Share

BAB 8

Kenzie masuk ke mobilnya lebih dulu, lalu diikuti Keisha. Ia hanya diam setelah pintu ditutup. Padahal, ia mau Kenzie sedikit peka kalau dirinya sedang kesal.

Keisha terus menggerutu dalam hati, sampai sebuah sentuhan ringan ia rasakan di ujung kelingking tangannya.

“Kenapa, sih?” pekik Keisha jengkel.

“Ya aneh aja kamu diam dari tadi,” jawab Kenzie enteng.

Keisha berdecak, tapi tetap malas menatap pria itu. Ia bahkan sengaja menaikan dagunya.

“Buka tuh HP. Aku chat dari tadi nggak dibales, malah asyik ngobrol sama Bu Olive. Aku dimarahin Ibu dari kemarin disuruh ke butik buat fitting baju. Abang mah enak, nggak bakal kena omel. Tapi aku yang dicecer abis-abisan kalo gak nurut.”

Keisha mengembuskan napasnya kesal karena teringat bayang Kenzie dan Olive mengobrol tadi.

“Abang juga ngapain sih ngobrol sama Bu Olive? Pas kampus udah sepi lagi. Abang mau emangnya jadi sasaran gosip anak-anak kalo mereka dilihat berduaan sama Bu Olive di tempat sepi?”

Keisha berbicara tanpa jeda karena saking kesalnya. Tangannya bahkan bergerak ke sana-kemari, mengungkapkan bagaimana emosinya saat ini. Namun yang lebih menjengkelkan, Kenzie hanya tersenyum tipis di kursinya.

Melihat reaksi sederhana dari Kenzie, Keisha semakin panas. “Aku serius, ya! Abang tau gak kalo rumor Bu Olive itu pacarnya banyak? Tiap ke kampus dianter mobil yang beda-beda. Jangan deket-deket kalo nggak mau digebukin sama pacar-pacarnya!”

Kenzie masih tersenyum sambil terus mengemudikan mobilnya ke arah butik. Bukannya menenangkan atau minta maaf, pria itu tampak sangat tenang. Keisha tidak tahu harus mengancamnya bagaimana lagi.

Lampu merah di depan membuat mobilnya berhenti, tapi tidak dengan emosi Keisha. Perempuan itu sekarang melipat tangannya di dada dan melihat ke luar jendela.

“Udah cemburunya?” suara berat Kenzie terdengar menggoda Keisha.

Wajah Keisha langsung terasa panas. Hanya dengan ucapan sederhana Kenzie, seluruh tubuh Keisha menegang.

“ENAK AJA! GAK CEMBURU, YA!” pekik Keisha, lalu mencebikkan bibirnya kesal. “Aku cuma melindungi Bang Kenzie dari tindakan gak bermoral.”

Namun, respons pria itu malah membuat pipinya semakin memerah. Kenzie terkekeh. Tangannya juga mengusap rambut Keisha dan mencubit pipi perempuan itu.

“Ya udah, nggak usah merah juga mukanya.” Kenzie mengeluarkan senyum khasnya, yang membuat lutut Keisha bergetar seperti ponsel jadul.

“ISHHH, NGGAK MERAH YAAAA!!!” teriak Keisha kini sambil memukul-mukul Kenzie dengan tasnya.

***

Mereka sampai di butik setelah setengah jam perjalanan. Energi Keisha sudah habis karena menghadapi rasa malunya, juga kekehan menjengkelkan Kenzie.

Perempuan itu turun dari mobil lebih dulu dan masuk ke butik. Tante Julia, pemilik butik yang langsung menyambutnya. Ia pun menggiring Keisha dan Kenzie ke lantai dua, tempat gaun-gaun pernikahan di pajang.

Tante Julia menyuruh Keisha dan Kenzie melihat-lihat terlebih dulu. Ia juga berpesan pada Keisha untuk memanggil pegawainya saja jika ada yang ingin ditanyakan.

“Keisha,” panggil Kenzie ketika Keisha sedang melihat-lihat katalog dengan malas.

“Hm?” Keisha mengangkat kepala, dan sontak matanya membulat. “SEKSI BANGET?!”

Keisha bergidik ngeri saat melihat gaun pernikahan yang disodorkan oleh Kenzie. Masa ia mau pakai gaun yang mempertontonkan dadanya?

Masih mending kalau dadanya berisi, ini mah datar seperti triplek. Apa yang mau dipamerkan?

“Aku nggak mau pake itu!” tolak Keisha. Ia melirik Kenzie yang masih menatap gaun itu dan dirinya bergantian.

Kenzie berdecak pelan. “Siapa yang suruh kamu pakai?” tanya Kenzie bingung. “Saya pegang gaun ini, bukan berarti saya ingin kamu pake.”

“Te-terus ngapain? Bukannya tugas Abang di sini bantu aku pilih gaun?”

Kenzie memperlihatkan harga yang tertera di gaun itu. “Saya cuma shock aja, ada gaun dengan harga segini.”

Keisha yang mendengar jawaban itu, ikut bangun dan melihat harga yang tertera. Matanya melotot, dan sentakkan napasnya terdengar. Apa Tante Julia mau naik haji?!

“Gila…, buat dipake sekali doang harganya segini? Bisa bikin kontrakan ini mah.”

Namun, ketika Keisha menoleh, Kenzie sudah tidak ada di sebelahnya, melainkan duduk di sofa. Sepertinya pria itu sudah kehabisan energi.

Ia pun menyuruh Keisha memilih gaun dengan pegawai toko. Dan Keisha hanya bisa berdecak sebal.

Akhirnya, Keisha tertarik dengan satu gaun yang mirip seperti Belle dari karakter Disney. Dengan bantuan pegawai, Keisha memakai gaunnya di ruangan khusus.

‘Jelek nggak sih?’ batin Keisha seraya menatap cermin.

Ia sedikit merasa tidak percaya diri melihat pantulan sosoknya di cermin. Tubuhnya yang agak pendek, tapi tidak gemuk, membuatnya merasa seperti mencoba baju ulang tahun dibanding gaun pernikahan.

"Kita buka ya tirainya, Kak," ucap pegawai itu, dan Keisha hanya menjawab seadanya.

Pegawai itu membuka tirai, dan Keisha keluar dari ruangan dengan gaun yang sudah melekat di tubuhnya. Kepalanya perlahan terangkat, melihat Kenzie yang duduk di sofa. Entah kenapa, jantungnya jadi berdebar ketika Kenzie melihatnya begitu intens.

‘Jelek ya? Kenapa nggak ada respons dari Kenzie?’

Sampai satu menit berlalu, tidak ada respons Kenzie. Pria itu hanya mengerjap beberapa kali. Bahkan sampai pegawai butik yang harus menyadarkannya.

Keisha menghela napas panjang. Memang seharusnya tidak berharap apa pun dari Kenzie, dosen dingin itu.

“Keisha.”

Mendengar suara Kenzie, Keisha langsung menoleh. Pria itu sudah berjalan mendekat ke arah Keisha dan melihatnya dari atas hingga bawah.

Keisha jadi menelan air ludahnya susah payah. ‘Kenapa, nih, deket-deket? J-jangan-jangan mau—’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status