Share

BAB 3

Meledak. Mungkin itulah gambaran yang paling pas untuk perasaan Keisha sekarang. Ia begitu marah karena Kenzie malah menyanggupi keinginan Ayah untuk menikahinya. Padahal jelas-jelas jika di antara mereka berdua itu hanyalah kesalahpahaman saja.

Setelah keluarga mereka memutuskan untuk menikahkan keduanya, dan masing-masing lanjut pergi dengan kesibukan mereka, Keisha memberanikan diri untuk menemui Kenzie di rumahnya.

"GIMANA SIH, BANG?!" jerit Keisha sambil melempar bantal ke arah tubuh Kenzie yang tengah duduk santai di atas tempat tidurnya.

"Kenapa main iya-iya aja pas mereka nyaranin buat kita nikah?!" lanjut Keisha dengan masih bernada tinggi. "Udah nggak waras, ya?!"

Berkali-kali memukul Kenzie untuk melampiaskan amarah, Keisha yang berujung lelah akhirnya memutuskan untuk membaringkan tubuh di atas kasur Kenzie.

"Udah habis baterainya?" Sudut bibir kanan Kenzie terangkat membentuk senyum seringai. "Masih mau mukulin saya lagi?"

"MASIH!" semprot Keisha, tapi kemudian dia kembali merebahkan diri. "Tapi nanti, nunggu tenaga aku kekumpul lagi."

Kenzie tertawa rendah, lalu mengangguk singkat sambil mengusap rambut Keisha yang berada tepat di sebelahnya.

"Nggak usah pegang-pegang!" tambah Keisha seraya menepis tangan Kenzie dengan kencang. Ia mendorong tubuh Kenzie untuk menjauh dari dirinya. "Sana, duduk di sana tuh! Jauh-jauh dari aku!"

Tidak mau membuat Keisha semakin marah padanya, Kenzie pun menurut tanpa protes. Ia beranjak dari kasurnya, dan memilih duduk di sofa malas yang ada di sudut kamar.

"Kalau udah bisa diajak diskusi, kasih tau saya," ucap Kenzie sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

"Sekarang aja."

"Nggak."

"Kenapa?"

"Karena bicara dengan orang yang lagi marah itu percuma. Mereka biasanya enggan mendengarkan hal-hal yang bertentangan dengan pendapat mereka. Dan saya nggak mau membuang tenaga secara sia-sia."

Keisha mencibir tanpa suara. ‘Dasar dosen, cara bicaranya juga seperti orang tua.’

Padahal umur mereka hanya terpaut 7 tahun, Kenzie sendiri seumuran dengan Reyhan, kakak pertamanya. Namun, aura pria itu sangat berbeda dengan Reyhan. 

Kalau Reyhan kadang masih suka kekanakan, dan memanjakannya, Kenzie justru lebih tegas dan suka berbicara terus terang. Bukan sekali-dua kali Keisha terkena omelannya.

Keisha pun memalingkan pandangannya kembali menatap Kenzie. Di balik sikap dinginnya itu, Kenzie memiliki alis tebal, hidung mancung, dan rahang yang tegas. Sungguh tampan dan dengan ketenangan yang menawan. 

Yang mengherankan, pria itu selalu memiliki cara membuat Keisha kesal setengah mati! Oleh karena itu, Keisha tidak mau menikah dan malah mati muda karena jadi istri Kenzie!

“Kalau sudah tenang, kita bisa bicara sekarang,” ucap Kenzie yang mendadak menggeser pandangan ke arah Keisha, membuat gadis itu terkejut.

Keisha pun mendudukkan diri di kasur. "Oke, aku siap."

Kenzie langsung menatap lurus ke arah Keisha. "Sebelumnya, saya ingin meminta maaf kepada kamu, karena tadi saya tidak membantah kesalahpahaman mereka semua," ujar Kenzie.

“Akan tetapi, walaupun saya bicara sampai berbusa hasilnya akan tetap sama. Mereka, terutama Tante Susan, ibu kamu, hanya percaya apa yang mereka lihat. Terbukti kan, dengan mereka yang sama sekali tidak mempercayai ucapan kamu."

"Ya mungkin kalau Abang yang jelasin, mereka bakalan percaya," sanggah Keisha. "Karena dari dulu sampe sekarang, mereka selalu percaya sama ucapan Abang."

"Benar. Tapi itu jika ada bukti konkretnya, Kei. Sedangkan tadi?"

Keisha menggigit bibirnya, merasa tertindas oleh takdir dan kenyataan. Dia tahu ucapan Kenzie benar, tapi masih tidak rela. Siapa yang berpikiran menikah di usia dini sepertinya ini!?

"Terus, masa aku harus nikah sama Bang Kenzie…?” gumam Keisha dengan mata berkaca-kaca saking kesalnya.

Kenzie terdiam sesaat, lalu berkata, “Saya rasa itu tidak buruk.”

“Hah?” Keisha mengangkat pandangan dan menatap Kenzie dengan bingung. “Nggak buruk gimana?”

“Baca ini,” ucap Kenzie. 

Pria itu menyunggingkan senyum tipis penuh arti, lalu menyodorkan selembar kertas berukuran A4 yang telah dicoret-coret dengan tinta hitam kepada Keisha. Entah datang entah dari mana kertas itu.

Keisha meraih lembaran kertas dan melihat huruf cetak tebal yang bertuliskan “Kawin Kontrak”.

Mata Keisha membola dan melihat Kenzie yang tersenyum menawan ke arahnya. “Kalau memang harus menikah, ya kita menikah kontrak saja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status