Nisa tersenyum. Ia merasa sangat senang tapi ia harus lebih memastikan lagi."Tapi jangan yang genit ya, Na. Nggak boleh pakai baju terbuka. Nggak boleh pakai celana pendek..""Emang Aku nyari jablay?" potong Ina. Nisa mengangkat alisnya. "Bukan, ya?" mereka kembali tertawa."Aku pasti kangen sama Kamu.""Jangan lebay, ah. Kayak jarak Kita ratusan kilometer aja. Rumah Kita cuma ratusan meter! Masih bisa jalan!""Ah, Kamu Na! Nggak tau Orang lagi melow." Nisa menyeka airmatanya dengan ujung lengan dasternya. Bagaimanapun Ia akan sangat kehilangan Ina. Ina menepati janjinya. Ia mencari pengganti dirinya dan membawanya ke warung Nisa untuk dapat langsung bekerja. Tapi..Waktu yang datang adalah gadis bohay dengan memakai celana jeans yang robek di sana sini, bahkan menyembulkan kulit pahanya yang putih, Nisa langsung menolaknya dan menyuruhnya pulang. Sedang Anet tidak dapat menahan mulutnya untuk tidak terbuka. Ia bingung. Darimana Ina membawa gadis itu? Ia cantik tapi terlihat dekil
"APA?!" serempak Ina dan Nisa berteriak. Mereka langsung bergidig ngeri. Apalagi Ina. Ia tinggal satu rumah dengan pembunuh? Dan di rumah Nisa sedang sendirian. Baru saja Iman pergi ke rumah Anto. "Barangkali ada kerjaan yang ada duitnya." begitu kata Iman tadi.Mereka menatap Rima dengan netra terbuka sebesar - besarnya. Rima tersadar telah membuat mereka takut. "Dalam pikiran Saya, Bu. Saya tidak ingin melihatnya lagi." "Ooh, syukurlah." mereka menghela nafas lega.Bugh!Ina menonjok bahu Rima. "Ngagetin aja!" omelnya. Nisa juga mengelus dadanya."Jadi bagaimana? Kamu siap kerja nanti malam?""Siap, Bu."Ina tersenyum."Mudah - mudahan Dia nggak ngecewain Kamu, Nisa.""Ya. Tapi Kamu juga tolong masuk dulu untuk ngajarin Dia, ya?""Kan ada Anet.""Yailah, segitunya. Udah nggak mau ke warung lagi ceritanya?" Nisa berlagak cemberut."Iya - iya! Sensi amat, sih?" Ina menoyor kepala Nisa. Rima memperhatikan semua itu dengan keheranan yang tidak dapat disembunyikannya. 'Mereka ak
"Cantik sekali." "Makasih.""Maksudku, bajunya yang cantik." Nisa tertawa. Ia senang Ina langsung mengenakan blouse darinya. "Ngeledek terus." Ina memonyongkan mulutnya. "Aku pulang, nih.""Iih, ngambekkan." Nisa mengalihkan perhatiannya pada Anet dan Rima yang diam - diaman padahal mereka saling berhadapan. Iman melewati warung untuk menuju papan. Sekilas ia melihat Rima dan Anet. Mereka benar - benar seperti seumuran."Pah, sini dulu." Nisa menarik tangan Iman. "Ini Rima." Nisa mengenalkan Rima pada suaminya. Iman hanya mengangguk sebelum melanjutkan langkahnya. Nisa kembali melihat Rima dan Anet. Mereka terlihat canggung. Tidak ada yang berani untuk mulai menyapa lebih dulu."Kok pada diam, sih? Kenalan, dong?!" Ina mendorong Rima. "Rima.""Anet." mereka saling melempar senyum. Di mata Anet Rima sekarang terlihat jauh lebih bersih. Bahkan rambutnya dipotong pendek. Ia jadi seperti anak laki - laki. Anak laki - laki yang cantik. "Kamu ajarin Dia ya, Net?" Anet mengangguk."Sa
Kembali dulu pada keadaan sekarang, ya? saat Nisa dan Iman sudah kehilangan pemancingannya dan menjadi terpuruk seperti sekarang ini. "Sari sakit." Yanti memberi kabar buruk. Ia baru pulang mengantarnya berobat."Ada benjolan di payudaranya." Nisa terkejut. Benjolan? Kanker? Bayangan mengerikan berkelebat di kepala Nisa. "Sudah berobat, Teh?" Yanti mengangguk."Udah. Tadi Aku ikut nganterin berobat sama Teh Yanah. Katanya tumor. Nggak tau ganas atau ji.." tanpa bicara lagi Nisa berlari ke rumah Sari. "Et! Kenapa, sih? Main pergi - pergi aja!" gerutu Yanti. Ia bangun dan ikut berjalan keluar. Ia tahu Nisa pasti pergi ke rumah Sari, rumah petak paling ujung di seberang empang Nisa dan Iman. Nisa masuk setelah mengucapkan salam. Sari sedang berbaring di sofa. Ada Yanah juga di sana. "Teteh bagaimana?" tanya Nisa. "Teteh nggak papa, Nisa.""Bohong!" sela Yanah kesal. "Dia itu harus dioperasi! Biar tau tumornya ganas apa enggak! Malah nggak mau!" ketus Yanah lagi. "Teteh kenapa
Tahun berlalu tanpa terasa dengan keadaan yang semakin tidak stabil. Pemancing mulai bosan dengan pemancingan mereka atau bagaimana? "Malam ini yang datang hanya 14 orang." keluh Iman. "Tapi malam kemarinnya 20 orang lebih, Pah." Iman mengangguk. Ia terlihat letih, lesu, lemah dan lelah. Padahal bukan karena kurang darah, tapi lebih karena frustasi. "Kenapa nggak begitu terus?" keluhnya lagi. "Nggak papa, Pah. Emang rezekinya cuma segitu." "Tapi lama - lama bisa habis, Mah. Papah nggak ngerti kenapa pemancingan sana itu bisa selalu ramai. Lampaknya selalu penuh." pemancingan sana yang dimaksud Iman tentu saja pemancingan si Mas."Papah tau sendiri mereka pakai apa.""Karena itu, Mah. Kita bisa habis sama mereka. Kita juga harus begitu." Nisa menggeleng - gelengkan kepalanya. "Nggak juga, Pah. Kita punya backingan yang lebih kuat." Nisa menunjuk ke atas. Iman menghembuskan nafas kasar. Ia mulai tidak yakin. Kenapa Allah membiarkan mereka seperti sekarang ini? Kemana masa - masa
Begitu juga Eman. Wajah baby face nya membuat ia selalu terlihat muda. Dan yang jelas, mereka sangat suka mencandai Iman."Ini buat Abang dan Kang Mas. Ini buat Bapak." Anto dan Eman tertawa karena Anet menyambut kelakar mereka."Kesannya jadi Aku yang paling tua!" sungut Iman seraya mengambil mie nya. Anto dan Eman juga mengambil mie mereka masing - masing. "Emang Kamu paling tua, Man!" cengir Anto. Iman membelalakkan netranya. Apa nggak salah? "Muka Kamu sering ditekuk gitu, jadi lecek, butek,.." "Makanya mukanya jangan ditekuk mulu, jadi boros 'kan?" tambah Eman. "Boros apanya?" Iman mendesis karena menyuap mie yang masih panas. "Muka Kamu, boros!" Anto dan Eman tertawa. "Sialan!" tapi Iman ikut tertawa saat mengatakannya. Sahabat - sahabatnya ini bisa lebih parah lagi mengatainya. "Anet, mana minumnya? Makan kok nggak dikasih minum, sih? Kang Mas seret, nih!""Kang Mas kepalamu!" Iman menjebik. Bibirnya jadi seperti Donald bebek yang tukang ngomel itu. "Minumnya apa?" tany
Hujan seharian membuat air sungai di samping rumah mereka meluap. "Anet, tagih para pemancing itu sekarang." Anet segera melaksanakan perintah Nisa padahal lomba baru setengah jalan pada season 2 ini. "Rima, angkatin gelas - gelas. Yang sempet di cuci ya di cuci. Kalau nggak, tumpukkin aja di sana." titah Nisa menunjuk bak westafel.Anet dan Rima bergerak cepat. Nisa menerima uang yang diberikan Anet dan catatannya ia letakkan di atas etalase rokok."Kalian cepat pulang, sebelum air semakin tinggi." titah Nisa lagi. "Iya, Bu." sebelum pulang Anet mengambil beberapa photo dengan kamera hpnya."Tanggul Cibeureum jebol!"Air melimpah naik saat lomba masih berlangsung. Lomba berhenti dengan sendirinya. Banyak yang langsung pulang tanpa banyak bicara. Ada yang sempat berpamitan tapi terkesan tergesa - gesa."Istri lagi sendirian, Bos!""Mau Kamu kekepin?""Bukan. Takut banjir!"Pemancing banyak yang terjebak karena mereka menunggu hujan reda sementara hujan bukannya berhenti justru t
"Doni makan dulu aja, ah" Doni langsung duduk di dekat kaki Nisa seraya meraih nasi goreng itu."Baju Kamu basah, Don. Ganti dulu sana!""Tapi Doni lapar, Mah." "Mana enak makan pakai baju basah?" komentar Deni. "Enak aja, lah!" Doni cuek dan langsung menyuap nasinya. Yang lainnya pergi ke dalam untuk berganti pakaian. "Habis semua, Mah." keluh Iman saat ia kembali ke tempat Nisa duduk. Kaosnya kering, sekering hatinya. "7 ton ikan nggak bersisa sama sekali.""Lalu bagaimana?" Nisa nyaris menangis. Itu juga menjadi pertanyaan Iman. Bagaimana? Bagaimana cara mereka menghidupkan lagi pemancingan ini? Pemancingan yang menjadi tempat bergantung mereka. Mereka menatap empang mereka yang tertutup air sejauh mata memandang. Tembok - tembok lampak sama sekali tidak terlihat padahal saat renovasi pada banjir pertama sekian tahun yang lalu mereka sudah merancangnya sedemikian rupa. Mereka membuat tembok yang lebih tinggi."Kalau banjir lagi, tinggal di tarik jaring dari sana ke sini. Ikan