Share

BAB 3

“Itu harga yang harus kamu bayar karena sudah membunuh anakku dan membuat istriku menderita.”

Dzurriya kembali tertohok ketika diingatkan oleh kata-kata Alexa beberapa saat lalu. Perasaan bersalah itu membuatnya merasa sangat kotor. 

Benar! Ia tidak punya hak apa-apa untuk menolak, dirinya sangat berdosa. Bahkan ini belum seberapa dengan apa yang sudah dilakukannya. 

“Cepat tanda tangan!” ucapan Eshan yang dingin dan menusuk itu membuat badannya sontak terkejut.

Suara dan tatapan Eshan memberikan tekanan untuk Dzurriya. Ia ketakutan, ditambah tidak bisa mengingat apa pun sekarang. Begitu bangun, ia langsung dihadapkan dengan ancaman Eshan dan Alexa.

Dzurriya tidak punya pilihan lain. Ia tidak mau mati sekarang.

Dengan ragu, ia mulai menanda tangani surat di atas materai itu. Namun, ia menyadari sesuatu.

‘Dzurriyatul Jannah... nama di bawah materai itu Dzurriyatul Jannah…

“Apa ini namaku?” tanyanya sambil menunjuk tulisan nama itu.

“Jangan berpura-pura! Cepat tanda tangani!”

‘Jadi benar ini namaku….’ Ada rasa lega sekaligus bingung yang memenuhi hati Dzurriya sekarang. ‘Tapi… dari mana lelaki ini tahu namaku? Jadi, mereka mengenalku?’

***

Setelah Dzurriya menandatangani surat kontrak itu, keesokan harinya pun pernikahan dilaksanakan. Tidak ada pesta besar atau baju pengantin cantik, atau ucapan selamat. Dzurriya hanya memakai baju pasien dan melakukan ijab kabul di ruang rawat Alexa.

Setelah itu pun ia langsung dibawa paksa oleh orang-orang berpakaian hitam ke sebuah rumah besar. Di dalam mobil, ia duduk diapit dua orang pria berbadan besar, sedangkan Eshan dan Alexa di mobil berbeda.

‘Jadi beginikah rasanya jadi tahanan?’ gumam Dzurriya ketika digiring ke sebuah kamar di lantai satu, di pojok dekat dapur.

Pemandangan pertama yang Dzurriya lihat adalah kamar penuh debu dan pengap. Beberapa perabotnya ditutup kain berwarna putih. Temboknya tampak kusam, tanpa hiasan apa pun. Sepertinya, ia membutuhkan banyak waktu untuk membersihkan ini semua.

Dzurriya melenguh panjang sambil mengusap kain penutup perabotan di kamar barunya. Bagaimana ia harus membereskan sendiri kamar sekotor dan seberantakan itu, padahal dirinya masih lemah dan lelah?

Namun, mengeluh takkan menyelesaikan masalah. Jadi, Dzurriya mulai bersiap-siap membersihkan kamar itu.

“Huh!”

Dzurriya segera menarik satu persatu kain penutup, kemudian melipat dan menumpuknya jadi satu. Ia tahu takkan ada yang membantunya di rumah itu. Walaupun sampai bersin-bersin dan tubuhnya gatal karena debu, tapi Dzurriya masih terus bergerak.

Setelah kasur dan nakasnya bersih, sekarang Dzurriya berjalan ke arah lemari dengan langkah gontai. Walaupun pakaian yang ia punya hanyalah yang ia pakai saat ini, Dzurriya juga ingin melihat isi lemari tersebut.

Krie…k!

“Allah Kariim!” Dzurriya memekik histeris sambil melompat, ketika seekor tikus kecil tiba-tiba keluar dari dalam lemari. 

Tikus hitam itu berputar-putar di sekitar kaki Dzurriya, membuat wanita itu langsung lari terbirit-birit keluar. Namun, karena kakinya yang masih lemas, ia jatuh tersandung di depan kamar.

“Aaah!” Dzurriya siap untuk terbentur lantai yang keras ketika merasakan sebuah tangan besar menangkap kedua bahunya.

Matanya yang terpejam kuat itu perlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah bola mata hitam di balik kacamata itu sedang menatapnya tajam. 

Sepersekian detik keduanya berpandangan, dan Dzurriya merasakan debar jantungnya semakin lama semakin cepat. 

Entah kenapa lelaki bengis itu terlihat begitu tampan di matanya saat ini. Aroma musknya juga tercium menyegarkan.

“Apa kamu buta?” suara dalam dan dingin Eshan menyapa Dzurriya.

Dzurriya langsung tersadar. Ia langsung menjauhkan diri dari Eshan dan berdiri dengan kepala tertunduk.

“M-maafkan aku…” cicit Dzurriya.

Eshan terdengar mendengus, tapi Dzurriya belum berani mengangkat kepala. Wanita itu hanya menatap ujung sepatu pantofel Eshan.

“Kalau kau kesulitan, panggil saja pelayan,” ucap Eshan tiba-tiba, membuat Dzurriya mengangkat kepala. 

“Apa?”

“Aku tidak mau melihat orang mati karena kelelahan di rumahku hari ini,” jawab pria itu dengan aura dinginnya.

Dzurriya menelan air liurnya.

“Apa lagi kau harus tinggal di sini sampai bisa melahirkan akan untukku dan Alexa.” Tanpa menjelaskan maksudnya, Eshan beranjak dari sana.

***

Walaupun terasa begitu berat dan penuh air mata, sebulan berlalu sejak Dzurriya menjadi istri kedua Eshan, sekaligus rahim pengganti untuk Alexa.

Para pelayan juga terus menggunjing dan mengasihani Dzurriya yang selalu memakai pakaian bekas pelayan yang diberikan Alexa.

“Kasihan, ya….” 

“Kok, Tuan bisa ya, bawa wanita dekil itu ke sini. Mana dijadiin madu Bu Alexa lagi.” 

“Jauh banget kalau dibandingkan Bu Alexa.”

Dzurriya masih berusaha bertahan, karena berpikir Eshan sedikit lebih baik karena sudah menjadi istrinya. Namun, sama saja.

Bahkan, ketika melakukan serangkaian tes untuk menjadi rahim pengganti Alexa, lelaki itu tetap membencinya. Hanya karena Dzurriya tidak bisa mengingat riwayat penyakitnya, kapan terakhir haid, dan informasi semacamnya, ia berakhir mendapat ancaman dari Eshan. 

Mau bagaimana lagi, Dzurriya sama sekali tidak mengingat apa pun sebelum kecelakaan itu. 

Oleh karena itu, Dzurriya sebisa mungkin menghindari orang-orang di sini. Tidak ada yang menyukainya di sini.

Jadi, setiap malam, Dzurriya pun harus mengendap keluar kamar untuk bisa makan. Ia tidak berani makan bersama Eshan dan Alexa. Lagi pula, keduanya juga tidak akan mengizinkan Dzurriya makan bersama.

Malam ini pun, Dzurriya menatap sekitar yang begitu gelap dengan penuh kewaspadaan. 

‘Sepertinya semua orang sudah tidur, tapi aku tidak boleh lengah.’

Ia sudah melepas kerudungnya di kamar, berpikir tidak akan ada siapa pun yang melihat. Ia pun keluar dari kamar dengan langkah kakinya yang telanjang, hampir tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri. 

Hanya sedikit lagi sampai ia mencapai tujuannya. Namun, ketika tangannya terulur untuk meraih pintu itu, seketika lampu menyala. 

Dzurriya melotot kaget. Dengan tergopoh-gopoh, ia segera menunduk dan melompat ke bawah meja panjang di dekatnya. 

Duk!

“Ah!”

Tangannya sontak menutup mulutnya yang meringis kesakitan karena kepalanya terantuk meja. Suara kaki itu terdengar sangat familiar. Aroma musk-nya juga semakin dekat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status