Lelaaah..! Lelah lahir dan batin. Itu yang Nisa rasakan. Tapi ia kembali dipusingkan dengan adat betawi ini. Ada yang namanya Niga hari, atau selamatan hari ke tiga. Jadi pengantin perempuan diantar ke rumah keluarga suaminya oleh keluarga dan kerabatnya. Mereka membawa masakan beraneka rupa untuk keluarga suami. Banyaknyal juga tidak tanggung - tanggung. 1 baskom besar untuk setiap macam masakan. Keluarga Iman kembali berkumpul untuk menyambut mereka. "Semua yang mereka bawa itu harus ditaksir harganya, lalu Kita bayar." terang Hasby. "Bayar?" Iman tercengang. Ia sama sekali tidak mengerti itu. "Iya. Memang begitu." tandas Yanah. Ia mulai menaksir - naksir berapa yang harus mereka bayar. Nisa sendiri masak - masak juga untuk menyambut keluarga besannya ini. Bayangkan bagaimana repotnya. Ia tidak memberitahu mama Wida karena takut merepotkannya. "Acaranya sebenarnya sama dengan adat Kita. Tapi keluaga Mama sudah lama tidak memakainya karena terlalu merepotkan." begitu Mama Wid
Senyum Iman berasal dari satu sisi dari hatinya. Sisi yang lain menjerit menyalahkannya. 'Kalau malu, kenapa Kamu nggak nambahin uangnya, Man? Nggak bisa, 'kan? Kamu cuma bisanya menekan Nisa!' sisi hati yang itu, Iman mengakui kesalahannya. Hati Iman seperti terbagi 2. Tapi tidak sama besar. Sisi yang kecil dikalahkan oleh sisi yang besar, yaitu keegoisan dan masukan dari saudara - saudaranya. 'Aku nggak suka kalau Nisa tidak bergantung padaku!''Tapi kenapa Kamu malah membiarkan Nisa sendirian mengatasi semua ini?''Biar Nisa merasakan sendiri kesulitannya tanpa Aku! Jangan cuma bisa menyalahkan terus!''Iman, Nisa itu istrimu! Kamu nggak ingin Dia bahagia?''Nisa terlalu sok! Aku ini seperti bukan siapa - siapa! Aku tidak bisa apa - apa! 'Kenyataannya begitu, 'kan? Kamu selalu lari dari tanggung jawab.''Aku tidak bermaksud begitu!''Nisa sangat mencintaimu. Apakah Kamu tidak mencintainya?''Aku..'"Aaahh!" Iman berteriak tertahan saat sisi egonya mengakui kebenaran lawannya.
"Mah, si Raja mau beli mobil Kita. Temennya, sih." Iman menghubungi Nisa melalui hpnya. Saat ini Dia sedang berada di rumah Anto. "Raja mana?""Raja mana lagi, sih? Raja kakaknya si Samsul, lah.""Oh. Alhamdulillah." desah Nisa di depan Hpnya."Mamah siap - siap, ya?""Siap - siap?" Nisa jadi terheran - heran. "Siapin BPKB Dan STNK nya.""Oh, iya." itu 'kan sudah disiapkan sejak ada rencana menjual mobilnya."Mamah juga siap - siap. Temenin Raja Ke tempat temennya Itu." ucap Iman lagi. Nisa tentu saja terkejut."Raja lagi meluncur ke rumah, Mah. Dia udah tau kok Mamah yang mau nemenin Dia.""Kok Mamah? Papah aja, dong. Masa' Mamah berduaan sama Bang Raja?" protes Nisa langsung. Apalagi ia tahu Iman sedang berada di rumah Anto. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke rumah."Papah veteran pulang sekarang, jadi bisa nemenin Bang Raja." titah Nisa. "Papah nggak bisa pulang, Mah. Raja mau nyamper sebentar lagi. Begitu lihat mobilnya, orangnya pasti langsung bayar.""Tapi, Pah
Menunggu memang menyebalkan, apalagi mereka hampir satu jam menunggu di dalam mobil."Udah lama - lama nunggu, taunya nggak jadi." omel Doni. Kini ia berbaring. Kepalanya berada di atas pangkuan Nisa. "Insyaa Allah jadi." ucap Nisa optimis. Nisa meminta Doni untuk duduk."Ayok Kita ambil foto di dalam mobil ini untuk yang terakhir.""Mamah udah yakin aja."Nisa tertawa. Ia memaksa Doni untuk bangun. Doni menurut. Mereka berselfi ria untuk menghilangkan rasa jenuh untuk penantian yang terasa panjang ini. "Nisa, ini orangnya sudah datang." Raja membuka pintu mobil. Ada laki - laki seumuran Raja masuk dan duduk di tempat kemudi setelah mengulurkan tangannya pada Nisa untuk mengajak bersalaman."ibu Nisa, maaf sudah lama menunggu." Ia terlihat mengecek keadaan di sekitar kemudi. "Nggak papa, Pak." jawab Nisa sopan."Ibu pernah masukkin iklan menjual mobil ini di *LX, ya? Sepertinya Saya pernah lihat. Betul, Nggak?" Tanyanya seraya terus memeriksa keadaan mobil di area sekitar kemud
Iman bergegas keluar. Ia ingin membeli makan untuk dirinya sendiri saat tiba - tiba Yanah memanggilnya. "Iman! Mau kemana?""Mau beli makan, Teh!" Yanah melengak. "Sini dulu!" Iman memutar balik arah motornya."Mau beli makan buat siapa?""Buat Aku, lah.""Emang si Nisa nggak masak?""Nggak sempet, kali! Udah keburu pergi." Iman memutar arah motornya lagi. "Et dah! Mau kemana, sih pengen buru - buru pergi bae?""Kan mau beli makan, Iman lapar, Teh!""Ngapain beli? Udah! Makan di sini aja!" titah Yanah tanpa ingin di bantah. Iman menurut saat lengannya ditarik oleh kakak perempuan satu - satunya itu.Yanah membawa Iman ke meja makan. "Makan. Tuh, ada pindang bandeng kesukaanmu!" mata Iman membelalak senang. Ia langsung menuang nasi di atas piringnya dan makan dengan lahap. Yanah iba melihat cara Iman makan yang seperti orang kelaparan. Apa Nisa tidak mengurusnya dengan baik? Lagi - lagi Ia menyalahkan Nisa. Yanah duduk di sebelah Iman."Memang Nisa kemana, Man?" Ia melihat Nisa
Para pahlawan renovasi akhirnya datang pada pagi hari. Batu kali dan yang lainnya juga sudah datang pada malam harinya."Saya Oseng, Pak, Bu." orang yang seperti mandornya itu mengenalkan diri. Nisa menahan senyumnya. "Namanya lucu. Kenapa nggak 'tumisan' sekalian?'"Kopi, Mah!" tegur Iman melihat Nisa tersenyum - senyum sendiri."Mbaaak!" alih - alih mengerjakan perintah suaminya, Nisa malah berteriak memanggil art nya.Si Mbak muncul dengan sapu di tangannya. Ia juga baru datang. Si Mbak ini juga membantu menjaga warung saat malam hari, dibantu oleh anak tetangga sini yang membutuhkan uang untuk biaya sekolahnya. Ia sudah tidak punya Ayah. Ayahnya sudah lama meninggal dan ibunya menikah lagi. Ayah tirinya justru menyuruhnya berhenti sekolah karena ia enggan mencukupi kebutuhan sekolah anak tirinya itu.Anet, anak ini cerdas dan selalu menjadi juara kelas. Makanya sang Ibu meminta Nisa menerima Anet untuk bekerja padanya. "Kasihan, Bu. Dia ingin terus sekolah." Nisa tentu saja me
Nisa tersadar saat melihat 3 karyawan Iman seperti sedang menunggu sesuatu. Nisa bergegas ke dalam rumah. Ia lupa belum memberikan upah untuk mereka. "Mau kemana, Mah? Buru - buru amat." tegur Iman heran. "Itu, upah buat mereka belum." tunjuk Nisa pada Juned dan kawan - kawan yang langsung melebarkan senyumnya mendengar ucapan Nisa. "Ibu Bos memang pengertian." ucap Juned dengan maksud menyindir Iman. "Apaan! Mereka kalau udah seminggu aja, Mah! Sekalian!" ucapan Iman menhapus senyum yang sedang merekah di bibir mereka. "Tapi, Pah..""Nanti aja!" Iman bersikeras dengan ucapannya. "Tapi Kita libur besok nggak bisa jalan dong, Bos.." rayu Firman. "Pakai buat istirahat, dong! Jangan malah kelayapan!" bentak Iman. Ia menatap anak buahnya satu persatu. Mereka menunduk untuk menyembunyikan kekesalan mereka. "Ngapain lagi? Pulang sana!" gertakan Iman membuat mereka lari terbirit - birit. "Bos tega banget, sih!" keluh Juned saat mereka sudah tak terlihat lagi oleh Iman. "Iya. Seka
Iman merasa sudah sekuat mungkin berteriak. Tapi bang Edi masih juga tidak dapat mendengarnya. "Dasar budek!" gerutunya kesal. "Kamu ngatain Aku budek?" teriak Edi seraya menepuk helm yang Iman kenakan. 'Busyet, dah! Giliran ngomong begitu malah kedengeran." dumel Iman. Edi mendekatkan kepalanya. "Kamu ngomong apa?""Besok Kita mancing lagi, ya!" Edi terlihat senang. "Sip!" ia menunjukkan jempolnya. Mereka ini pemancing mania, tapi Edi tidak mau mengeluarkan uang untuk jajan mereka. Sementara Iman sangat royal dalam keadaan seperti ini dan Edi mengerti itu. Edi mengandalkan Iman untuk jajan, makan dan minum."Aku balik!" Edi menenteng korang ikan yang hanya beisi 2 ekor itu. Sebelum melangkah pulang ia tersenyum - lebih tepatnya - menyeringai pada Nisa. Nisa membalas dengan senyumnya. "Kok sudah pulang, Pah?" Nisa heran melihat Iman sudah pulang. Padahal biasanya menjelang maghrib ia baru menunjukkan batang hidungnya."Ikannya mana? Nisa merasa lebih heran lagi. Iman tidak perna