”Terima kasih banyak, Opa,” tutur Almeera dengan tulus. Baginya, Tuan Barata adalah sosok kakek yang penuh pengertian dan selalu siap untuk melindunginya. “Sekarang, cepat susul Kaisar ke kamar. Jangan membuat dia menunggumu terlalu lama,” ucap Tuan Barata menyunggingkan senyum. Almeera mengangguk kecil seraya meremas jarinya sendiri. Hampir saja ia kelepasan bicara bahwa Kaisar tidak akan sudi menunggunya. Sebaliknya, pria itu mungkin akan menendangnya keluar dari kamar pengantin. Namun, Almeera menahan diri untuk tidak mengatakan kebenaran itu kepada Tuan Barata. Pada akhirnya, Almeera beranjak dari kursi. Tak ada pilihan lain, ia memang harus masuk ke kamar pengantin karena tidak ada tempat lain yang bisa menampungnya. Gadis itu pun meninggalkan ruang makan dan berjalan pelan menuju tangga. Gerakannya menjadi lambat akibat makan secara berlebihan, bahkan perutnya serasa akan meledak saat ini. Ketika sampai di lantai dua, pintu kamar pengantin tertutup rapat. Almeera merasa ragu
Mendengar suara bariton milik Kaisar, Almeera berjengit kaget. Ia tidak menyangka orang yang sedang ada di pikirannya tiba-tiba muncul di belakangnya. Saking paniknya, gadis itu pun memundurkan tubuh hingga membentur dada bidang Kaisar. Almeera langsung memejamkan mata saat merasakan napas hangat Kaisar menerpa tengkuknya. Namun sebelum ia sempat menyingkir, Kaisar sudah menaikkan tangan ke atas. Hanya dalam hitungan detik, pria bertubuh jangkung itu mampu meraih dua botol sekaligus dari rak. “Ck, begini saja tidak bisa. Percuma aku mengutus gadis pendek sepertimu,” ejek Kaisar.Sesudah mendapatkan apa yang dia inginkan, Kaisar bergerak menjauh dari Almeera. Sementara, Almeera masih berusaha menetralkan detak jantungnya. Entah mengapa ia selalu saja menabrak Kaisar di waktu dan tempat yang salah. “Sampai kapan kamu mau berada di situ, Mata Empat?” tegur Kaisar.“I-iya, Tuan,” jawab Almeera tersadar.Gadis itu segera mengikuti Kaisar menapaki anak tangga. Setibanya di kamar, Kaisar
Kaisar membasuh wajahnya dengan air berulang kali. Rasa penyesalan kembali bergelayut di hatinya setiap kali mengingat peritiwa itu. Bagaimana tidak. Secara tidak langsung, dia adalah penyebab Karenina mengalami koma. Seharusnya, ia mencari bukti-bukti lebih dulu daripada melakukan tindakan yang gegabah. Ditambah lagi, sang ibu tiri selalu membela Karenina dan Jerico. Hana mengatakan bahwa berpelukan dan berciuman adalah hal yang lumrah bagi sang keponakan, sebab Karenina tumbuh besar di luar negri.Berusaha menghapus kenangan pahit itu, Kaisar menarik napas panjang. Setelah menenangkan diri beberapa saat, lelaki itu pun kembali ke kamar. Ketika melewati sofa, Kaisar melihat Almeera sudah berbaring dengan posisi miring. Mengingat malam semakin larut, pria itu lantas naik ke atas ranjang dan mematikan lampu. Namun, ia terkejut karena Almeera tiba-tiba membuka suara. “Tuan, tolong jangan matikan lampunya.”“Kenapa?” tanya Kaisar heran.“Saya … takut gelap, Tuan,” jawab Almeera jujur.
Melihat Almeera masih termenung, Tuan Barata lantas menyuruh sang asisten untuk mengantar gadis itu. “Hamdan, bawakan koper-koper ini, dan antarkan Almeera ke mobil,” titah Tuan Barata kepada sang asisten.“Baik, Tuan Besar.”Sebelum mengikuti langkah Hamdan, Almeera menghampiri Tuan Barata untuk berpamitan. “Opa, saya berangkat dulu. Jangan lupa menjaga kesehatan,” pesan Almeera. “Pasti, Almeera. Opa akan bertahan sampai anakmu dan Kaisar lahir ke dunia. Semoga bulan madu kalian bisa mewujudkan harapan Opa.”Almeera mengangguk kecil sambil mencium punggung tangan pria tua itu. Memang ia ingin memenuhi permintaan Tuan Barata dengan melahirkan seorang bayi. Namun bukan lewat acara bulan madu, melainkan dengan inseminasi buatan yang sudah mereka sepakati. Dengan diantar oleh Hamdan, Almeera menuju ke mobil pribadi Kaisar. Lelaki paruh baya itu memasukkan koper ke bagasi, sementara seorang sopir berseragam hitam membukakan pintu untuk Almeera. Gadis itu memilih duduk di dekat jendela,
Sesudah mengakhiri panggilan telepon dengan Akbar, Kaisar bermaksud menghubungi Jerico. Namun, mendadak ada semacam gelombang emosi yang menahannya. Jujur, setiap kali mengingat perbuatan Jerico dan Karenina darahnya seakan berhenti mengalir. Entah mengapa gambaran peristiwa itu begitu jelas, seolah-olah baru terjadi kemarin.Perasaan dikhianati oleh dua orang yang paling dekat dengannya, bagaikan mimpi buruk yang sulit untuk dihindari. Namun, ia tidak boleh mementingkan perasaan di atas logika. Justru, ia harus memberikan ganjaran yang setimpal kepada orang-orang yang telah menusuknya dari belakang. Dengan satu tarikan napas panjang, Kaisar lantas menekan nomor ponsel Jerico. Tak butuh waktu lama, panggilannya pun tersambung. Sebelum ia angkat bicara, Jerico menyapa terlebih dulu dari balik telepon.“Kaisar, apa kabar? Aku tidak menyangka CEO yang sibuk sepertimu bersedia meluangkan waktu untukku,” kata Jerico. Pria itu bersikap seakan-akan tidak memiliki dosa sama sekali. “Kabarku
Percakapan antara Kaisar dan Almeera terhenti, karena Pak Udin sudah kembali dari dapur bersama sang istri. Sama halnya dengan Pak Udin, perempuan paruh baya itu menatap Almeera dengan ekspresi penuh tanya. Jelas terlihat, bahwa ia sangat penasaran dengan sosok gadis berkacamata ini. “Ini Almeera, istri kedua saya,” jelas Kaisar. Ia tidak ingin Pak Udin dan istrinya salah paham mengenai keberadaan Almeera di vila. Sontak, Pak Udin dan istrinya mengangguk bersamaan. Bagi mereka tidaklah mengherankan jika seorang tuan muda seperti Kaisar memiliki istri lebih dari satu. Hanya saja, yang membuat mereka tidak habis pikir mengapa Kaisar memilih seorang gadis yang penampilannya tidak menarik. Berbeda jauh dengan istri pertama Kaisar yang berparas cantik dan berpenampilan anggun. “Selamat sore, Nyonya Muda. Perkenalkan, saya Bi Ningrum. Mari kita ke ruang makan,” ajak istri dari Pak Udin tersebut. Almeera menjawab dengan anggukan kecil, lalu mengikuti langkah Bi Ningrum ke bagian belakang
Sesudah Bi Ningrum tak terlihat lagi, Almeera memilih duduk di tepi danau. Ia meletakkan payung dan senter yang dipinjamkan Bi Ningrum di sampingnya. Kemudian, gadis itu mengarahkan tatapan ke air danau yang berwarna keperakan. Entah mengapa ia tertarik untuk merasakan kesegarannya. Tak peduli hawa dingin yang masih mendera, Almeera nekat membuka sepatu. Mencoba mencelupkan kakinya satu per satu ke dalam air. Dalam hitungan detik, Almeera merasakan dinginnya air yang menjalar dari telapak kaki hingga ke tungkai. Tubuhnya sedikit merinding, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk bersentuhan langsung dengan air. Berendam di danau, Almeera merasakan kelegaan yang luar biasa. Seperti seorang anak kecil, ia menggerakkan kakinya ke atas dan ke bawah secara bergantian. Menimbulkan bunyi kecipak, hingga tercipta pusaran gelombang air yang tak beraturan. Melihat ulahnya, Almeera menyunggingkan senyum kecil. Hanya di danau ini, ia merasa bebas untuk menjadi diri sendiri. Meraih setit
Dengan berpegangan pada lengan Kaisar, Almeera akhirnya sampai juga di vila. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Bi Ningrum dan Pak Udin. Pasangan paruh baya itu nampak khawatir tatkala melihat kondisi kedua majikannya. Almeera berjalan dengan terpincang-pincang, sedangkan telapak tangan Kaisar sepertinya terluka parah. Terbukti, tangan pria itu sudah dipenuhi oleh cairan berwarna merah. “Tuan Muda, kenapa tangan Anda sampai berdarah seperti ini?” tanya Pak Udin sembari mengambil alih payung yang dibawa Kaisar. “Tangan saya tergores ranting pohon yang patah,” jawab Kaisar.“Kalau Nyonya kenapa?” tanya Bi Ningrum tak kalah cemas. Ia memapah Almeera untuk duduk di sofa ruang tamu.“Saya tersandung di hutan, Bi.”Mengetahui apa yang terjadi, Pak Udin dan Bi Ningrum langsung berbagi tugas. Pak Udin berlari ke kamarnya untuk mengambil kotak P3, sementara Bi Ningrum berjalan ke dapur untuk mengambil handuk bersih dan air hangat.“Tuan Muda, saya bersihkan dulu lukanya,” ujar Pak Udin