All Chapters of Ayah Anakku Suami Sahabatku: Chapter 41 - Chapter 50
63 Chapters
Bab. 41
Bus yang ditumpangi oleh Luna telah sampai di halte tujuan. Ia turun dari kendaraan besar itu dengan langkah yang berat. Berjalan melewati area komplek yang tampak sunyi. Sesampainya di depan pintu rumah, Luna melepaskan sepatu flat shoesnya dengan gerakan yang lamban dan otomatis. Ia membuka pintu dengan pelan, kemudian masuk ke dalam dengan wajah yang pucat dan tampak lelah. Tanpa berkata sepatah kata pun, Luna menghempaskan tubuhnya di kursi ruang tamu, bersandar, menengadahkan wajah, lalu menutup matanya seolah ingin meredakan kelelahan yang tak hanya bersifat fisik.Di sudut ruangan, Nikita memperhatikan kedatangan kakaknya dengan seksama. Luna, yang biasanya penuh semangat dan senyum, tampak begitu berbeda hari ini. "Mau aku buatkan teh manis, Kak?" tanya Nikita. Luna menghela napas panjang, lalu melirik Nikita sekilas. "Tidak usah, nanti aku bisa membuatnya sendiri." Nikita melangkah mendekati Luna, kemudian duduk di sampingnya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam sor
Read more
Bab. 42
Luna menutup pintu ruangan Merry dengan lembut, kemudian menarik napas panjang. Atasannya yang baik namun tegas itu telah memberinya waktu tiga hari untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum Luna mengundurkan diri. Tekad Luna sudah bulat dan sudah memikirkannya dengan matang. Ia yakin keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik untuk dirinya.Selama tiga hari ke depan, Luna memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin . Ia larut dalam pekerjaannya, menyelesaikan tumpukan dokumen dan berkas. Saking sibuknya, ia tidak sempat keluar dari ruang kerjanya. Namun, selain karena kesibukkan, ia juga menghindari bertemu dengan Windy dan juga staf lainnya agar tidak menambah masalah.Luna merasa sangat sedih. Selama ini, ia sudah berusaha bersabar menghadapai semua rekan kerjanya yang selalu menggunjingnya, karena hamil tanpa menikah. Setiap kali Luna keluar dari ruangannya, rekan-rekan langsung meliriknya dan saling berbisik menjelekkannya.Gosip murahan tersebar melalui mulut Windy, r
Read more
Bab. 43
Sinar matahari pagi mulai menembus melalui celah jendela kamar. Wanita berparas cantik itu membuka mata secara perlahan. Menggeliat manja di atas ranjang. Hari ini, ia berencana akan mencari pekerjaan. Setelah matanya terbuka sempurna, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang di sebelahnya. Mengetikkan info lowongan pekerjaan di kolom pencarian. Matanya terus berfokus pada layar ponsel, ibu jarinya sibuk bergerak ke atas dan ke bawah. Berharap menemukan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Luna menyimpan beberapa informasi mengenai lowongan pekerjaan. Juga melamar melalui email ke beberapa perusahaan. Suara pintu kamarnya terbuka. Nikita yang sudah mengenakan seragam sekolah berpamitan pada Luna. "Aku pergi sekarang, ya, Kak!" ucapnya seraya mencium pipi Luna. Ia melirik layar ponsel yang bertuliskan lowongan pekerjaan. "Kakak mau pergi melamar pekerjaan?" tanyanya. Luna menganguk. "Ada tiga lowongan yang menarik perhatianku, Nik." "Oh, ya?" kata Nikita den
Read more
Bab. 44
Luna keluar dari gedung dengan wajah lesu. Tak mendapatkan hasil, ia pun tak ingin menyerah, mencoba mendatangi perusahaan yang ke tiga. Ia melirik benda bulat yang melingkar di tangannya. "Jam setengah tiga sore," gumamnya. "Sepertinya masih sempat!" Luna kembali melangkahkan kakinya di trotoar yang berdebu menuju perusahaan yang ke tiga. Di tengah perjalanan, ia menunduk dan menghentikan langkah sejenak. Sinar matahari terasa menari-nari di atas kepalanya dan membakar kulit putih mulusnya. Matanya mengernyit seraya menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Ia merogoh tas dan mengambil botol berisi air minum yang dibawanya dari rumah. Luna meneguk cairan bening itu dengan rakus untuk mengusir rasa haus yang menyiksa. Sebenarnya, perutnya terasa lapar. Namun, ia menahannya karena mengejar waktu untuk melamar ke perusahaan ke tiga. "Permisi, Pak. Apakah masih bisa mengajukan lamaran pekerjaan?" tanyanya pada sekuriti yang berjaga. "Maaf, Bu. Penerimaan lamaran kerja sudah kam
Read more
Bab. 45
Amanda menjadi panik seketika. Ia segera mengarahkan tuas lampu sein ke arah kiri. Memotong laju kendaraan, dan berusaha mengarahkan mobilnya ke bahu jalan. Ia sama sekali tidak peduli terhadap kendaraan yang membunyikan klakson dengan kencang di belakangnya. "Kenapa, Manda?" Pekik Rima kaget, karena Amanda menginjak rem secara tiba-tiba, diiringi suara klakson yang terdengar gaduh saling bersahutan."Luna, Mah. Itu Luna!" kata Amanda panik. "Hati-hati, Manda. Jangan sampai kamu menabrak kendaraan di depanmu dan mengakibatkan kecelakaan!" omel Rima. Ibu dari Amanda itu turut memfokuskan pandangannya, menatap kerumunan orang-orang yang ada di sebelahnya. "Apa kamu tidak salah lihat, Manda. Bisa saja itu karena kamu terus memikirkan Luna, makanya kamu mengira siapapun adalah Luna," lanjutnya lagi seraya terus mengintip melalui celah kerumunan.Amanda yang masih berusaha meminggirkan kendaraanya tak menghiraukan perkataan sang ibu. Ia sangat yakin kalau itu adalah Luna. Tak hanya peng
Read more
Bab. 46
Luna tak dapat berkutik. Ia menutup rapat kedua matanya, sementara telingannya mampu mendengar dengan jelas. Ia benar-benar merasa tidak siap bertemu dengan Amanda apalagi dengan Rayyanza. "Ayo kita bicara di luar!" ajak Amanda, menarik tangan Rayyanza pelan. Sedangkan Rima duduk menunggui Luna di sofa ruangan VVIP."Bagaimana kamu bisa menemukannya, Sayang?!" tanya Rayyanza dengan antusias. "Luna pingsan ditrotoar jalan. Sepertinya dia kelelahan karena mencari pekerjaan. Aku menemukan amplop berisi berkas lamaran pekerjaan di dalam tasnya," terang Amanda dengan suara pelan. Rayyanza mengerutkan dahi. "Jadi, selama ini dia tidak bekerja?" Amanda mengangguk. "Sepertinya begitu. Tapi, aku kaget melihat perubahan tubuhnya. Ternyata, dia hamil. Tapi, siapa yang menghamilinya? Setahuku, dia tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki? Tapi, dokter UGD pun mengatakan jika Luna tengah hamil tujuh bulan," bisiknya lagi. Tak ingin perawat yang berjaga tak jauh dari tempatnya be
Read more
Bab. 47
Luna terdiam beberapa saat. Wajahnya menunduk. Ia merasa sangat bersalah pada Amanda. "Maaf, Manda. Aku-," kata-katanya terhenti. "Sudah aku bilang tidak masalah, Luna. Sebutkan berapa nomornya? Atau kamu tetap tidak ingin aku mengetahui nomornya?" ketus Amanda. Luna menggeleng cepat. "Eum ... T-tidak, Manda. Kamu boleh menyimpan nomornya," ucapnya, dengan perasaan bersalah. Dilanjutkan dengan mengeja nomor telepon Nikita yang baru. "Hallo ... Nikita!" sapa Amanda setelah terdengar jawaban. "Kak Manda?!" sahut Nikita di seberang sana. "Darimana Kak Manda tahu nomor teleponku?!" Ia merasa keheranan. "Kamu pasti sedang menunggu kakakmu, kan?" tannya Amanda. "Ya. Betul, Kak. Aku sangat khawatir padanya. Sampai jam segini, Kak Luna belum juga tiba di rumah." Amanda melangkah menjauh dari Luna. Ia berjalan ke luar kamar agar Luna tak menguping pembicaraanya. "Manda ... mau kemana kamu?!" cetus Luna, resah. Ia takut Nikita akan ditanyai berbagai macam pertanyaan oleh Amanda. Amanda
Read more
Bab. 48
"Tidak! Walau bagaimanapun aku harus berkelit, aku harus tetap berbohong, jangan sampai aku menghancurkan rumah tangga Amanda bersama si pria bodoh ini!" Wanita yang mengenakan pakaian khusus pasien itu berdehem pelan. Mencoba berbicara dengan tenang dan meyakinkan. "Apa kamu bilang, ini anakmu?!" Luna mendengus dan tersenyum miring. "Enak saja kamu mengaku ini anakmu. Tentu saja bukan! Ini adalah anak kekasihku yang saat ini bekerja di luar kota!" tegasnya dengan tatapan sinis. Rayyanza merasa kesal mendengar jawaban yang keluar dari mulut Luna. Ia melangkahkan kaki, mendekatkan wajahnya pada Luna, menatap dengan tatapan tajam. "Kamu pikir aku bodoh, Luna! Aku sangat yakin aku lah yang pertama melakukannya, dan jelas-jelas membuangnya di dalam. Aku memang tidak bisa menghamili Amanda karena mungkin ia mempunyai masalah dengan rahimnya. Tapi aku bisa saja menghamilimu!" ujarnya dengan suara setengah berbisik.Pria berparas tampan itu membuang napas kasar. "Lantas apa maksudmu menghi
Read more
Bab. 49
Di dalam ruangan VVIP rumah sakit, Luna terdiam. Ia melirik Rayyanza sekilas. Ayah biologis dari bayi yang dikandungnya itu sudah terlelap di atas sofa. Luna memasang wajah sendu. "Maafkan aku, Manda. Aku berjanji akan menjelaskannya padamu, tapi tidak sekarang." ucapnya dengan suara pelan.Amanda mengangguk. Tak ingin mencecar Luna dengan pertanyaan yang akan memberatkannya. Ia berpikir, mungkin ini adalah hal yang sulit bagi Luna untuk bisa berterus terang padanya. Keesokan harinya, Luna akan di periksa di ruangan khusus. Yang dimana, ruangan tersebut adalah ruangan pemeriksaan untuk ibu hamil. Ia dipindahkan ke kursi roda dibantu oleh perawat pria dan wanita. Perawat pria mendorongnya, dan perawat wanita memegang tiang infus. Luna tampak resah. Pasalnya, Amanda dan juga Rayyanza akan mengikutinya masuk ke ruang pemeriksaan. Setelah Luna hampir sampai di depan ruang pemeriksaan, tiba-tiba ponsel Amanda berbunyi. "Papa?" gumamnya setelah ia melihat nama pada layar ponselnya. Cepa
Read more
Bab. 50
Masih di dalam ruangan khusus pemeriksaan kehamilan, Dokter dan Rayyanza spontan menoleh pada Luna secara cepat. Mereka kaget mendengar perkataan yang keluar dari mulut Luna. "Oh ... maaf, Bu. Saya kira Bapak ini adalah suami Anda," ujar sang dokter. "Tapi sepertinya memang benar, bentuk hidungnya mirip dengannya," tambahnya lagi. "Tidak! Dia adalah suami dari sahabat saya, Dok. Bukan dia ayahnya!" ucap Luna dengan gusar. Dokter tersenyum. "Maaf, Bu. Saya tidak tahu," sesal pria itu. "Sudah cukup pemeriksaan USGnya. Secara keseluruhan kondisi Anda dan bayi Anda baik. Siang ini, Anda sudah boleh pulang," terang dokter. Luna mengangguk. Wajahnya masih terlihat kesal. "Baik, Dok. Terima kasih." Dua perawat yang sebelumnya, kembali mendorong Luna yang duduk di atas kursi roda menuju ruang rawat. "Permisi, Bu. Jikaa butuh bantuan, silahkan tekan bell," ucap perawat wanita dengan ramah. "Baik, Sus." Dua perawat itu kemudian meninggalkan ruangan.Rayyanza melangkah mendekati Luna yang
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status