Semua Bab DIA AYAHKU: Bab 71 - Bab 80
111 Bab
Part 71
"Kak, dia datang," seru Mita. Aku bergegas melangkah ke ruangan Hana. Mencoba menghindar dan bersembunyi dari pria yang pernah mengisi hatiku itu. Aku sengaja meminta siapapun yang pertama kali melihatnya, meski masih di parkiran untuk segera memberitahukan kepadaku.Aku juga berpesan agar mereka mengatakan bahwa hari ini aku tidak masuk kerja. Terserah dia mau mencariku kemana. Untuk saat ini, paling tidak untuk hari ini, aku bisa benar-benar terbebas dari usahanya meyakinkanku lagi. Ada hati yang begitu lembut yang benar-benar harus kujaga. Aku tak ingin hari bahagia ini hancur berantakan begitu saja. Aku juga tak mau lagi kembali berdiam-diaman dengan Paman yang saat ini, jelas-jelas sudah jujur tentang perasaannya. "Main kucing-kucingan terus. Mau sampai kapan?" ketus Hana sembari memainkan jemarinya di layar ponsel dan bersandar di kursi empuknya. "Sampai dia menyerah," balasku singkat. "Kau yakin tak ingin memaafkannya?" kacamatanya sedikit diturunkan seperti nenek-nenek ya
Baca selengkapnya
Part 72
"Oh, kelihatannya dia sudah pergi," dia melupakan sejenak ucapannya tadi. "Akan kupotong gajimu jika kau tak bergegas ke meja kasir," ketusnya lagi. Sontak aku berdiri dan mendekatinya. Kupeluk sekilas tubuh mungil itu dan menempelkan pipiku ke pipi nya. "Ish... menjijikkan," dia kembali berdesis. Kelakuannya tak pernah berubah sedari dulu. Namun aku tetap saja melakukannya, karena ku tahu dia juga menyayangiku hingga masih setia mendampingiku hingga hari ini. Aku kembali keluar dari ruangan Hana setelah yakin bahwa motor sport merah itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Dengan perasaan lega, aku kembali ke meja kasir dan duduk bersandar di sana. .Hari mulai sore, aku mempercepat waktu menggantikan seragam oranye terang itu dengan pakaian yang kupakai saat berangkat pagi tadi. Aku berdiri sambil memegang helm di teras kafe, menantikan Paman yang akan segera keluar dari kantornya. Tak seperti biasanya, aku menghabiskan waktu bersantai di kursi dalam, menantinya yang mungkin akan s
Baca selengkapnya
Part 73
Hujan kian deras saat kami hampir sampai. Langit sore tertutupi awan gelap dan berubah seperti hari hampir malam. Aku melepaskan ikatan tanganku dari pinggang rampingnya sebelum memasuki pagar, karna tahu Ayah sedang menunggu dari teras rumah. Sungguh aku belum siap jika Ayah sampai melihatnya. Paman melajukan sepeda motor sampai ke dalam, sementara aku masih berjalan mengunci pagar dengan gembok. Wajah Ayah berdiri tercengang melihat aku dan Paman basah kuyup. Sementara wajahku dan juga Paman juga ikut tercengang melihat Ayah kini berdiri bersisian bersama Andar. Ayah tergesa masuk ke rumah, mungkin mengambilkan handuk untuk kami. Lagi-lagi wajah Paman terlihat berubah. Dan itu menakutkan. Setidaknya bagiku. Andar menatapku dengan tatapan sendu. Seperti merasa tak rela melihat aku dan Paman dalam posisi seperti ini. Kehujanan dan basah. Pandangannya kemudian dijatuhkan ke bawah. Mungkin juga tak suka. Ah entahlah. Aku hanya bisa menerka-nerka, tanpa tahu apa yang sedang mereka pi
Baca selengkapnya
Part 74
"Minumlah tehnya. Kau sudah lama datang?" tanyaku berbasa-basi. Bagaimana pun aku sudah berjanji untuk tak mengacuhkan jika berada di dekatnya. Untuk itulah aku lebih berusaha menghindari atau tak bertemu langsung dengannya. Dia masih diam saja. Tak banyak bicara seperti biasa. Lalu mengambil cangkir teh dan meminumnya. "Kalian terlihat canggung," tegur Ayah. "Bicaralah padanya, apa yang tadi kau katakan padaku. Aku dan Harun akan membiarkan kalian bicara dengan nyaman."Eh? Kenapa Ayah seperti memberikan kami kesempatan. Wajah Paman kian memerah. Bukan bersemu karena malu, tapi terlihat marah dan cemburu. "Ayo, Harun. Kau bisa pinjamkan aku laptopmu?" Ayah bangkit dan berjalan ke arah belakang, menuju kamar Paman. Paman juga bangkit dan mendekatiku. "Ingat janjimu," ucapnya setengah berbisik, lalu memandang sekilas ke arah Andar dengan tatapan tak sukanya. ."Kau memblokir nomorku!" ketus Andar sambil memalingkan wajah. Dia benar. Aku sengaja melakukannya. Aku tak ingin memberik
Baca selengkapnya
Part 75
Hari ini aku merasa sangat gembira. Om Dimas benar-benar puas dengan hasil kerja Ayah. Segepok upah sudah Ayah terima. Kini Ayah benar-benar menepati janjinya untuk mengajak aku dan Paman berbelanja. Aku keluar setelah berdandan rapi, mengikat rambut seadanya. Kulihat Ayah tersenyum padaku dengan wajah yang begitu ceria. Binar matanya menunjukkan kebahagiaan yang mungkin sudah lama tak ia rasakan. Sudah hampir lima tahun lamanya sejak uang Ayah habis, dia tak pernah lagi menafkahi kami. Jangankan untuk membeli pakaian, untuk belanja sehari-hari pun aku dan Ibu yang mengusahakan. Kini, wajah penuh rasa bersalah itu berangsur pulih. Kian memancarkan rona bahagia di wajah tuanya. Ayah terlihat sangat santai. Seperti biasa, memakai celana bahan dan hanya kaos berkerah. Tak ada bedanya dengan penampilanku hari ini. Besok aku sudah mulai masuk kuliah lagi. Ayah ingin melihatku memakai setelan yang serba baru. Dia bilang aku boleh mengambil apapun yang aku mau, tanpa memikirkan bagaiman
Baca selengkapnya
Part 76
"Terima kasih, Yah." Aku merangkul dan menyandarkan kepala di bahu Ayah. Ayah tersenyum sambil mengusap kepalaku. "Ajaklah Pamanmu naik. Pilihkan dia beberapa setel pakaian. Belikan juga untuk Ayah, ya? Ayah mana kuat untuk naik ke atas.""Iya. Ayah duduk saja di kursi tunggu. Biar tidak terlalu lelah," usulku. Aku dan Paman naik ke lantai atas. Melewati lantai dua, tempat pakaian anak-anak, sepatu dan juga tas. "Bagaimana dengan tas mu?" Paman mengingatkan, begitu aku berjalan terus melewatinya. "Nanti saja, kita cari pakaian Paman dan Ayah dulu.""Kau akan pilihkan untukku?" dia berbisik saat mensejajarkan diriku menaiki anak tangga menuju lantai tiga. "Kenapa? Aku sudah hafal cara berpakaian Paman," ucapku penuh percaya diri. "Aku merasa kita ini seperti pengantin baru," bisiknya lagi. Pipiku bersemu mendengar gombalannya. "Paman bicara apa? Nanti di dengar Ayah," aku ikut memelankan suara. "Memangnya Ayah kau supermen? Bisa mendengar dari jarak yang jauh?" lagi-lagi wajah
Baca selengkapnya
Part 77
Aku membongkar semua belanjaan yang tadi dipilihkan Ayah. Mencoba satu persatu dan harus berputar-putar menunjukkan hasilnya di depan Ayah. Ayah begitu bahagia, hingga tawanya membuat pipinya seketika merona. Ada rasa puas yang terpancar. Dia menarik nafas lega, seolah baru saja keluar dari situasi sulit. Kupeluk tubuh Ayah dengan perasaan yang bercampur aduk. Jelas aku merasa bahagia, namun tentu saja air mata masih tetap menggenang di pelupuk mata. Ayah terus saja mengusap rambutku, seolah mengerti dengan apa yang aku rasakan kini. "Sarah?" tegurnya. "Mmmm... " aku bahkan tak sanggup menyahut. "Boleh Ayah meminta ijin kepadamu?" Ayah seolah-olah takut kalau aku akan tersinggung. Firasat di hati sudah berbicara. Aku tahu apa yang ingin Ayah sampaikan. Seperti apapapun perbuatan seseorang, dia masih tetap menjadi tanggung jawabnya. Dimana lagi kau bisa menemukan laki-laki sehebat ayahku. Bahkan dalam keadaan terjepit, dia masih memikirkan soal kewajibannya. Aku terisak. Pelukan
Baca selengkapnya
Part 78
"Cepatlah bersiap. Ayah mana?" tak kulihat Ayah yang biasanya bersantai bersama Paman. "Bersiap kemana? Bukankah Ayahmu bilang dia membatalkan niatnya?""Apa maksud Paman? Uang buat Dara?" Paman mengangkat bahu. Aku bergegas menyusul Ayah. Dia pasti belum keluar kamar sejak tidur siang tadi. Aku sedikit mengetuk pintu. Kemudian menekan ke bawah handelnya. Kubuka sedikit pintu dan mengintip ke dalam. Kutemukan Ayah masih berbaring miring menghadap tembok. "Ayah masih tidur?" kulangkah kan kaki guna menanyakan perihal yang dikatakan oleh Paman tadi. "Yah," kuguncang sedikit lengan Ayah. Dia bergerak dan membalikkan badan agar terlentang. Ada yang berbeda dari wajah Ayah. Matanya kini terlihat semakin sembab. Seperti habis menangis sesenggukan. Tak seperti saat siang tadi saat aku membahas soal Dara. Masih ada sisa-sisa air mata yang masih membekas di bulu-bulu dan sudut matanya.Apalagi yang sudah terjadi. Adakah hal-hal tak mengenakkan yang kini bersemayam di hatinya? Adakah hal
Baca selengkapnya
Part 79
Sejenak aku kembali teringat akan perkataan Ayah. Bahwa tidaklah benar jika kita menilai kesalahan seseorang, hanya dari satu sisi saja. Apapun masalahnya, tetaplah harus mendengarkan penjelasan dari masing-masing pihak. Oleh sebab itu, aku mencoba tuk menguatkan hati. Mengorek kembali luka lama, yang semula telah aku dan Ayah coba lupakan. Malam itu, disaksikan hujan deras dan kilatan petir bersahut-sahutan, kubiarkan Andar menjelaskan apa yang ingin diungkapkannya. Sesuatu yang sudah lama ingin kudengar, namun tertahan saking tak sanggupnya lagi untuk membahasnya. Ribuan pertanyaan dan kisah itu, bak sebuah gunung yang menekan hati dan perasaanku. Tinggal menunggu kapan akan meletus dan memporak-porandakan selurih isinya. Lalu menunggu, apakah aku yang menjadi korban keganasannya, atau malah yang kelak akan menikmati hasil dari proses alamnya.Malam itu, aku membiarkannya bicara. Tentang suatu masa, dimana aku dan dia sama-sama menderita. Tentang sebuah cerita yang membuat takdir
Baca selengkapnya
Part 80
Aku menutup wajahku dalam tangisan sampai di kisah itu. Menahan sakit, membayangkan bagaimana Ayahku terpental jauh dan membentur apapun yang melukai kaki dan juga kepalanya. Namun demi menyelesaikan sesak di dada yang kian menguap, seperti kabut yang menutupi rongga nafas, aku mencoba untuk menahan. "Lanjutkan!" perintahku, sembari mengusap air mata yang sebenarnya tak ingin lagi aku tunjukkan.Lagi, dia kembali meneruskan kisah itu. Andar yang sudah beranjak remaja sungguh terkejut dengan sesuatu yang menimpanya. Mobil yang dia pergunakan langsung berbelok arah dan banting stir, kemudian menabrak pembatas jalan. Luka di dahi mengucur keluar karena membentur kemudi. Mungkin tepat dimana aku juga melakukan hal yang sama padanya tempo hari. Dia keluar dan sempat melihat kondisi Ayahku. Dia panik dan tak tahu harus berbuat apa. Apa yang menurutmu dipikirkan oleh seorang yang masih berusia bahkan belum genap sembilan belas tahun. Bertanggung jawab dan langsung menolongnya? Berteriak da
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
12
DMCA.com Protection Status