Share

BAB 6

“Baris kedua dari belakang.” Tiba-tiba, Kenzie menunjuk Keisha dan kedua temannya yang sontak menjadi pusat perhatian satu kelas.

Pikiran Keisha yang beberapa detik lalu masih mengawang pun dipaksa masuk kembali. Ia merasakan Cindy terus menyenggol lengannya.

“Ya, tiga mahasiswi di sana. Apa kalian sudah mengerti materi yang saya jelaskan hari ini?” lanjut Kenzie.

“S-sudah, Pak,” Keisha menjawab refleks saking terkejutnya.

“Kalau sudah, coba terangkan di depan,” sahutnya tegas seraya memberikan spidol papan tulis kepada Keisha.

“Eh….” Keisha menelan ludahnya gugup. “M-maksudnya belum, Pak.”

Kenzie menghela napasnya kasar dan mengetuk papan tulis dengan jarinya sebanyak dua kali. “Saya diam sejak tadi, bukan berarti saya tidak mendengar,” sambungnya membuat Keisha dan dua temannya menutup mulut rapat-rapat. “Dengarkan baik-baik kalau tidak mau ada tugas tambahan untuk kalian.”

“I-iya, Pak,” jawab ketiganya dengan wajah pucat.

Keisha berdecak. Sia-sia saja debaran jantungnya tadi. Semua sudah jelas, tidak mungkin Kenzie menyukainya.

Pria itu masih saja ketus dan dingin, walaupun cincin itu masih melingkar anteng di jari Keisha.

***

[Kenzie: Dimana?]

[Kenzie: Kelas kamu seharusnya sudah selesai]

[Kenzie: Kalau nggak ke parkiran sekarang, saya samperin kamu]

Keisha mendengus. Setelah menegurnya di kelas, tidak memberi kabar apa pun, calon suami sekaligus dosen galaknya itu tiba-tiba mengirimkannya chat bersifat ancaman.

Keisha buru-buru pamit kepada teman-temannya yang masih asyik mengobrol di kantin. Akan bahaya jika pria itu sungguhan dengan kata-katanya.

Ketika Keisha sampai di parkiran, matanya menatap sekitar, khawatir ada seseorang yang mengenalinya. Perempuan itu pun mengendap-endap seraya menutupi wajahnya dengan tas.

'Manusia itu kan gak bisa diprediksi. Kalau tiba-tiba muncul di depan aku, bisa mati berdiri ini mah!'

Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Keisha merinding.

Ia melihat mobil Kenzie masih terparkir di tempat yang sama. Dengan secepat kilat, Keisha masuk ke mobil Kenzie. Ia menutup pintunya dengan keras, lalu mulai mengatur napasnya yang terengah.

“Kenapa ngos-ngosan begitu?” tanya Kenzie sambil mengambil beberapa tisu dari dashboard dan memberikannya kepada Keisha.

“Takut ada yang lihat, lah!” Keisha berdecak dan menyambar tisu itu. “Lagian, ngapain, sih, nyuruh aku ke sini? Aku lagi asyik tadi nongkrong sama temen-temen.”

Kenzie diam sejenak, membiarkan Keisha mengatur napasnya. Ia pun mengambil tisu penuh keringat itu dari tangan Keisha.

“Temenin saya makan,” ucapnya.

Dahi Keisha lantas mengerut. Ia sempat terkejut sesaat, tapi berhasil mengontrol ekspresi wajahnya. “Abang nggak punya temen buat nemenin makan ya?”

“Kamu nggak mau?” Kenzie tampak berkedip dua kali.

Keisha berdecak. Mulutnya ingin menolak, tapi hatinya malah bersorak senang.

“Ya udah kalau maksa,” Keisha menjawab sambil matanya mengarah ke tempat lain.

Perempuan itu melipat tangannya di dada sembari berdeham. Walaupun hanya menemani makan, ia (sedikit) senang karena merasa dibutuhkan Kenzie sekarang.

Ketika mobil mulai meninggalkan parkiran kampus, tiba-tiba ponsel Keisha berdering. Keisha pikir, itu hanya telepon tidak jelas dari Naura atau Cindy. Jadi, ia dengan santainya mengambil ponsel itu dan mengangkatnya.

“Halo, adikkuuuu!” suara Reyhan, kakak pertamanya, langsung menyapa Keisha.

“Bang Rey!” seru Keisha senang ketika layar ponselnya sudah menampilkan wajah Reyhan. “Kangennn!”

Reyhan tersenyum lebar dengan ekspresi yang sama dengan Keisha. “Sama, Abang juga!”

Kakak sulung Keisha terlihat tampan dengan jas kerjanya. Sekarang, ia sedang bekerja di Jepang untuk membantu bosnya mengurus kantor pusat. Sudah 4 bulan ia meninggalkan Indonesia, dan baru dikabarkan kembali 2 bulan lagi.

Meskipun begitu, Reyhan tetap memanjakan Keisha dari jauh. Kerap kali pria itu mengirimkan uang jajan, bahkan hadiah dari sana.

“Abang kirim sesuatu buat kamu.” Benar, kan. Kali ini pun Reyhan memanjakannya.

Keisha langsung berteriak antusias. “Apa, Bang?!”

“Ada, deh! Kamu bisa tebak nggak?” Tidak lama, ekspresi Reyhan yang terlihat sangat senang itu, berubah menjadi menyelidik. “Bentar, kamu di mobil? Sama siapa?”

Wajah Keisha menegang. Saking antusiasnya mendapat telepon Reyhan, Keisha jadi lupa kalau sedang bersama Kenzie. Ia meneguk air liurnya yang terasa pahit.

‘Sial! Bang Rey gak boleh tahu soal—’

“Hai, Rey.”

Baru Keisha berniat menjauhkan ponselnya, Kenzie sudah keburu muncul di layar sambil mengeluarkan senyum khasnya. Namun, entah kenapa Keisha malah merasa pria itu sedang menantang Reyhan.

Alis Reyhan menyatu. Wajah bingungnya kentara jelas. “Kok, kalian jalan bareng?!”

“Emang kenapa? Kan kita—”

Keisha langsung membungkam mulut Kenzie dengan telapak tangannya. Ia juga mengode lewat matanya agar Kenzie diam.

“Eh, i-itu, Bang… tadi kita habis cari referensi! Nah, iya bener! Cari referensi buat tugas. Iya, kan, Bang Kenzie?” Kepala Keisha menoleh ke arah Kenzie, mengedipkan sebelah mata agar Kenzie paham maksudnya.

Namun, pria itu tidak langsung menjawab.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status