Semua Bab Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua: Bab 31 - Bab 40
56 Bab
Bab 31 POV Elisa (3)
Jeritan aku berhenti ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Aku melihat om Kenneth keluar dengan hanya mengenakan handuk di pinggang. Aku marah padanya. Berarti dia yang mengambil keperawananku. Aku kembali menjerit-jerit histeris dan melemparinya bantal. "Brengsek! Laki-laki brengsek! Apa yang lo lakukan pada gue?!" teriakku dengan wajah memerah dan nafas memburu. Om Kenneth tetap bersikap tenang. Ia berjalan menghampiriku. Sikap tenangnya membuat aku takut, tanpa sadar aku beringsut mundur ke belakang. Om Kenneth tersenyum. Senyum itu membuatku bergidik. "Sudah puas marahnya?" tanyanya datar. Mataku terbelalak. Bagaimana bisa laki-laki itu segitu tenangnya setelah mengambil keperawananku?!"Apa...apa yang om lakukan padaku?!" tanyaku dengan suara bergetar. Ia tersenyum. "Ternyata Sarah benar. Kamu memang masih perawan." Ia menyeringai menatapku. Aku terbelalak. Apa itu artinya Sarah dan juga dia sudah merencanakannya?! Brengsek kamu Sar
Baca selengkapnya
Bab 32 Elisa pingsan
Aku terkejut ketika mendapati Elisa datang bersama Yudi dengan menggunakan taksi online. Wajah Elisa terlihat kusut. Ia mengenakan jaket laki-laki dengan pakaian yang sangat minim. Rambut Elisa berantakan dan Wajahnya ada noda hitam seperti bekas maskara yang luntur. Aku tercengang menatapnya. Ia tidak peduli dengan tatapan aku dan terus berjalan menuju kamarnya tanpa menghiraukan aku. Aku beralih pada Yudi. Yudi hanya mengangkat bahunya. Aku menghela nafas. Entah apa lagi yang disembunyikan Yudi padaku. Nanti aku harus memaksanya bercerita. "Oya, kak! Kenalkan ini Rano, teman aku waktu SMA." Yudi memperkenalkan temannya yang tadi datang bersamanya. Temannya tersenyum santun padaku dan mengulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman. Aku menerima uluran tangannya dan kami pun bersalaman. "Rano, kak!" ucapnya. "Yuni," ucapku dengan menyebut namaku. "Silakan masuk, Rano!" Rano tersenyum dan masuk ke dalam rumah diikuti oleh Yudi. "Kalian pasti belum makan siang, kan?" tanyaku.
Baca selengkapnya
Bab 33 Keguguran
Aku terhenyak mendengar ucapan kejam Hani. Aku menatap bang Arman berharap mendapat pembelaan darinya. Bang Arman diam tanpa menoleh padaku. Aku menjauh dari mobil itu. Mobil kemudian dilajukan dengan meninggalkan aku dalam keadaan hati yang terluka. Mungkin apa yang dikatakan Hani benar, aku ini hanya orang lain di sini. Aku menunduk sedih. Aku menoleh ketika sebuah tangan menyentuh bahuku. "Yudi!" "Yang sabar, kak!" ucap Yudi. Aku mengangguk. Aku teringat dengan kejadian siang tadi ketika Yudi mengantarkan Elisa ke rumah. Pastilah Yudi tahu apa penyebab Elisa menjadi begitu. "Yud, apa kamu tahu apa yang terjadi pada Elisa?" tanyaku. Yudi terlihat gugup. "Tidak tahu, kak! Aku kan tidak terlalu dekat dengannya," jawab Yudi. Tapi aku merasa jika Yudi menyembunyikan sesuatu. "Kamu yakin, Yud?" Yudi mengangguk. "Aku ke kamar dulu, kak!" ujarnya seraya hendak beranjak pergi meninggalkan aku. "Yud! kenapa siang tadi kamu bisa mengantar Elisa? Lalu kenapa keadaan Elisa acak-acakan s
Baca selengkapnya
Bab 34 Kedatangan Hani
Sepulang dari rumah sakit, Elisa dibawa kembali ke rumah kami. Bang Arman memintaku untuk merawat Elisa pasca di kuret. Ia mengatakan jika ia lebih mempercayai aku untuk merawat Elisa dibandingkan dengan ibu kandung Elisa itu sendiri. Tentu saja aku tidak keberatan. Bagiku, Elisa sudah aku anggap sebagai anakku sendiri, meskipun ia bersikap kasar padaku. Mudah-mudahan jika kami sering bersama, hatinya akan melunak dan mau menerimaku. Jika bukan sebagai ibu sambungnya, setidaknya sebagai teman, harapku. Aku membantu Elisa berbaring di ranjangnya. Awalnya ia menolak pertolonganku. Tapi tidak ada satupun yang bisa menolongnya saat ini. Hani tidak ikut mengantarkan Elisa ke rumah kami. Sedangkan bang Arman dan Ridho kembali ke toko. Di rumah ini hanya ada aku dan Elisa saja. Setelah Elisa berbaring, aku merapikan selimut untuknya juga menghidupkan kips angin agar dia tidak kepanasan. Aku sedikit beberes agar dia merasa nyaman istirahat di kamarnya. Jam satu siang, aku mengetuk pintu ka
Baca selengkapnya
Bab 35 Tinggal bersama Hani
"Bang, capek ya, bang?" Hani berjalan ke arah belakang bang Arman. Ia meletakkan tangannya di bahu bang Arman. "Aku pijitin ya bang!" ucapnya seraya mulai memijit bahu bang Arman. Bang Arman diam dan menikmati sentuhan tangan Hani di bahunya.Astaghfirullah alazim! Apa yang mereka lakukan? Apa bang Arman lupa jika wanita di depannya ini mantan istri yang ia ceraikan? Hani memijit bahu bang Arman sambil menoleh padaku. Ia tersenyum mengejek padaku. Aku menatap tajam pada bang Arman. Kebetulan bang Arman juga menoleh padaku. Ia menyadari tatapan tidak suka dari mataku. Ia kemudian menepis tangan Hani dari bahunya. "Sudah, Han! Sudah cukup?" ucapnya. "Dikit lagi, bang! Abang pasti capek, kan!" Hani bersikeras dengan tidak tahu malunya. Aku makin menatap tajam pada bang Arman. Bang Arman menarik paksa tangan Hani. "Sudah cukup kataku!" ucapnya dengan nada tinggi. Hani menatap wajah bang Arman dengan ekspresi terkejut dan hampir menangis. Aku muak melihat wajah penuh dramanya. Aku me
Baca selengkapnya
Bab 36 Alasan Hani tidak mau pulang
Aku menatapnya tak percaya. Namun hatiku terasa hangat. Aku tersenyum canggung pada Elisa."Aku sudah selesai, Tante! Aku tidur dulu," ucapnya seraya bangun dari duduknya dan berjalan ke kamarnya. Aku masih menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Aku tersenyum. Mudah-mudahan ke depannya hubungan kami menjadi lebih baik.*** Pagi-pagi aku sudah menyiapkan sarapan untuk bang Arman dan seisi rumah. Nasi goreng, menu andalan aku untuk sarapan. "Bang, sarapan sudah siap!" ucapku pada bang Arman yang baru saja selesai mandi. "Iya, dek!" ucapnya. "Bang, apa boleh aku ikut Abang ke toko?" tanyaku lirih. Bang Arman menatapku lekat. "Kenapa?""Aku bosan di rumah terus, bang!" Bang Arman tampak berpikir. "Baiklah. Lagi pula sudah ada Hani yang menjaga Elisa," ucapnya. Aku tersenyum senang. Setelah semua selesai sarapan, aku bergegas membersihkan dapur dan meja makan. Setelahnya aku bersiap buat berganti pakaian. Aku keluar dengan penampilan yang rapi. "Eh, mau kemana kamu?"
Baca selengkapnya
Bab 37 Pertengkaran karena Hani
"Masak sih, ma?" tanya Elisa tak percaya. "Iya. Mama sudah tahu sifat papa kamu. Makanya mama mengajukan diri di sini merawat kamu. Lagian mama mau kasih pelajaran sama perempuan kampung itu. Biar dia ingat jika dia itu hanya benalu di sini. Sekali mendayung, dua pulau terlewati. Di sini mama cuma ongkang-ongkang kaki, Semua di kerjakan oleh perempuan kampung itu, dan di kasih duit lagi."Elisa terdiam. Aku mengepalkan tanganku karena geram. "Sa, bilang sama papa kamu kalau kamu tidak jadi pulang ke rumah mama!" bujuk Hani. "Tapi, aku lebih betah tinggal di tempat mama. Aku bisa ke sekolah bareng Dian. Kalau di sini nggak bisa, ma! Kejauhan kalau Dian jemput aku!" tolak Elisa. "Alah, gampang itu! Biar mama nanti yang antar kamu ke sekolah.""Iya, deh! Terserah mama. Nanti aku kasih tahu papa," ucap Elisa akhirnya. Aku pergi dari depan kamar Elisa dengan hati geram. Aku masuk ke kamarku. Aku berpapasan dengan bang Arman di depan pintu kamar. "Lho
Baca selengkapnya
Bab 38 Keluar dari rumah Arman
"Apa kamu sedang menantang Abang, Yun?" tanya bang Arman dengan tatapan menyala. "Aku tidak menantang Abang. Aku cuma meminta Abang memilih. Aku sudah cukup selalu dinomorduakan, bang! Jika Abang begitu susah untuk terlepas dari Hani, sebaiknya aku yang mundur, bang!" jawabku. Bang Arman terdiam menatapku dengan marah. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. Aku tahu, aku sekarang seperti membangunkan singa tidur. Tapi, aku juga manusia yang punya perasaan. "Baiklah! Jika itu keinginan kamu. Pergilah! Pergi sesuka hatimu! Aku tidak akan peduli lagi padamu!!" ucapnya dengan nada tinggi. Wajahnya memerah menunjukkan kemarahannya. Aku tercekat. Sebegitu mudahnya ia melepaskan aku. Betapa aku tidak ada artinya di dalam hatinya walau cuma sedikit. Air mataku, mengalir deras. Dadaku terasa sesak. Aku menatapnya dengan mata berembun. Sedangkan bang Arman menatapku dengan mata tajam. Aku menunduk. "Baiklah! Berarti memang tidak ada gunanya aku di sini!" Aku terse
Baca selengkapnya
Bab 39 Membuka warung
"Oh, ini kakaknya Rindi ya?" sapa Bu Dijah ramah seraya menyalamiku dan menganggukkan kepala pada Yudi. "I...iya, Bu!" jawabku. "Sebetulnya saya teman Rindi yang sudah dianggap kakak olehnya, Bu!" jelasku. "Iya. Ibu tahu. Rindi sudah cerita kalau Yuni butuh tempat tinggal sementara sampai rumah kontrakan sebelah kosong. Betul begitu, Rin?" tanya Bu Dijah pada Rindi. "Iya, Bu," jawab Rindi. "Kebetulan bertemu ibu, saya minta ijin langsung untuk bisa menginap di tempat Rindi sehari dua hari, Bu," ucapku dan menatapnya penuh harap. "Oh, boleh saja," jawab Bu Dijah. "Mudah-mudahan betah, ya!" "Terima kasih banyak, Bu!" ucapku penuh syukur. "Alhamdulillah!" "Sama-sama. Kalau begitu, ibu pamit dulu ya. Ibu rencananya mau ke warung, beli garam. Eh, malah ngobrol di sini. Ibu tinggal dulu, ya!" ucap Bu Dijah. Kami membalasnya dengan senyum. Bu Dijah pun berlalu dari kami. "Ibu kos kamu baik ya, Rin!" komentarku. "Iya, kak! Makanya tempat kos ini nggak pernah sepi, kak. Soalnya Bu Dija
Baca selengkapnya
Bab 40 Sulitnya menemukan pelanggan
Aku bergegas membuatkan pesanan Bu Dijah begitu sampai di warungku. "Kak, Yuni!" Tiba-tiba Yudi datang dan mengejutkanku. Ia membawa serta dua orang temannya yang sebelumnya menolongku membuat bangku dan meja kayu. "Eh, Yud! Belum berangkat kerja?" tanyaku sambil tanganku sibuk membungkuskan pesanan Bu Dijah. "Ini mau berangkat, kak. Tapi aku mau sarapan dulu tempat kakak," ucapnya. "Oya, duduk dulu, Yud! Kakak mau antarkan pesanan Bu Dijah dulu," ucapku. "Biar aku saja yang antarkan, kak! Kakak buatkan saja pesanan aku dan kawan-kawanku ini," tawar Yudi. "Iyalah. Ini kamu antarkan ya! Kamu mau makan apa, Yud? Lontong sayur apa serabi?" tanyaku. "Lontong sayur, kak!" jawab Yudi. "Kamu mau apa, Dion? Kamu juga mau apa Sat? Pesan saja ya! Aku mau antarkan ini dulu." "Gampang itu Yud!" ucap Dion. "Aku lontong sayur saja, kak! Kamu apa, Sat?" "Sama dengan kamu aja, Yon!" jawab Satria. "Berarti lontong sayurnya tiga ya, kak! Kami makan di sini saja." "Iya. Ditunggu ya!" sahutku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status