Bab 23 POV IRFANSuasana di Rumah BersalinKetika taksi online yang ditumpangi Ibu, Dela, dan Fara sudah hilang dari pandanganku, seperti ada sesuatu yang kurang dihatiku . Aku duduk di kursi taman rumah sakit, tubuhku bersandar di bangku berwarna putih. kaki kuluruskan.Hari ini aku betul-betu lelah sekali, hari yang terberat dalam hidupku, bagaimana tidak? Aku harus mengambil keputusan sangat berat, yang seharusnya dilakukan oleh almarhum mas Fadli.Peristiwa yang belum pernah kualami dan kurasakan, mengizinkan Mbak Nung untuk segera di operasi caesar karena ketubannya sudah pecah di luar, kalau tidak segera diambil tindakan akan membahayakan keduanya. Keputusan tadi belum pernah terbayang diotakku, kalau sampai meleset, entah apa yang terjadi.Selain itu aku mempunyai pengalaman mengadzani keponakanku yang sudah yatim, hatiku sempat bergetar karena ingat almarhum Mas Fadli.Almarhum Mas Fadli orang yang sangat spesial bagiku. Setelah ayah meninggal, selain kakak, dia adalah pen
Bab 24 POV IRFANAku tertunduk lesu, usahaku sia-sia. Seharusnya tadi malam gawaiku kuisi baterai sampai penuh, supaya aku bisa mengubunginya, setidaknya aku bisa melihat kode boking tiket kereta api yang aku pesankan, dan berapa nomor kursi sekaligus gerbongnya, sebelum gawaiku off.Seandainya aku bisa menemukan gerbongnya, aku pasti mendatangi, bisa ngobrol, walaupun hanya sebentar. Setidaknya bisa melepas rindu selama tujuh hari ke depan.Kupandangi kereta api jurusan Yogja-Surabaya yang membawa penumpang, salah satunya orang yang sangat berarti bagiku, sampai kereta itu menghilang dari pandanganku. Bersamaan dengan itu juga seakan separo jiwaku hilang.Kembali pandanganku menunduk, kedua tanganku kumasukkan saku celana, langkah kaki yang lunglai terpaksa kuayunkan menuju tempat parkir mobil.Tidak biasanya aku lesu seperti ini, bukan karena kurang tidur, atau belum sarapan, juga bukan belum mandi. Tetapi, ada yang hilang di hatiku.Kuhidupkan mesin mobil, kujalankan pelan-pelan me
Bab 25 POV IRFAN"Ok, terima kasih, ponakan om yang cantik,"Alhamdulillah, bisikku."Fan, ibu belum selesai bicara, lho," Suara ibu terdengar samar.Kuayunkan langkah seribu untuk menemui tamu di depan. Aku bersyukur sekali dengan adanya tamu, untuk sementara waktu aku bisa menghindar dari ibu.Ternyata Yanto yang datang, seperti yang kuharapkan, dia membawa asisten. Kupersilahkan mereka untuk segera menangani mobil yang butuh sentuhannya.Sebenarnya ibu menyuruhku untuk menutup bengkel, supaya aku fokus mengurusi Mbak Nung yang sedang melahirkan, antar ini dan itu untuk keperluannya.Disisi lain banyak pemilik mobil yang minta segera dibetulkan. Aku tidak mau mengecewakan pelanggan, sehingga semua tetap kulayani.Rejeki tidak bisa ditolak, ada saja mobil yang masuk bengkel, dengan kerusakan berbeda. Aku pun menghubungi mitraku yang lain, namanya Supri dan team untuk membantuku segera.Tadi ibu mengabarkan kalau keluarga Mbak Nung akan datang sore nanti. Aku tidak bisa membayangkan ba
Bab 26Kereta api jurusan Surabaya itu terus melaju ke arah timur, Air mataku masih meleleh memikirkan Mas Irfan yang sudah menyempatkan waktunya untuk menemuiku, namun tidak bertemu.Penyesalanku tiada habisnya, seharusnya kiriman chat dari Mas Irfan segera kubuka, supaya tahu kalau yang berdiri di stasiun tadi, yang terlihat sepintas olehku adalah Mas Irfan, bukan orang lain.Tanganku merogoh tisu yang kusimpan di dalam tas, kususuti air mata yang tidak bisa kuhentikan. Jilbabku juga sudah basah bercampur air mata dan ingus. Wajakku kuhadapkan keluar, pura-pura melihat pemandangan sawah, sehingga wanita di sebelahku tidak curiga. Padahal pandanganku kabur, air mataku menganak sungai.Kenapa ponsel Mas Irfan tidak bisa kuhubungi?Sengaja dimatikan karena marah? sebab aku tidak membuka chatnya? Atau memang mati karena baterai habis.Bisa jadi baterainya habis, sebab Mas Irfan sering lupa. Hampir setiap malam aku selalu mengingatkan, bahkan aku yang mencolokannya. Kembali kususuti
Bab 27"Walaikumssalam" balas keduanya, sambil berdiri. Kedua tangan mereka memyambutku, aku langsung menghambur kepelukan bapak dan Ibuk bergantian. Mata bapak kelihat merah, ibuk juga berkaca-kaca. Air mataku sudah menganak sungai.Kami semua kangen. Kelihatan dari pelukan mereka kalau kedatanganku sangat ditunggu. Kucium punggung tangannya satu persatu. Walaupun senyumannya mengembang, sorot mata mereka seperti mencari sesuatu ketika mas sopir pamit, setelah menurunkan barang bawaanku."Alhamdulillah, kamu bisa pulang," ucap mereka setelah kami saling berpelukan. Ibu menciumi seakan melampiaskan rasa rindunya yang selama ini ditahan."Kamu sendirian, Nduk," tanya bapak, masih celingukan setelah mobil carteran itu menghilang dari pandangan"Tumben, Nduk. Kemana suamimu?" lanjut ibu cemas.Aku menghabiskan minuman yang disodorkan ibu, lalu gelas yang sudah kosong kutaruh di atas meja."Oh, ya. Mas Irfan titip sungkem untuk bapak dan ibu. Gak bisa ngantar Dela pulang, karena mene
Bab 28"Yang." Terdengar suara Mas Irfan setelah kugeser tombolnya. Terlihat wajahnya yang hitam manis dengan senyum sumringah."Astaghfirullah aladzin!" teriakku kaget. Jantungku hampir copot melihat dilayar ada Mas Irfan. Aku mengucek kedua mataku. Ini mimpi, apa nyata, ya?"Tanteeee!" teriak bocil berambut kriwil yang membuatku sadar kalau ini bukan khayalanku, ini memang wajah Mas Irfan.Aku mengatur nafasku yang sempat berpacu dengan cepat. Bangun tidur tiba-tiba bisa melihat wajah suamiku dilayar pipih itu."Tante, dimanaaa," tanya balita cantik itu, dengan teriakan panjang."Tante di tempat Nenek Sragen," jawabku setelah bocil agak tenang. Setelahnya balita kriwil itu pergi, dia sempat melambaikan tangan."Yang, apa Sayang lihat setan? kok beristighfar? Lagian wajahnya pucat kaya gitu," Mas Irfan menatapku penuh seksama.Aku tersenyum malu, pasti wajahku acak-acakan. Kutarik kerudung warna biru yang menggantung didekat kursi, langsung kupakai."Udah gitu aja, cuma Mas, kok yang
Bab 29Kulihat, ternyata dari Diana. Aku berharap pesan dari Mas Irfan untuk meminta maaf atas nama ibunya yang sudah keterlaluan terhadapku. Berkata kasar dan tidak punya perasaan.Segera kugeser layar ponsel, lalu ku tekan atas nama Diana. Siapa tahu ada berita penting.[Sudah isi link, belum? Besok terakhir, Del] pesan dari sahabat yang peduli denganku.[Alhamdulillah, sudah, Di. Barusan] balasku.[Syukurlah, Ya udah kalau gitu] tulisnya lagi.[Cuma nanya gitu doang?] balasku kesal. Aku ingin komunikasi lebih, sepertinya dia lagi sibuk bersama sang buah hati.Terbukti, pesan terakhirku masih centang satu. Aku maklum dengan kesibukannya, lumayan dia masih mau mengingatkanku.Kuletakkan ponsel begitu saja, hatiku masih pilu mengenang kelakuan ibu mertua terhadapku. Kuambil lagi ponsel, kugeser mencari nama Mas Irfan, tiba-tiba aku resah, kemudian kuletakkan lagi.Aku ingin sekali menghubungi, tetapi aku trauma, takut kalau ibu mertua yang menerima teleponku., Dikira aku wanita gata
Bab 30 Sebelum ibu menutup pintu meninggalkanku, aku meminta untuk memgantarkan ke kamar mandi, aku tidak kuat pergi sendiri. Selain kepalaku pusing, mata berkunang-kunang, perut juga mual. Ibu menuntunku. Sesampainya di kamar mandi, semua isi perutku keluar tanpa terkecuali. Dengan sabar ibu menunggu sampai selesai, takut kalau aku jatuh, katanya "Terima kasih, Bu." Mataku mengembun. Kasih sayangnya tidak berkurang walaupun aku sudah menjadi istri orang. Lebih-lebih kalau aku pulàng ke Sragen, apalagi kalau sedang sakit seperti ini.Bahkan kadang diperlakukan seperti masih anak-anak. Makan ditungguin, tidur ditemani, mau apa saja diambilkan, diantar kemana-mana. Kalau pergi tidak segera pulang, perasaan mereka was-was.Beda rasanya kasih sayang Ibu kandung dengan ibu mertua. Ibu mertuaku sama sekalai tidak ada rasa sayangnya. Namun, sebaliknya aku menganggap ibu mertua juga seperti ibu kandungku sendiri, kuhormati dan kusayangi."Gak main-main, ini sakitmu. Nduk!" Kata Ibu cema