All Chapters of Bakti Seorang Menantu : Chapter 151 - Chapter 160
221 Chapters
151. Ditahan bagian B.
"Mala, bagaimana selanjutnya?" tanya pak RT dengan suara yang lembut. Beliau memandang ke arahku yang baru saja menjatuhkan bokongku di sebelah bu RT. "Seperti yang saya bilang, Pak RT. Semua telah saya serahkan ke pihak yang berwajib. Jadi semua sudah bukan urusan saya," sahutku mencoba tetap dalam planing awalku. "Cih, keras kepala sekali kali kamu Ma—" "Bu!" bentak bapaknya Helen. Mulut ibunya Helen berhenti saat masih menganga, entah akan mengucapkan apa. Namun, karena pelototan dari lelaki berbaju koko di sebelahnya, wanita itu seketika mingkem tak melanjutkan ucapannya. Padahal aku sangat penasaran dengan apa yang akan berbunyi dari mulutnya. "Diam coba! Kita disini mau meminta kebijakan dari Mala, kamu malah terus teriak-teriak tidak berguna. Diam dan dengarkan," ketusnya, sepertinya bapaknya Helen sudah kesal. Sama seperti aku. Ibunya Helen sama ibu mas Rahman kenapa klop banget gak tau dirinya. Astaghfirullah. Aku mengusap dadaku seketika. Suara motor dengan knalpot yang
Read more
152. Belum ada jalan keluar bagian A.
Belum ada jalan keluar bagian A. "Jadi jelas, ya semua. Kakak saya ini TIDAK AKAN MENCABUT LAPORANNYA! Semoga dan ibu mengerti apa yang saya lakukan," tutur Aisyah dengan angkuh. gadis berusia tujuh belas tahun itu menyandarkan tubuhnya di pintu yang terbuka lebar. "Dzolim sekali sama orang. Puas, ya? Kalau melihat orang menderita. Tampilan agamis tapi julid," gerutu ibunya sambil mendelik ke arah Aisyah. "Kalau begini kan jadi sepuluh sebelas sama, Ibu. Tampilan, Ibu juga sosialita pengajian, berbaju syar'i tapi sayang, gak bisa menjaga bicaranya sama orang lain," balas Aisyah tak kalah pedasnya. "Sudah, Apakah!" tegurku. Meski aku setuju dengan ucapan Adik bungsuku itu, namun aku tak akan mengambil kesempatan dengan membiarkan Aisyah mengata-ngatai orang yang usianya lebih tua darinya bahkan dariku. Emak dan abah sangat menjunjung tinggi tentang adab. Seandainya sekarang mendengar atau melihat Aisyah selancang itu, sudah pasti akan kena omel keduanya. Aisyah langsung memutar bo
Read more
153. Belum ada jalan keluar bagian B.
Part : Belum ada jalan keluar bagian B."Abang minta maaf, La. Atas kesalahan Eni sama kamu," ucapnya lagi. Entah yang keberapa kali bang Anton minta maaf sejak setengah jam duduk di terasku. Aku tak menjawabnya. Semua orang minta maaf dan ingin dimaafkan. Apalagi alasannya anak. Aku harus bagaimana? "Kalau begitu, kita ke kantor polisi saja," ucap ibunya Helen sambil bangkit. Lalu kedua orang lainnya ikut bangkit. Hanya bapaknya Helen dan pak RW yang menyalami kami sebelum pamit. Ibunya Sarah tanpa sepatah kata pun berlalu meninggalkan dua orang lainnya. "Ton, sana ke kantor polisi. Bebaskan istrimu, anak-anakmu nanti terlantar. Ibu malas sekali ribet lagi," ucap ibu. Ia keberatan untuk mengurusi ketiga cucunya. "Biar di sini sama Mala sa—" "Tentu saja, memang seharusnya begitu, kamu yang bikin ulah. Ya, kamu yang harus mengurusi cucu-cucuku. Kan ibunya kamu yang penjarakan," sahutnya. Padahal aku belum selesai berbicara.Ya … Tuhan, bolehkah aku bilang ingin wanita tua dihadapa
Read more
156. Jadilah manusia yang punya empati.
"Onty, mana Ma?" tanya Nayla. Anak gemil itu sedang disuapin oleh Aisyah sambil menonton film kartun di tv."Nanti juga pulang. Nayla malam ini nginep sama onty aja, mau?" tanya dengan memandang lekat wajahnya."Nay, mau pulang onty. Nanti anterin abis makan. Mau cari Mama. Tadi pagi mama dibawa polisi," ucapnya lagi. Aku memejamkan mataku. Nayla dan kedua kakaknya juga Wulan akan terlantar hanya karena keegoisanku? Apa yang kamu lakukan Mala? Tuhan….Aku harus bagaimana? ———RatuNnaKania———Aku masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuhku. Kupandang lekat langit-langit kamarku seolah-akan ada jalan keluar dari sana. Celotehan Nayla terdengar begitu jelas. Gelak tawanya, dan cara dia merajuk saat kudengar Aisyah menjahilinya. Balita itu begitu polos, bahkan sejak tadi sudah minta diantarkan pulang. Kedua kakaknya sepertinya pulang bersama bang Anton tadi. Apakah mereka sudah makan? Ada rasa khawatir di benak ini. Akh, aku jadi dilema. Kuraih ponselku lalu menekan nomor suamiku. Ku
Read more
157. Di rumah Mala bagian A.
Berkumpul di rumah Mala."Sepuluh juta?!" Serentak ketiganya mengulang nominal yang aku sebutkannya. Aku hanya memasang senyum bahagia, membayangkan tiga puluh juta di depan mata. Sedangkan ipar dan mantan pacar suamiku mereka saling pandang satu sama lain. "La, sini sebentar," panggil Eful sambil menepuk pundakku. Tanpa menunggu jawabanku Eful telah berlalu kedepan. Ia menuju ke sebuah warung di samping kantor polisi yang sedang lenggang."Mau minum apa?" tanyanya saat aku mulai mendudukkan diri di sebuah kursi tepat di hadapannya. Aisyah, Bu RT dan pak RT ku minta menunggu sebentar. "Teh botol aja," sahutku. Karena aku sangat suka dengan minuman instan itu. Jadi dimana pun dan apapun makanannya minum lnya tetap, Eh—"La, kamu gak boleh ngomongin masalah uang damai di kantor polisi!" ucapnya dengan menatap lekat wajahku. Serius sekali tatapan adik sepupuku itu. "Oh, aku hanya bercanda, Ful. Hanya menggertak mereka, beneran deh!" kilahku dan memang tak terpikirkan sebelumnya meski
Read more
158. Di rumah Mala bagian B.
"Iya, Is. Abah sama emak menyarankan untuk mencabut laporan ini dan memaafkan semuanya. Ya, mau bagaimana lagi kondisinya kan memang tidak mendukung, kalau tetap dilanjutkan pun. Semalam kamu tahu sendiri Nayla seperti apa? Wulan seperti apa? Ibu bagaimana? Teteh, bingung jadinya. Makanya sudahlah kita hentikan saja tapi nanti kan kita akan bikin beberapa poin-poin tertentu agar mereka tidak melakukan hal ini kembali dan merugikan, Teteh!"3 "Haruslah, biar jera. Lagian seenaknya saja memfitnah orang di media sosial," sungut adikku. Kalau sudah dijelaskan bawa kata Emak dan Abah, maka gadis itu tak akan banyak protes.Aku pun masuk ke dalam kantor Polisi untuk mencabut laporanku. Dan pak RT, Aisyah dan bu RT mereka menemui Helen dan kedua iparku untuk menjelaskan bahwa akan ada kesepakatan damai. Jadi mereka pulang akan bareng dengan kami dan langsung ke rumahku untuk membicarakan syarat-syarat perdamaian yang akan aku minta. "Terima kasih, ya La. Aku disana baru beberapa jam saja, l
Read more
159. Tiga puluh juta rupiah.
Part 159. Tiga puluh juta."Cih! Sudah jelas anakmu yang sering datang ke rumahku dan bilang masih mencintai Rahman. Begitu kan, Helen?" tanya ibu sambil menatap lekat ke arah perempuan berambut pirang yang duduk paling pojok itu. Wajah Helen pias seketika. Mungkin ia tak menyangka akan ada permintaan seperti itu. "Helen!" panggil ibunya dengan pelototan yang seakan mau menerkam wanita itu. "Ibu, Aku—" ———RatuNna Kania———Helen tergagap mendengar perkataan ibu. Mungkin ia tak menyangka kalau mertuaku bisa juga memojokkannya. Ibu yang mana yang akan diam jika anaknya dihina seperti tadi, aku pun sudah berniat menjawab ucapan-ucapan ibunya Helen. Tapi aku kalah gesit dengan ucapan ibu. "Jawab, Helen! Kenapa mendadak gagap?" bentak ibunya. Kulihat Helen menyurai rambut pirangnya dan menatap ke arah ibunya. "Apaan sih, Bu.""Apa benar yang dikatakan oleh bu Samirah itu?" tanya ibunya lagi dengan tatapan menghunus. Aku tidak tahu ada apa dengan ibunya Helen. Apa membenci mas Ra
Read more
160. Wani Piro?
Part 160. Wani Piro ?"Kak Eni, tunggu!" teriakku, karena kakak iparku itu telah naik ke motor suaminya dan hendak pulang. "Apalagi?" kehebatannya. paling jelas belum memudar."Aku lupa sesuatu," ucapku sambil menghampirinya. "Apa? Cepetan aku dah ngantuk," katanya dengan judes. "Siapa yang mengirim fotoku dan bang Anton di Kakak?" ——RatuNna kania——"Wani Piro?" tanyanya dengan wajah menyebalkan. "Serius, Kak! Kalau nggak—""Kalau nggak mau apa? Hah?! Urusan kita sudah kelar. Dan kalau mau tau siapa si pengirim foto tersebut. Bayar dulu sepuluh ju—ta!" katanya dengan memelototkan matanya. Allah, rasanya ingin ku cakar mulutnya itu. Dan kenapa aku bisa lupa hal sepenting ini. Kini aku balik di minta duit sama kak Eni. Cerdik juga iparku itu ternyata. Dia minta kembali uangnya. Tidak begitulah. Nanti juga ketahuan siapa si pengirim foto itu. Daripada uang sepuluh jutaku hilang kembali. Mending aku tidak tahu sekalian. Iya kali, demi mengetahui siapa biang keroknya, aku
Read more
161. Kembalikan uangnya, kasian.
Part 161. Kembalikan uangnya, kasian."Mala, kamu mau apakan uang tiga puluh juta itu?" tanya ibu. Oh, rupanya dari tadi ibu mau membahas uangku. Hingga menunggu suasananya sepi seperti ini. Pantas saja ibu bertahan di dinginnya semilir angin malam ini, ternyata ada maksud tertentu. "Mala, belum tahu, Bu. Nanti Mala coba tanyakan sama Mas Rahman dulu.""Kamu kurangilah uang kompensasi si Eni. Kasian dia. Bila perlu kembalikan!" ucap ibu. "Maksudnya?" tanyaku sambil memandang ke wajah tuanya. Kulit yang mulai keriput menampilkan gelambir di leher dan dibawah kelopak mata. Wanita tua yang melahirkan suamiku itu, mencoba menego lagi denganku. Padahal persoalannya sudah selesai. Bahkan kak Eni dan bang Anton tak mempermasalahkan. Kenapa ibu kembali membicarakannya. Huft."Kamu tau sendiri ini kehidupan Eni kan? Masih belum punya apa-apa. Bahkan rumahnya pun masih ngontrak dan kadang-kadang tak bisa bayar. Apa kamu tidak kasihan dengan meminta uang sepuluh juta sebagai kompensasi pada Ka
Read more
162. Ponsel Baru.
Bagian 162. Ponsel Baru. "Bu Usman, Mau?" "Boleh deh. Gak usah banyak-banyak," ucapnya sambil tersenyum bahagia. Aku mengambil lima belas biji rengginang dan memasukkannya ke dalam plastik kemudian menyodorkannya pada tetanggaku itu. "Tanggung amat ini nanti menggorengnya," gerutunya sambil mencebik. Allahuakbar. Rengginang di nampan banyak sekali belum kering pula. "Tadi, Bu Usman, bilangnya jangan banyak-banyak. Sekarang bilang tanggung!" Aku menautkan alisku heran. "Ya, maksudnya e—anu," ucapannya terhenti sambil matanya di seisi dapurku. Mungkin dia masih mencari sesuatu. "Kamu lagi makan, La?" tanyanya. Pandangan terhenti di atas meja, tepatnya di piringku. "Iya, Bu Kami. Aisyah membuatkan nasi goreng," ucapku. "Ibu suka nasi goreng juga, kebetulan belum sarapan, masih ada?" "Bu Usman, mau?" Ia mengangguk dengan mantap. Aku mengambil piring dan membagi dua nasi yang terhidang yang baru sempat aku makan satu suap aja. Telur ceploknya pun ku bagi dua. "Tidak apa-apa, Ibu
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
23
DMCA.com Protection Status