pulang ke rumah ayah mulai esok hari!" ucapnya pelan sambil menunduk.Aku menghirup napas panjang, sebuah perasan menyusup dalam relung hati. Mengapa begitu sakitnya saat putraku mengatakan dan meminta ijinku. Apakah aku tidak pantas untuk mengurusnya? Apakah hanya dia yang mampu membiayai hidup kedua anakku? Jujur aku tidak rela, tetapi kembali pada niat awalku datang ke Surabaya. Aku harus iklas dan tidak boleh egois. Kupandang wajah Yoga, kutangkupkan kedua tapak tanganku pada wajah tampannya. Manik mata yang cokelat kebiruan berkilat penuh dendam. Ada rasa yang ingin keluar dan membumbung tinggi tetapi seketika terhempas tiada berdaya. Itulah yang tersirat pada sorot mata itu. Kudekatkan wajahku pada wajah putraku, hidung kami saling menemp
Baca selengkapnya
159. Ke Mall
Langit jingga di Kota Surabaya sama sekali tidak terlihat, hanya angin yang berhembus membawa aroma yang berbeda. Seperti saat ini, sore begitu selesai adan ashar kulihat gadis kecilku sudah rapi dan cantik. Begitu juga dengan Yoga, si abang tidak mau kalah."Bunda, Bunda, adik hubungi tante Cintya dulu yaa?" tanya Amelia dengan nada yang ceria.Tidak kuasa aku menolak inginnya gadis kecilku, aku pun menyodorkan ponselku agar dia bisa menghubungi tantenya. Dengan senang hati Amel meraih ponselku dan mulai menempelkan pada telinganya. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu, gadis kecilku sudah pandai merias diri yaitu dengan mengepang rambutnya yang panjang. "Hallo!" sapa Amel dengan suara manjanya."Coba diloudspeaker saja, Dik!" titahku.Lalu ponsel itu pun diklik tombol loudspeaker, akhirnya aku dan yang lain juga bisa mendengarkan semua percakapan dia dan tantenya. Lama Amel terdiam, lalu dia memandangku seakan ingin meminta ijin yang lain. Aku memberinya isyarat, tetapi dia
Baca selengkapnya
160. Perpisahan
Akhirnya kami semua segera menuju arena time zone. Arena khusus untuk anak bermain. Yoga dan Amel kulihat begitu bahagia, keduanya terlihat tidak bosan memainkan hampir seluruh wahan yang ada di lokasi time zone. Yoga terlihat tertawa lepas tanpa beban begitu juga dengan Amel.Hampir tiga jam kedua anakku bermain semua wahana hingga wajahnya terlihat lelah dan capek. Amelia berjalan dengan pelan menghampiri kami semua yang sedang duduk santai sambil menikmati kopi kenangan yang lagi fenomenal di Surabaya. Aku dan Cintya sangat klop, karena kapi pecinta kopi. Rasa kopi kenangan sangat pas dilidah kami berdua."Bunda, Amel capek dan haus!" keluh Amelia saat sudah ada di depanku."Iih, ponakan tante. Hayuk beli minuman dingin sama tante!" ajak Cintya."Amelia tidak bisa minum yang dingin jika lagi capek seperti ini, Tante. Maaf!" ungkap Amelia.Cintya langsung memandangku, dia seakan meminta penjelasan padaku atas pernyataan Amelia. Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu Yoga kulihat suda
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
141516171819
DMCA.com Protection Status