Semua Bab Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya: Bab 11 - Bab 20
110 Bab
Part 11
Setelah puas meluapkan tangisan, suamiku yang tak terbiasa menangis itu mengurai pelukan. Mungkin sesak di dadanya mulai berkurang. Lelaki yang telah membuatku punya sepasang buah hati itu memegang pergelangan tangan ini dan kami berjalan bersisian menuju kamar putri kami.“Bapak tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya kamu saat melihat kondisi Alina pertama kali secara langsung, Bu. Kamu memang istri yang tegar, sampai tidak langsung mengabarkannya pada kami. Bapak saat melihat fotonya saja sudah merasa sakit hati dan tak berdaya. Ini kaki Bapak sudah lemas, tak tega melihatnya nanti.” Suara lelaki yang sudah punya dua warna rambut itu terdengar lirih.“Ibu bukannya tegar, Pak. Hati ini lebih sakit sampai tak kepikiran kemana-mana. Tapi Ibu akan jauh lebih tegar setelah ada Bapak di sini. Kita akan merawat Alina dan Cici, Pak. Kalau mereka sakit-sakitan, bukan masa tua kita yang ada dalam pikiranku, tapi bagaimana nasib mereka setelah kita tiada.”Suamiku menahan langkah dan tersen
Baca selengkapnya
Lanjutan Part 11
Tak terasa, sudah terdengar suara ngaji-ngaji dari mesjid di kejauhan sebagi pertanda waktu sholat subuh akan tiba. Raka dan bapaknya segera bergegas ke mushola rumah sakit, menunaikan kewajiban sekaligus meminta pertolongan lewat jalur langit. Sebesar apapun usaha yang dilakukan manusia, tetap saja itu hanya ikhtiar. Sedangkan kesembuhan itu terjadi atas izin Sang Pencipta. Aku menjaga cucuku dan membuatkan susu untuknya dan gantian sholat setelah suami dan anakku selesai. Dua rakaat yang sangat berat karena mata terus mengabur. Desakan cairan bening di sudut mata tiada henti menerobos.“Ya Ilahi Robbi. Jangankan anak, suami, cucu atau harta, bahkan nyawa yang dikandung badan bukan milik kami. Semuanya adalah titipan dan berhak diambil oleh-Mu kapan saja. Cepat atau lambat, setiap yang bernyawa akan mengalami kematian. Namun, jika boleh meminta, hamba mohon agar putri kesayangan yang Engkau titipkan kepada kamibisa sembuh.” Suaraku bergetar di sela tangisan, menadahkan tangan sambi
Baca selengkapnya
Part 12
“Kamu jangan nangis, Alin. Tenangkan hatimu, Nak. Ibu, Bapak dan kakakmu ada di sini.”Aku memeluk putriku yang menangis ketakutan. Jarum infus yang menempel di pergelangan tangan sudah terlepas dan mengeluarkan darah. Raka berlari keluar memanggil-manggil perawat yang bertugas. Suamiku membantu menenangkan dengan mengusap-usap punggung putrinya, barulah Alina diam, bersandar di dada bidang bapaknya. Bolehkah aku iri, Pak? Putrimu lebih nyaman denganmu, padahal 9 bulan dia menghuni rahimku. Biarpun di sini bukan persaingan, tapi tetap saja hati ini tercubit dan bikin sesak di dada. Adakah salah yang pernah kuperbuat sampai putriku acuh pada ibunya ini?Dua orang perawat masuk. Salah satu membawa bubur nasi dan yang lainnya memeriksa jarum infus, lalu memasangnya lagi. Aku pamit pada suami untuk keluar mencari Raka, sementara cucuku sedang mengoceh sendirian.“Hamdan, kamu lihat kemana anak saya?”“Mas Raka membawa wanita tadi keluar, Bu. Apa perlu saya panggil?”“Tidak usah, Nak. b
Baca selengkapnya
Lanjutan Part 12
“Kita keluar yuk, Bu. Cari udara segar. Sekalian bawa Cici juga untuk berjemur,” ujar Raka. Aku menganggukkan kepala. “Sekalian bilang sama bapakmu kalau kita akan pergi mengambil baju Ibu yang tertinggal dan juga pakaian Cici.”Entah kenapa, aku jadi sedikit kesal dengan keadaan ini. Tak tahu bagaiman cara meluapkannya. Aku berjalan mendahului dan disusul oleh Raka sambil menggendong Cici. Rumah sakit ini memiliki taman dan di sanalah kami duduk, menikmati udara pagi dan sinar mentari yang masih malu-malu.“Raka, kamu sudah datang? Cepat sekali.”Suara doter Rian membuatku tersenyum. Tak ingin terlihat sedih di hadapan orang lain. Aku meminta Cici dari pangkuan Raka agar dia bebas mengobrol dengan temannya itu.“Iya, alhamdulillah. Sudah sampai di sini sejak pukul 4 pagi tadi.”Keduanya berjabatan tangan. Mereka berjalan sedikit menjauh dan tak kudengar lagi obrolan mereka. Sepertinya pembicaraan mereka terlihat serius. Tak berapa lama, Raka kembali dengan senyuman semringah.“Ayo
Baca selengkapnya
Katakan Sekali Lagi, Nak
“Ibu kenapa? Sakit kepala?” cecar putraku dengan raut cemas. Dia mendekat dan duduk di sampingku. Aku mengusap wajah sesaat dan menghembuskan napas dengan kasar. Raka baru saja mengikat Delon dengan kemeja tangan panjang. Mulut menantuku itu juga diikat dengan baju yang lain. “Pikiran Ibu yang pusing. Apa maksud Delon tadi, Nak? Delon pernah pacaran dengan istrimu?”“Gak usah dipikirin. Namanya juga lagi mabuk, Bu. Dia mungkin mengigau,” balas Raka. Dia terlihat biasa saja dengan ucapan adik iparnya.“Tapi Delon tadi lancar bicaranya. Rasanya dia tak mungkin berbohong.” Sungguh perkataan anak orang kaya itu barusan mengganjal pikiranku. Kalau awalnya Sri kenal dengan Delon atau punya hubungan khusus, kenapa dia tak pernah cerita? Kenapa menantuku itu membiarkan adik iparnya masuk ke kandang buaya?Aku menghela napas panjang. Memohon ampun pada Allah karena berburuk sangka pada perempuan yang menjadi istri dari anakku itu. Aku tak ingin menyakiti hati Raka dengan mencurigai istrinya.
Baca selengkapnya
Dokter Ngelantur?
Aku bagai terlempar ke masa kecil putriku, dimana bersorak girang dan bertepuk tangan saat Alina berhasil mengucapkan kata pertamanya. Ibu, kata itu yang dia ucapkan dengan baik pertama kalinya. Sekarang, aku melebihi bahagianya dulu saat putriku yang sudah dewasa dan bahkan memiliki anak mau memanggilku lagi. Rasanya tak ingin melepaskan pelukan pada tubuh ringkih itu dan mengecup keningnya berkali-kali. Aku ingin mengungkapkan kalau rasa sayangku padanya tak pernah berubah. Anak lelaki dan juga putriku sama saja. Tidak ada yang diistimewakan. Hanya saja sudah jadi kebiasaan kalau istri ikut suami. Jadi, kebersamaam dan komunikasi jelas saja berbeda dengan yang tinggal berdekatan.Tapi ini tak akan lama lagi, Nak. kita akan berkumpul setelah kondisimu memungkinkan naik bus satu malam. Kamu akan lanjut pengobatan di rumah sakit terdekat dari kampung kita, Nak.“Sayang, terima kasih telah mau memanggil ibu. Ini seperti kado terindah sepanjang hidup. Ibu harap, jangan pernah diamkan Ib
Baca selengkapnya
Pov Delon
“Si*lan sekali nenek tua itu. Gara-gara dia anak Mama babak belur dihajar massa. Mau balas dendam, kita malah diusir,” gerutu Mama sambil berjalan keluar dari rumah sakit ini. Di sini banyak sekali orang yang menyebalkan. Tapi yang membuatku semakin kesal adalah dokter rese tadi. Apa hubungannya dengan istriku? Sepertinya, dia juga harus dikasih pelajaran.Aku semakin pusing dan kesal dengan perempuan di sampingku ini. Mama ternyata hanya pandai berorasi, tapi kenyataannya malah rencana gagal dan kini kami yang terusir. Alina dan ibunya sudah mirip seperti konglomerat, pakai bodyguard segala di rumah sakit. Mana badan lelaki itu bikin merinding. Sekali banting, bisa patah semua tulangku. Aku tak mau ambil resiko lagi.“Maaf, Pak, Bu. Biaya administrasi atas nama Pak Delon belum dibayar.”Seorang satpam mencegat kami di parkiran. “Gak bakalan kubayar. Pelayanan rumah sakit ini tidak profesional,” cetusku. Baru saja aku mau membuka pintu mobil, lelaki itu menahan tanganku.“Tolong koope
Baca selengkapnya
Serangan Balik Raka (pov Delon)
Aku bangga pada Papa. Dalam dunia bisnis, Papa juga sering mengandalkan otak cerdasnya. Wajar kalau perusahan Papa semakin maju. Dia selalu punya cara licik membuat pesaingnya mundur teratur. Sekarang, musuhku pun akan bertekuk lutut.“Tapi setelah semua ini beres, kamu sudah bisa move on dari wanita itu, kan? Gak ada gunanya lagi kamu menghabiskan masa muda untuk merutuk nasib gara-gara dia, sampai-sampai menyakiti orang lain yang tak bersalah.”Aku berdecak kesal. Kenapa bahas wanita idamanku sih? Namanya juga cinta sejati, harusnya dia menemaniku sepanjang usia. Move on itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan.“Jawab, Delon! Papa ingin kamu memulai hidup normal tanpa dendam lagi. Buat apa ngarepin cinta orang lain yang jelas-jelas sudah menikah? Sri Mentari itu barang bekas dan sudah tidak bagus lagi.”“Cukup, Pa. Jangan menyamakan dia dengan barang.” Aku meninggikan suara di hadapan Papa saking kesalnya. Papa sudah mengejek wanita idamanku.“Papa bicara apa adanya, Delon. Mu
Baca selengkapnya
Menuntut Balas dengan Cara Sendiri
Balik lagi pov Ibu. -_- Semangat membaca -_-Entah apa yang terjadi dengan dokter Rian, setelah bicaranya yang ngelantur siang itu, dia tak mau lagi berbicara lama-lama denganku. Hanya seperlunya saja. Tapi dia tetap rutin memeriksa keadaan Alina. Aku yang merasa terkesan dihindari jadi segan mau mengajaknya bicara duluan. Aku yakin dia hanya bercanda, tapi kenapa dokter Rian jadi kelihatan canggung pada wanita tua ini?Ah, mungkin perasaanku saja kalau dokter muda itu sedang berusaha menghindar dariku. Tak mungkin juga dia ada niatan ijab qobul denganku. Astagfirulloh. Pikiran apa ini? Tak mungkinlah kalau sampai dokter Rian suka pada nenek tua yang masih bersuami ini. Gak selevel dan tak pantas untuk dibayangkan. Aku memukul-mukul pelan keningku agar bisa diajak bepikir jernih.Tadi malam, Raka yang menemani adiknya di rumah sakit dan sekarang gantian suamiku pergi ke rumah sakit untuk menjaga Alina dan Cici yang ada jadwal pemeriksaan kesehatan juga. Hanya ada aku dan putraku di si
Baca selengkapnya
Cucuku Pun Kena Imbasnya
Aku meninggalkan Raka di kosan dan berjalan menuju rumah sakit. Biarlah dia video call dengan keluarga kecilnya tanpa harus malu padaku. Namanya mereka masih mudah, lagi romantis-romantisnya. Sejak Delon mengatakan kalau alasannnya menyakiti putriku karena kecewa takl bisa bersatiu dengan Sri, putraku tetap bersikap biasa. Tidak uring-uringan sama sekali. Apa Raka memang tak ingin bahas tentang itu? Atau dia menunggu momen yang tepat setelah kemi pulang? Entahlah. Yang jelas aku bikut bahagia jika mereka masih akur.“Bu, akhirnya kamu datang juga.”Aku menautkan alis melihat suamiku berdiri di bawah pohon jambu air dekat gapura selamat datang ke rumah sakit ini. Sepertinya menungguku, padahal belum sampai satu jam duluan ke sini“Apa ada masalah dengan Alina atau bayinya, Pak?” pikiranku langsung ke sana.Bapak dari anak-anakku itu menggeleng dan menarik tanganku agar mendekat. Berteduh di bawah pohon yang sedang berbuah itu.“Bapak lihat kalau ada orang yang mirip papanya Delon kelu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status