“Pulang sana, atau lo ingin bantal ini berpindah ke muka lo.” Burhan mengangkat bantal sofa ke udara siap untuk menimpuk Ferdi.“Ya, Allah. Untung lo usir. Emak gue sakit dirumah. Malah enak-enakan duduk disini. Ya udah gue balik dulu.” Ferdi buru-buru berjalan menuju parkiran tempat kendaraan roda empat kesayangannya. Walaupun tidak mewah, namun dia puas. Dibeli secara cash dari jerih keringatnya sendiri.[Coba Lo pikir, dapat istri sebaik itu. Laki-laki manapun akan luluh. Ya, itupun kalau Lo beneran laki.]Ucapan Ferdi terus terngiang di telinga Burhan. Sangat-sangat mengganggu dan meresahkanApa benar seiring berjalannya waktu sosok Bella, wanita yang terpaksa dinikahinya akan bersanding dengan Nana dihati.Dia menatap pintu kamar yang tertutup rapat mencari alasan untuk tidak akan menaruh hati pada si penghuninya.“Dik, pulanglah. Abang kangen. Abang ingin mendengar suaramu dan melihat senyummu. Apa kau tidak rindu pada suamimu yang ganteng. Limited edition,” lirih Burhan yang
Nana kian terisak, andai waktu bisa diputar ulang ingin di perbaiki semuanya. Ambisi yang telah mengacau rumah tangga yang selama ini bahagia.“INGAT YA!!! Sekali lagi aku ingatkan jangan kau salahkan gadis itu atau Burhan. Ini mutlak kesalahanmu. Berhenti menangis, cukup renungi dan pulanglah,” berang Nyonya pemilik travel umroh dan haji itu.“Aku usahakan,” gumam Nana dalam tangisnya.“Na, berhentilah menangis. Sudah cukup selama ini kamu habiskan air matamu. Saatnya untuk bangkit.” Zoya mengguncang bahu wanita yang tengah meratapi nasibnya. Amarahnya mereda melihat betapa terpukulnya Nana.Nana memang salah namun, dia dapat merasakan yang dirasakan Nana saat ini.“Baiklah.” Nana mengusap wajahnya kasar membenarkan perkataan wanita yang dilanda amarah, kesal akan keputusannya.“Maaf aku terlalu memaksa, tapi kamu tidak bisa begini terus menerus. Aku juga tidak bisa membiarkan kamu dalam keterpurukan.” Zoya kian melunak.“Aku tidak marah dan tidak perlu meminta maaf. Kamu emang benar
Bella menginjak jari-jari kaki Burhan saking kesalnya dikatakan kurang satu meter. Sehingga Burhan berteriak kesakitan dan berjinjit menuju sofa.“Itu upah untuk orang yang sudah meremehkan wanita. Selama ini aku sabar tapi abang semakin keterlaluan,” ujar Bella menyilangkan tangan di dada.“Kau membuatku tidak bisa keluar malam ini,” tunjuk Burhan.“Rasain,” jawab Bella singkat.Burhan mengurung niat untuk duduk. Berbalik mendekati Bella, tangannya terangkat di udara siap untuk memberi peringatan pada gadis yang mulai berani bermain-main dengannya.Tangannya melayang begitu saja di udara yang nyaris mengenai wajah gadis yang seketika memejamkan mata sepertinya dia sudah pasrah.Sepersekian detik perlahan gadis itu membuka mata perlahan. Memastikan apa yang terjadi pada laki-laki yang ingin melayangkan tangan pada dirinya. Dipadatinya laki-laki itu terdiam mematung tangan yang terangkat telah berada dalam saku celananya.“Tampar, sini tampar aku!! Supaya abang puas. Meski ini menjadi
Langkahnya melambat rupanya Bella yang membuka pintu. Kini tengah memapah tubuh kekar Burhan lalu dilempar kasar ke sofa.“Huuufff, berat sekali, makan apa dia ini, Bi. Apa berat dosa?” ucap Bella yang kelelahan memapah laki-laki mabuk itu menguras tenaganya.“Namanya laki-laki, Nak. Ya berat,” jawab Bi Siti.“Tau ah, Bibi saja yang urus. Kalau aku ntar ribut lagi tak baik bertengkar di awal hari. Biar aku yang siapkan sarapan,” pinta Bella memijat lengannya.“Sepertinya kita harus lapor nyonya besar, Nduk. Tidak bisa didiamkan begini terus. Takut nanti dia semakin terjerumus,” imbuh Bi Siti yang juga sudah tidak tahan akan kelakuan Burhan.“Maksud Bibi, orang tua Bang Burhan gitu,” tanya Bella yang mulai merasa tidak enak hati mengingat status yang disandangnya saat ini.Dia memang bukan pelakor yang dengan tega menggoda suami orang demi harta. Tetapi, tetap saja rasa takut menyergap hatinya.“Kamu tidak perlu takut, ada Bibi yang akan membantumu.” Bi Siti mengusap punggung Bella yan
“Kali ini kau lolos, tunggu selesai sarapan Mama ingin bicara denganmu,” ancam Marwa melangkah mengikuti anak keduanya itu.“Tenangkan hatimu, Nak. Bersikaplah biasa saja, mereka akan kesini. Bersiaplah,” ujar Bi Siti pada Bella.Gadis itu berusaha menetralkan gejolak dalam hatinya. Menanti reaksi Marwa yang melihat keberadaannya.“Mari nyonya." Bi Siti menarik kursi yang paling ujung tempat yang biasa ditempati Burhan. Mempersilahkannya duduk.“Oh, ada kamu, siapa namamu, Nduk,” tanya Marwa ramah meski dia tidak terlalu menyukai gadis yang ditolong menantunya itu tapi dia tidak bisa untuk bersikap kasar.“Bella Nyonya,” jawab Bella santun.“Oh, iya saya lupa. Duduklah kita makan bersama. Buka saja cadarmu itu. Supaya tidak mengganggu acara makannya,” pinta Marwa yang mulai penasaran akan wujud di balik selembar kain hitam itu.“Maaf nyonya, sekiranya mengganggu. Biar saya makan di belakang saja,” tolak Bella tidak bersedia membuka cadarnya.“Hmm, silahkan,” usir Marwa yang kecewa ata
Gadis itu berjalan biasa saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan wanita yang telah menjadi mertuanya. Terlihat mulai gelisah tidak sabar menunggu kehadiran putranya. Menjelaskan semua yang mengganjal pikirannya.Marwa hanya melirik sekilas saat gadis bercadar itu melewatinya. Sengaja dia berpura fokus membaca majalah. Sama sekali tidak berniat untuk menyapanya.Gadis itu berhasil melewati gerbang depan dengan alasan ingin membeli pembalut yang memang kebetulan kehabisan pada satpam jaga.Dengan mempercepat langkah dia menuju pos penjaga kompleks. Tangannya menggenggam foto Nana, cukup untuk modal mencari Nana.“Assalamualaikum. Pak,” Bella mengucap salam pada satpam jaga.“Wa’alaikumsalam, Neng,” jawab satpam.“Saya boleh minta tolong gak, Pak? Saya ingin mencoba mencari Nana istrinya Burhan yang hilang. Saya tidak tahu daerah sini. Apa bapak ada kenalan supir taksi yang bisa menemani saya mencarinya seharian ini,” jelas Bella kepada dua satpam yang berada dalam pos sembari menunjuk
“Sepertinya dia sedang keluar. Dari tadi belum ada dia kembali,” ungkap Marwa.“Keluar? Kenapa dia tidak meminta izin kepadaku,” rutuk Burhan.“Emangnya kamu suaminya harus izin segala. Ngapain kamu pedulikan dia. Yang perlu kamu pikirkan itu Nana,” tekan Marwa.“Bukan gitu juga Ma, tapi aku tuan rumah disini. Dia Cuma numpang. Tidak bisa seenaknya keluar masuk, emangnya ini rumah bapak moyangnya,” ujar Burhan.“Mama tidak pernah mengajar kalian untuk mencampuri urusan orang lain. Selama dia nyaman dan tidak menyusahkanmu biar saja dia keluar. Siapa tahu dia bertemu jodohnya. Atau kamu ingin menjadikan dia istri muda? Awas saja kalau itu benar terjadi mama yang akan memangkas pusakamu itu,” ancam Marwa.Sedang burhan meneguk ludah yang seketika terasa pahit. Habislah dia jika wanita yang mengancamnya barusan tahu bahwa dia telah menikahi gadis itu.“Lanjutkan aktivitasmu hari ini. Kita bicarakan lagi setelah kedua saudaramu tiba. Mama sangat lelah,” pinta Marwa.Permintaan sang mama m
“Heh, bocah ilmu dari mana bisa melakukan itu semua,” seru Sopie menatap tajam adik laki-lakinya itu.Namun yang ditanya hanya menundukkan wajah tidak berani menatap salah satu dari tiga wanita yang paling berharga untuknya“Abang, Bangbur. Jawab Bang, apa benar kak Nana pergi dari rumah ini. Kenapa Bang? Apa Abang telah menyakiti hatinya,” cecar Amel tidak terima atas kepergian ipar kesayangannya itu.“Jawablah Nak, kami tidak akan menghukummu. Kita cari solusi bersama,” bujuk Marwa agar Burhan mau buka mulut.“Sejak kapan Nana pergi, mengapa tidak memberi tahu kami,” tanya Sopie geram.Burhan masih bungkam. Bukan dia tak ingin berkata jujur. Ingin sekali dia membagi kesedihan pada tiga wanita yang dihadapannya. Telah menjadikan dia seorang terdakwa.Hanya dia tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskannya. Semuanya saling berkaitan yang berujung akan tetap dia yang salah.“Bocah, jawab kenapa? Kita cari solusi bersama,” seru Sopie.“Entah rahasia besar apa yang dia sembunyik