Dari segala aspek, Irfan memang pasangan yang baik.Sayangnya, perasaan semacam ini adalah hal yang sensitif bagi Alya.Alya menoleh untuk menatapnya. "Maafkan aku."Irfan terus memandangnya. Setelah beberapa waktu, sebuah senyum hangat kembali muncul di wajahnya. "Apa hari ini kamu lelah? Naiklah dulu ke atas, kalau ada sesuatu kita bisa membicarakannya lagi nanti.""Irfan ....""Anak-anak pasti sudah menunggumu dengan gelisah, cepatlah naik."Sambil berbicara, Irfan bahkan memegang bahu Alya dan mendorongnya untuk pergi. Kemudian dia mengantarnya masuk ke lift, menekankan tombol lantai untuknya, lalu pergi setelah berkata, "Setelah kamu naik, mintalah Pak Hasan untuk segera turun."Alya mengerutkan keningnya dan tidak menjawab.Begitu pintu lift perlahan tertutup, sebelum benar-benar tertutup, Alya melihat Irfan tersenyum padanya."Selamat malam, semoga kamu mimpi indah."Saat ini, pintu lift akhirnya tertutup.Alya pun sampai di rumahnya, Hasan dan seorang pengasuh lainnya sedang me
Keesokan harinya.Alya mengantarkan kedua anaknya ke sekolah seorang diri.Tadinya beberapa hari ini, yang mengantar mereka adalah Irfan. Namun, setelah perbincangan mereka semalam, Alya tidak membiarkan Irfan mengantar mereka."Kalau kamu benar-benar ingin memberiku waktu untuk berpikir, maka selama aku berpikir, jangan lakukan apa pun untuk memengaruhi pikiranku."Irfan benar-benar menurut dan tidak muncul.Melihat pria itu tidak muncul, Alya menghela napas lega dan mengantar kedua anaknya sendiri. Karena mereka berangkat lebih awal dan Alya memiliki termos di tangannya, di perjalanan kedua anak itu pun menanyakan beberapa pertanyaan dengan penasaran"Hm, teman kerja Mama sakit, jadi Mama membawakannya makanan."Maya bermulut manis, dia tidak hanya tidak bertanya lebih jauh, tetapi juga memuji-muji Alya."Mama sangat baik hati dan cantik, siapa pun yang menikahi mama kami akan menjadi pria paling beruntung di dunia."Mendengar kalimat ini, sudut bibir Alya berkedut.Kata-kata ini dia
"Nggak, nggak, aku hanya ingin lihat apakah kamu sudah datang atau belum."Alya masuk ke kamar sambil berbicara. Dia dengan tenang meletakkan termos itu di meja, lalu menggulung lengan bajunya dan membuka tutup termos tersebut.Begitu tutupnya dibuka, aroma makanan seketika memenuhi ruangan.Cahya yang sudah sarapan, tiba-tiba menjadi lapar begitu mencium aromanya.Awalnya, dia kira Alya akan membelikan makanan dari luar untuk Rizki. Namun, ketika dia mendekat untuk melihat, ternyata Alya membuatnya sendiri.Rizki memandang wanita itu dari samping. Alya bergerak dengan sangat ahli, seolah-olah dia sudah melakukan hal ini ribuan kali.Makin lama, Rizki makin mengerutkan keningnya.Alya membawakan semangkuk makanan itu ke hadapannya. "Makanlah, semuanya makanan cair. Aku sudah bertanya pada Dokter, makanan seperti ini paling bagus untuk kondisimu sekarang."Setelah terdiam sejenak, Rizki mengambil mangkuk itu.Aromanya sangat enak. Rizki yang sudah lama tidak memiliki nafsu makan pun mer
Setelah meninggalkan rumah sakit, Alya langsung pergi menuju perusahaannya.Jalanan agak macet, sehingga dia pun sedikit terlambat. Namun, tanpa disangka, dia bertemu dengan pemuda yang kemarin.Begitu melihat Alya, pemuda berkacamata itu segera tersenyum malu. Dia bahkan mengulurkan tangannya pada Alya."Hai, mulai sekarang kita rekan kerja."Alya berjabat tangan dengannya."Kemarin aku kira kamu ke sini untuk melamar kerja, tapi ternyata kamu sudah bekerja di sini. Hei, bagaimana kamu bisa tertarik dengan perusahaan kecil ini? Apa kamu sudah tahu lebih dulu kalau Perusahaan Saputra akan berinvestasi di sini?"Tahu lebih dulu?Alya terkekeh dan berkata, "Bukannya aku tahu lebih dulu, tapi aku memang tahu lebih dulu daripada kalian.""Tentu saja, kamu 'kan sudah bekerja di sini. Sementara itu, kami hanya bisa melihatnya di brosur rekrutmen."Di dalam lift juga ada orang lain, tetapi semuanya tampak tidak ingin berinteraksi. Selain pemuda berkacamata ini, Alya tidak melihat wajah famili
"Ayo, aku akan mengantar kalian."Setelah berpamitan dengan Alya, Angga memimpin mereka semua pergi.Pemuda berkacamata itu berjalan di belakang Angga. "Pak Angga, apakah dia benar-benar bos kita?"Meskipun tadi sudah dijelaskan, ternyata saat ini pemuda itu masih bertanya lagi.Angga adalah seorang veteran, dia dapat melihat isi pikiran pemuda ini dengan mudah."Kenapa? Kalau dia bukan bos, kamu masih mau mendekatinya?"Begitu dia mengatakan ini, wajah pemuda itu seketika memerah."Pak Angga, jangan bicara omong kosong.""Hahaha!"Angga tertawa terbahak-bahak. "Nak, apa yang kamu takutkan? Kalau kamu suka ya kejarlah dia. Setahuku, bos kita masih lajang."Pemuda berkacamata itu tertegun, matanya berbinar lagi. Namun, setelah berpikir, dia menghela napas dan menundukkan kepalanya dengan sedih."Lupakan saja, dia sangat cantik. Bahkan kalaupun dia bukan bos, aku nggak pantas untuknya. Apalagi dia juga kaya."Mendengar ini, Angga menepuk-nepuk bahunya. "Hm, ternyata kamu tahu diri. Kamu
Tiga kata yang singkat dan jelas itu mendinginkan Rizki sepanjang hari.Alya baru datang ketika langit sudah benar-benar gelap.Rizki duduk di tempat tidur dengan kesal. Ketika melihat Alya yang duduk di depannya, dia bertanya dengan suaranya yang berat, "Kenapa kamu lama sekali?"Alya merespons pertanyaannya dengan tak acuh. Dia hanya melirik Rizki, lalu berkata, "Bukankah aku butuh waktu untuk ke sini? Bukankah aku butuh waktu untuk memasak?"Dua pertanyaan ini langsung membungkam Rizki, dia tidak berbicara lagi.Ketika Alya menaruh makan malam di tangannya, Rizki berkata, "Sebenarnya kamu ke sini saja sudah cukup, kamu nggak usah sampai memasak untukku segala.""Memangnya kamu pikir aku mau?" balas Alya.Raut wajah Rizki berubah."Kalau begitu kenapa?"Namun, Alya tidak menjawab pertanyaannya dan hanya berdiri untuk beres-beres. Meskipun memunggunginya, punggung Alya seolah-olah memiliki mata. Alya mengingatkannya, "Sebaiknya kamu cepat makan, aku sudah menghabiskan banyak waktu unt
Rizki mengerutkan keningnya. "Transaksi apa?"Karena sudah mengatakannya, Alya tidak lagi berniat untuk menyembunyikannya. Lagi pula, beberapa hari sudah berlalu.Dia berjalan ke depan Rizki. "Selama beberapa hari ini, penyakitmu sudah membaik, 'kan?"Rizki mengatupkan bibirnya dan tidak berbicara, menunggu Alya untuk melanjutkan.Setelah beberapa saat, Alya berkata, "Aku ingin bertemu Nenek."Mendengar ini, Rizki menyipitkan matanya."Jadi?""Jadi selama beberapa hari ini, aku sudah membawakanmu makanan dan secara nggak langsung membantumu untuk sembuh. Sebagai gantinya, kamu akan membawaku menemui Nenek."Rizki menatapnya untuk sesaat, lalu terkekeh.Pantas saja setelah menangis dan keluar dari toilet pada hari itu, Alya terlihat seperti orang lain. Dia bahkan tidak hanya bersedia datang menjenguknya, tetapi juga membuatkan dan membawakannya makanan.Setelah bertahan sekian lama, Rizki kira wanita ini tiba-tiba telah berubah pikiran. Ternyata, Alya sudah lama merencanakan tujuannya.
Cahya tetap berdiri di tempatnya dan tidak bergerak. Setelah beberapa waktu, barulah dia bertanya dengan suara kecil, "Pak Rizki, apakah kamu benar-benar mau keluar dari rumah sakit? Kesehatanmu masih belum sepenuhnya pulih."Mendengar ini, raut wajah Rizki menjadi sangat buruk."Apa kamu nggak lihat kalau dia nggak peduli? Sekarang, dia bahkan menyuruhku untuk keluar dari rumah sakit."Cahya mengedipkan matanya lagi dan lagi. "Bukan begitu, kamulah yang bilang ingin keluar dari rumah sakit karena kesal, sementara Nona Alya nggak bilang begitu."Rizki terdiam."Selain itu, kalau kamu nggak menanyakan Nona Alya kenapa dia membawakanmu makanan, Nona Alya sama sekali nggak berencana untuk mengaku padamu hari ini."Makin lama, raut wajah Rizki makin memburuk."Kalau begitu bagaimana dengan besok? Lusa?""Pak Rizki, menurutku kalau kamu ingin terus melihat Nona Alya, seharusnya kamu jangan memprovokasinya. Terkadang, seseorang nggak perlu memperjelas sesuatu. Awalnya, kamulah yang mengejar