All Chapters of Ayah Anakku Suami Sahabatku: Chapter 31 - Chapter 40
63 Chapters
Bab. 31
Luna tengah duduk santai di ruang tamu. Ketika ia melihat Nikita membuka bungkusan snack yang sudah beberapa hari berada di atas meja. Dahinya langsung mengernyit."Apa yang kamu lakukan, Nik?" tanya Luna protes."Makanan ini sudah berhari-hari berada di sini tapi aman-aman saja. Sebaiknya kita memakannya," jawab Nikita tanpa ragu, tangannya sibuk merobek plastik pembungkus snack.Luna menggelengkan kepala, menatap sang adik dengan serius. "Jangan, Nik! Kita kan tidak tahu siapa yang mengirimnya.""Tidak akan ada apa-apa. Lagipula, makanan ini sudah ada di sini selama beberapa hari dan tidak ada tanda-tanda buruk. Aku yakin ini aman."Melihat Luna masih ragu, Nikita mulai membujuk dengan lebih lembut. "Ayo, Kak. Makanan ini bisa jadi rezeki yang tidak boleh kita tolak. Kakak kan sedang hamil, pasti Kakak membutuhkan banyak nutrisi."Wanita berambut panjang itu menatap Nikita dengan kebingungan. "Tunggu, tunggu. Bukankah kamu yang sebelumnya melarang aku untuk memakan makanan ini, tap
Read more
Bab. 32
Masih berada di dalam ruangan yang tidak terlalu luas, dengan tembok yang terlihat sedikit usang dan pudar, Rayyanza menatap Luna yang diam membatu selama beberapa saat. Pria tampan itu melayangkan tatapan penuh intimidasi. Meminta penjelasan atas kebohongan yang Luna ciptakan. "Mengapa kamu diam? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku, hah? Rayyanza tersenyum sinis. Luna menautkan kedua alisnya. Jarinya meremas dan menarik-narik ujung piyama yang ia kenakan. Pikirannya seolah buntu, tak dapat menjawab pertanyaan dari Rayyanza. "Sudahlah Rayyan, tidak usah membahas hal yang tidak perlu kita bahas. Bukankah kamu kesini hanya untuk mengambil jas milikmu! Sekarang jas itu sudah ada. Kamu bisa segera pergi dari rumahku!" ucapnya dengan ketus. "Tidak, Luna! Jawab pertanyaanku! Ayo, jawab!" desak Rayyanza dengan nada meninggi. Luna menundukkan wajahnya sebelum akhirnya ia berani menatap Rayyanza dengan tatapan tajam. "Kamu pikir, istrimu itu mengetahui semua tentangku, hah? Tentu saja
Read more
Bab. 33
Wanita yang mengenakan kemeja putih longgar itu melangkah kembali menuju meja kerjanya dengan penuh semangat. Seolah ada energi baru yang mengalir di dalam dirinya. Raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang tengah ia rasakan. Sesampainya di sana, ia kembali duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Namun, Windy yang tengah sibuk dengan dokumen di tangannya tiba-tiba melirik ke arah Luna. Ia merasa penasaran mengapa Merry memanggilnya ke ruangannya. Windy meletakkan pena di atas meja lalu mendekatkan tubuhnya pada Luna. "Hei ... ada apa Bu Merry memanggilmu?" bisiknya. "Ssssttt .... Tapi kamu jangan berkata pada siapapun sebelum Bu Merry yang mengumumkannya secara langsung, ya!" Kedua wanita itu berbincang sambil berbisik pelan. Windy mengangguk penuh antusias. "Iya. Memangnya kenapa? Apa katanya?!" "Bu Merry baru saja memberitahukanku bahwa aku dipromosikan menjadi manager di kantor cabang baru," jawab Luna dengan mata yang berbinar-binar. Mendengar perkataan Luna, Windy
Read more
Bab. 34
Langakah kaki kedua wanita cantik itu terhenti di depan rumah bercat dinding kuning cerah. Rumah yang tampak sederhana namun terlihat kokoh dan nyaman. Tok. Tok. Tok. Luna mengetuk pintu rumah tersebut. Wanita paruh baya membuka pintu kemudian menyambut dengan hangat. "Dengan Luna?" sapanya seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.Luna dan Nikita menyambut uluran tangan Astuti dengan senyum ramah. "Terima kasih, Bu Astuti. Perkenalkan, saya Luna dan ini adik saya, Nikita," jawab Luna sopan. "Silakan masuk, saya akan menunjukkan rumah ini pada kalian."Luna dan Nikita melangkah masuk untuk melihat seisi rumah. Terdapat dua kamar tidur dan satu ruang tamu juga ruang keluarga. Dapurnya terlihat lebih luas dari rumah kontrakan yang sebelumnya. Juga terdapat halaman yang cukup luas. "Rumah ini baru selesai di renovasi. Bagaimana, apakah kalian cocok?" tanya Astuti setelah mereka selesai melihat-lihat.Luna dan Nikita saling berpandangan dan tersenyum. "Bagaimana, apakah kamu men
Read more
Bab. 35
Luna termangu menatap layar ponsel di genggaman tangannya. Dilema antara menjawab atau mengabaikannya. Namun, di samping kesibukannya berpindah tempat, ia juga takut Amanda tiba-tiba akan mengunjunginya. Ia pun memilih untuk tidak menjawab dan mematikan ponselnya. Luna bergegas mengenakan alas kakinya dan berpamitan pada Ibu Sinta, pemilik rumah kontrakan yang kediamannya terhalang oleh tiga rumah saja. "Permisi, Bu!" seru Luna dari depan pintu. Wanita paruh baya keluar dengan tergesa-gesa. "Ya, Luna," sahut Sinta, matanya menoleh ke arah mobil pickup yang dipenuhi oleh barang-barang perabotan milik Luna. "Kamu pindahan sekarang?" Luna mengangguk lalu mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. "Saya permisi, ya, Bu. Saya mohon maaf apabila selama saya tinggal disini, saya pernah berbuat salah." "Tidak, Luna. Kamu tidak pernah berbuat salah apapun. Saya juga minta maaf, ya, apabila saya ada salah," jawab Sinta. "Kamu pindah kemana, Lun?" tanya Sinta penasaran. Luna menjawab deng
Read more
Bab. 36
Masih berada di dalam bus yang berjalan pelan. Ingatannya tertuju pada sahabatnya, Amanda. "Maafkan aku, Manda. Aku benar-benar terpaksa melakukannya. Ini semua demi kebaikanmu juga," ucapnya dalam hati dengan mata yang terlihat sendu. Tak butuh waktu lama, hanya lima belas menit saja, kini ia telah sampai di halte bus yang menjadi tujuannya. Luna turun dari bus, melangkah dengan penuh semangat dan keyakinan. Setelah berjalan kaki sejauh seratus meter, ia sampai di depan pintu gerbang kantor barunya. Wanita berparas cantik itu menghela napas panjang, kemudian melangkah masuk ke dalam gedung yang masih harum dengan aroma cat baru dan perabotan kayu.Terlihat kantor yang masih lengang karena para karyawan belum tiba. Dengan perasaan senang bercampur gugup, ia duduk di area lobi. Pandangan matannya menebar ke seluruh bagian ruangan.Tak sampai menunggu lama, Merry tiba dengan menjinjing tas kerjanya. "Luna ... mari kita pergi ke kantor lama untuk membawa semua barang-barangmu dan berp
Read more
Bab. 37
Luna menoleh pada benda bulat yang tergantung di dinding. Jam menunjukan pukul dua siang. Ia meletakkan bolpoint ditangannya di atas meja. Meraih map berisikan materi meeting. Wanita cantik itu beranjak dari duduknya. Menghela napas untuk menghilangkan rasa gugup. Ia berjalan menuju ruang meeting. Langkahnya terhenti di hadapan pintu yang bertuliskan meeting room. Jantungnya berdegup kian cepat. Ia menarik napas mengumpulkan sedikit keberanian untuk membuka pintu. Beberapa orang telah duduk di kursi jabatannya masing-masing. Deretan staff dibawah kendali Luna pun telah duduk menunggu kehadirannya. Ia berdiri melempar senyum dan menyapa semua yang ada di sana seraya memperkenalkan diri. "Baiklah, Luna," ujar Merry, "Anda bisa mulai mempresentasikan ide Anda."Luna berdiri, dengan suara jelas memulai presentasinya. "Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk saya. Disini, saya ingin membahas strategi keuangan baru yang telah saya kembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan pro
Read more
Bab. 38
Didalam sebuah ruangan dengan interior minimalis namun mewah, sepasang suami istri tengah duduk di atas sofa. "Luna pergi entah kemana. Aku sudah menghubunginya dari dua hari yang lalu. Tapi dia tidak menjawab panggilanku. Juga tidak membalas pesanku. Bahkan ponselnya sekarang tidak dapat dihubungi. Tadi aku kerumahnya, dan ternyata rumah itu sudah kosong," terang Amanda sembari terisak. Amanda menyeka air mata dengan telapak tangannya. "Aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba bersikap seperti itu. Apa salahku padanya? Mengapa dia pergi tanpa memberitahukanku terlebih dahulu. Sebelumnya, dia tidak pernah bersikap seperti ini. Sebelum berpindah kontrakan, dia pasti akan mengabariku terlebih dahulu. Bahkan, ia selalu meminta pendapatku tentang rumah yang akan ia tempati. Tapi, sekarang ia pergi begitu saja, bahkan enggan menerima panggilanku." Wanita itu terus mengutarakan kegundahannya sembari terisak. Hatinya merasa sesak karena kehilangan seorang sahabat terbaiknya. Isi kepalanya
Read more
Bab. 39
Sejak saat itu, Luna menjalani harinya dengan fokus bekerja. Setiap pagi, ia berangkat dengan semangat yang tak pernah surut. Mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaan. Di balik kesibukan dan rutinitasnya, ada satu tujuan yang selalu ia pegang erat, yakni menyiapkan masa depan untuk anak yang tengah dikandungnya. Ia juga selalu menyisihkan sebagian besar upahnya untuk menabung. Menyiapkan biaya persalinan yang semakin dekat. Tiga bulan berlalu terasa cepat bagai sekejap mata. Perut Luna kini semakin membesar. Setiap hari, perubahan fisiknya semakin terlihat nyata. Tak ada lagi pakaian yang cukup longgar untuk menyembunyikan kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Orang-orang di sekitarnya diam-diam mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuh wanita yang diketahui masih berstatus single itu. Tok. Tok. Tok. Suara pintu ruangan kerja Luna diketuk oleh seseorang. "Masuk ...!" seru Luna dari dalam ruangan. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. "Hai ... Lun
Read more
Bab. 40
Perang dingin antara Luna dan Windy masih berlangsung berhari-hari. Dua wanita yang dulunya dikenal sebagai rekan kerja yang akrab, kini terasa sangat asing. Pagi itu, Luna baru saja tiba di kantor. Para staf yang biasa menyapanya dengan ramah, kini terkesan dingin, bahkan seringkali kedapatan menatap Luna dengan tatapan sinis. "Luna ... saya harap kamu tidak menggabungkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi kamu dengan Windy," tegur Merry yang baru saja masuk ke dalam ruangan Luna. "Maaf, Bu. Saya sudah membuat suasana di kantor ini menjadi tidak nyaman," sesalnya pada Merry. Secara pribadi, Merry tidak merasa terganggu sedikitpun oleh peperangan dingin yang terjadi diantara bawahannya. Namun, semakin hari, semakin terlihat keteganggan di wilayah kerjanya. Terlebih lagi, ketika meeting, kubu Windy sering kali berbeda pendapat dengan Luna dan seolah menyerang Luna. "Kamu belum tau siapa saya, Luna!" gumam Windy, menatap Luna dengan tatapan tajam dan senyum sinis. Dengan amb
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status