Meledak. Mungkin itulah gambaran yang paling pas untuk perasaan Keisha sekarang. Ia begitu marah karena Kenzie malah menyanggupi keinginan Ayah untuk menikahinya. Padahal jelas-jelas jika di antara mereka berdua itu hanyalah kesalahpahaman saja.
Setelah keluarga mereka memutuskan untuk menikahkan keduanya, dan masing-masing lanjut pergi dengan kesibukan mereka, Keisha memberanikan diri untuk menemui Kenzie di rumahnya.
"GIMANA SIH, BANG?!" jerit Keisha sambil melempar bantal ke arah tubuh Kenzie yang tengah duduk santai di atas tempat tidurnya.
"Kenapa main iya-iya aja pas mereka nyaranin buat kita nikah?!" lanjut Keisha dengan masih bernada tinggi. "Udah nggak waras, ya?!"
Berkali-kali memukul Kenzie untuk melampiaskan amarah, Keisha yang berujung lelah akhirnya memutuskan untuk membaringkan tubuh di atas kasur Kenzie.
"Udah habis baterainya?" Sudut bibir kanan Kenzie terangkat membentuk senyum seringai. "Masih mau mukulin saya lagi?"
"MASIH!" semprot Keisha, tapi kemudian dia kembali merebahkan diri. "Tapi nanti, nunggu tenaga aku kekumpul lagi."
Kenzie tertawa rendah, lalu mengangguk singkat sambil mengusap rambut Keisha yang berada tepat di sebelahnya.
"Nggak usah pegang-pegang!" tambah Keisha seraya menepis tangan Kenzie dengan kencang. Ia mendorong tubuh Kenzie untuk menjauh dari dirinya. "Sana, duduk di sana tuh! Jauh-jauh dari aku!"
Tidak mau membuat Keisha semakin marah padanya, Kenzie pun menurut tanpa protes. Ia beranjak dari kasurnya, dan memilih duduk di sofa malas yang ada di sudut kamar.
"Kalau udah bisa diajak diskusi, kasih tau saya," ucap Kenzie sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
"Sekarang aja."
"Nggak."
"Kenapa?"
"Karena bicara dengan orang yang lagi marah itu percuma. Mereka biasanya enggan mendengarkan hal-hal yang bertentangan dengan pendapat mereka. Dan saya nggak mau membuang tenaga secara sia-sia."
Keisha mencibir tanpa suara. ‘Dasar dosen, cara bicaranya juga seperti orang tua.’
Padahal umur mereka hanya terpaut 7 tahun, Kenzie sendiri seumuran dengan Reyhan, kakak pertamanya. Namun, aura pria itu sangat berbeda dengan Reyhan.
Kalau Reyhan kadang masih suka kekanakan, dan memanjakannya, Kenzie justru lebih tegas dan suka berbicara terus terang. Bukan sekali-dua kali Keisha terkena omelannya.
Keisha pun memalingkan pandangannya kembali menatap Kenzie. Di balik sikap dinginnya itu, Kenzie memiliki alis tebal, hidung mancung, dan rahang yang tegas. Sungguh tampan dan dengan ketenangan yang menawan.
Yang mengherankan, pria itu selalu memiliki cara membuat Keisha kesal setengah mati! Oleh karena itu, Keisha tidak mau menikah dan malah mati muda karena jadi istri Kenzie!
“Kalau sudah tenang, kita bisa bicara sekarang,” ucap Kenzie yang mendadak menggeser pandangan ke arah Keisha, membuat gadis itu terkejut.
Keisha pun mendudukkan diri di kasur. "Oke, aku siap."
Kenzie langsung menatap lurus ke arah Keisha. "Sebelumnya, saya ingin meminta maaf kepada kamu, karena tadi saya tidak membantah kesalahpahaman mereka semua," ujar Kenzie.
“Akan tetapi, walaupun saya bicara sampai berbusa hasilnya akan tetap sama. Mereka, terutama Tante Susan, ibu kamu, hanya percaya apa yang mereka lihat. Terbukti kan, dengan mereka yang sama sekali tidak mempercayai ucapan kamu."
"Ya mungkin kalau Abang yang jelasin, mereka bakalan percaya," sanggah Keisha. "Karena dari dulu sampe sekarang, mereka selalu percaya sama ucapan Abang."
"Benar. Tapi itu jika ada bukti konkretnya, Kei. Sedangkan tadi?"
Keisha menggigit bibirnya, merasa tertindas oleh takdir dan kenyataan. Dia tahu ucapan Kenzie benar, tapi masih tidak rela. Siapa yang berpikiran menikah di usia dini sepertinya ini!?
"Terus, masa aku harus nikah sama Bang Kenzie…?” gumam Keisha dengan mata berkaca-kaca saking kesalnya.
Kenzie terdiam sesaat, lalu berkata, “Saya rasa itu tidak buruk.”
“Hah?” Keisha mengangkat pandangan dan menatap Kenzie dengan bingung. “Nggak buruk gimana?”
“Baca ini,” ucap Kenzie.
Pria itu menyunggingkan senyum tipis penuh arti, lalu menyodorkan selembar kertas berukuran A4 yang telah dicoret-coret dengan tinta hitam kepada Keisha. Entah datang entah dari mana kertas itu.
Keisha meraih lembaran kertas dan melihat huruf cetak tebal yang bertuliskan “Kawin Kontrak”.
Mata Keisha membola dan melihat Kenzie yang tersenyum menawan ke arahnya. “Kalau memang harus menikah, ya kita menikah kontrak saja.”
"Kawin kontrak?" ucap Keisha ketika ia membaca judulnya. "Maksudnya?" "Baca dulu sampai selesai baru bertanya." Keisha melirik Kenzie sambil mengambil surat itu. Ia bisa melihat Kenzie diam-diam tersenyum menyeringai. Wajahnya seolah tengah menyiratkan suatu hal yang mencurigakan, dan tentu saja membuat penasaran. “Abang nggak lagi kerjain aku, kan?” tanya Keisha penuh kecurigaan. Namun, Kenzie hanya menghela napas. “Baca, Keisha.” Keisha mendengus dan mulai membaca isi kontrak itu secara detail. Dahinya terus berkerut di setiap kalimat yang dibacanya. Memang tidak aneh, tapi kenapa dia merasa sedang dipermainkan Kenzie di sini. Perjanjian Pernikahan Kontrak Keisha - Kenzie. Pernikahan ini hanya berupa status semata. Oleh karena itu kedua belah pihak harus berakting di depan kedua orang tua. Tidak diperkenankan melakukan skinship jika salah satu di antara mereka tidak menginginkannya. Mereka juga bebas melakukan apa pun termasuk berpacaran, dengan catatan harus dilakukan s
Baru dua hari yang lalu Keisha menyesali dengan keputusan gila yang ia buat, hari ini sang ibu semakin membuatnya menyesal. Pagi-pagi sekali, Keisha dibangunkan oleh sang ibu karena kedatangan Kenzie di rumahnya. Hari ini ia memang ada kelas, tapi tidak biasanya laki-laki itu menjemput Keisha di rumah. Ralat. Bukan tidak biasanya, tapi tidak pernah! “Aneh banget, nih, orang tiba-tiba jemput,” gerutu Keisha ketika ia bersiap-siap. Kalau bukan karena dipaksa Ibu, Keisha mana mau semobil dengan Kenzie. Apa kata warga kampus nanti kalau tiba-tiba ia terlihat keluar dari mobil dosen dingin ini? Keisha bahkan menyembunyikan fakta kalau mereka bertetangga dan Kenzie adalah sahabat Reyhan, kakak pertamanya. Sibuk dengan pemikiran aneh dan ketakutannya, Keisha sampai tidak menyadari kalau mereka sudah memasuki area kampus. Ia baru sadar ketika mobil Kenzie melewati halte bus di depan Fakultas Seni. Keisha refleks berteriak, “Eh, Bang! Stop, stop! Sampe sini aja.” Keisha buru-buru melepa
“Baris kedua dari belakang.” Tiba-tiba, Kenzie menunjuk Keisha dan kedua temannya yang sontak menjadi pusat perhatian satu kelas. Pikiran Keisha yang beberapa detik lalu masih mengawang pun dipaksa masuk kembali. Ia merasakan Cindy terus menyenggol lengannya. “Ya, tiga mahasiswi di sana. Apa kalian sudah mengerti materi yang saya jelaskan hari ini?” lanjut Kenzie. “S-sudah, Pak,” Keisha menjawab refleks saking terkejutnya. “Kalau sudah, coba terangkan di depan,” sahutnya tegas seraya memberikan spidol papan tulis kepada Keisha. “Eh….” Keisha menelan ludahnya gugup. “M-maksudnya belum, Pak.” Kenzie menghela napasnya kasar dan mengetuk papan tulis dengan jarinya sebanyak dua kali. “Saya diam sejak tadi, bukan berarti saya tidak mendengar,” sambungnya membuat Keisha dan dua temannya menutup mulut rapat-rapat. “Dengarkan baik-baik kalau tidak mau ada tugas tambahan untuk kalian.” “I-iya, Pak,” jawab ketiganya dengan wajah pucat. Keisha berdecak. Sia-sia saja debaran jantungnya tad
Kenzie tidak langsung menjawab, malah menatap Keisha cukup lama. Tentu itu membuat Keisha semakin kesal dan mulai mencubit paha pria itu. Barulah setelah itu, Kenzie menjawab sambil terkekeh. “Iya.” Keisha langsung beralih ke arah ponsel dan menatap Reyhan canggung. “Tuhkan, Bang Rey denger, hehehe!” Lalu, karena takut Reyhan menginterogasinya, Keisha buru-buru mengakhiri panggilan. “Nanti telepon lagi, ya, Bang! Dah! Aku mau lanjut ngerjain tugas dulu!” Tut! Sambungan diputuskan Keisha sepihak. Ia membuang napasnya, lalu menatap Kenzie dengan kesal. Kenapa pria ini suka sekali membuatnya panik tiba-tiba?! “Belum bilang sama Rey?” tanya Kenzie tiba-tiba. “Abang kan tau sifat Bang Rey gimana? Mana mungkin dia setuju-setuju aja sama pernikahan ini apalagi kalo tau alasan kita nikah?” decak Keisha. “Emangnya Abang mau dia terbang sekarang, balik ke Indo, cuma buat gebukin Bang Kenzie?” Kenzie hanya mengangguk-angguk. “Aku aja bilang ke Ibu supaya Bang Rey jangan dikasih tau dulu
Kenzie masuk ke mobilnya lebih dulu, lalu diikuti Keisha. Ia hanya diam setelah pintu ditutup. Padahal, ia mau Kenzie sedikit peka kalau dirinya sedang kesal. Keisha terus menggerutu dalam hati, sampai sebuah sentuhan ringan ia rasakan di ujung kelingking tangannya. “Kenapa, sih?” pekik Keisha jengkel. “Ya aneh aja kamu diam dari tadi,” jawab Kenzie enteng. Keisha berdecak, tapi tetap malas menatap pria itu. Ia bahkan sengaja menaikan dagunya. “Buka tuh HP. Aku chat dari tadi nggak dibales, malah asyik ngobrol sama Bu Olive. Aku dimarahin Ibu dari kemarin disuruh ke butik buat fitting baju. Abang mah enak, nggak bakal kena omel. Tapi aku yang dicecer abis-abisan kalo gak nurut.” Keisha mengembuskan napasnya kesal karena teringat bayang Kenzie dan Olive mengobrol tadi. “Abang juga ngapain sih ngobrol sama Bu Olive? Pas kampus udah sepi lagi. Abang mau emangnya jadi sasaran gosip anak-anak kalo mereka dilihat berduaan sama Bu Olive di tempat sepi?” Keisha berbicara tanpa jeda ka
Keisha jadi menelan air ludahnya susah payah ketika Kenzie mendekat. Pria itu berdiri tepat di hadapannya, hanya berjarak sekitar lima senti saja. Keisha juga bisa mencium parfum bergamot yang manis dari pria itu. Tangan Kenzie terulur ke belakang leher Keisha, membuat perempuan itu menutup matanya rapat-rapat. Padahal gaun ini menutupi sebagian pundaknya, tapi entah kenapa Keisha bisa merasakan sentuhan ringan dari Kenzie. 'Gila! Gila! Gila! Jantung... Tolong jangan ribut dong! Kalau Bang Kenzie denger gimanaaaa!' hati Keisha mulai ugal-ugalan. "Hm...." Keisha bisa mendengar suara rendah Kenzie di telinganya. "Cocok," ucap Kenzie kemudian. “Harganya cocok.” Tepat setelah itu, Kenzie pergi meninggalkan Keisha begitu saja, membuat Keisha membuka mataya secepat kita. Ternyata pria itu hanya ingin melihat tag harga yang ada di belakang gaun Keisha. Perempuan itu melongo tidak percaya. Mulutnya sampai terbuka setengah dan tangannya lemas di sisi tubuhnya. Ia tidak bisa berkata-kat
Keisha membuang napas panjangnya ketika kata-kata Reyhan kemarin kembali terputar di otaknya. Sejak itu, perasaan Keisha selalu cemas. Ia tidak bisa berbohong terus-terusan pada Reyhan. Mau bagaimana pun, Reyhan adalah abang yang paling ia sayang. Keisha tidak sampai hati kalau harus mengecewakan Reyhan karena sikapnya saat ini. “Kei!” Keisha tersentak ketika merasakan seseorang menyenggol lengannya. Ia menoleh. Ah… ia lupa kalau sedang bersama dua sahabatnya di kantin. “Ngelamun apa, sih? Itu dari tadi ada telepon.” Cindy menunjuk layar ponselnya yang menunjukkan tulisan ‘Bang Kenzie is calling…’ Keisha mengerjap. Ia sampai tidak sadar kalau ponselnya bunyi sejak tadi. “Halo, Bang?” jawab Keisha cepat, khawatir teman-temannya semakin curiga. “Cepet ke parkiran,” suara dalam Kenzie menyapa Keisha dengan renyah, membuat jantung perempuan itu entah kenapa langsung berdebar lebih cepat. “Hah? Harus banget?!” untuk menutupi kegugupannya, Keisha memekik. “Iya.” Keisha berdecak pe
Pria itu masih pada posisinya, begitu pun Keisha. Tidak ada dari keduanya yang bergerak menjauh atau memberikan jarak. Dengan debaran jantungnya, Keisha menatap bola mata Kenzie bergantian, lalu turun ke hidung dan bibir laki-laki itu. Jari telunjuk Kenzie yang masih berada di ujung hidung Keisha, perlahan turun ke bibir perempuan itu. Darah Keisha berdesir. ‘Gila! Gila! Gila! Aku beneran gila!’ Terbawa suasana, Keisha menutup matanya perlahan, bukannya mendorong Kenzie. Kepalanya sudah berisik, menduga apa yang akan terjadi berikutnya. ‘Ini Bang Kenzie mau cium aku kan? Kita mau ciuman kan? Ini ciuman pertama kita kan?’ “Kamu… suka rumahnya?” suara berat Kenzie kembali terdengar, bersamaan dengan jari dinginnya yang menjauh dari bibir Keisha. Keisha kembali membuka matanya. Ia melihat Kenzie sudah mundur selangkah, memberi jarak dirinya dengan Keisha. Pipi Keisha merona, malu dengan pikiran kotornya beberapa saat lalu. Mau dipikirkan beberapa kali pun, ciuman itu tidak m