Semua Bab BUKAN MENANTU KAYA: Bab 41 - Bab 50
67 Bab
Diusir
Satu minggu ini, aku terpaksa mendiamkan Mas Hasan. Bukan karena benci, tapi lebih ke menyuarakan ketidaksetujuan sikapnya yang kukuh tak ingin pulang menengok mamah. “Mau sampai kapan sih, Adek diemin Mas?“ tanyanya saat aku tengah menggoreng bakwan jagung. Dia menatapku sambil menopang dagu. Aku segera mengambil kertas catatan dan pulpen di atas kulkas untuk menjawabnya.[Sampai Mas mau pulang ke Cianjur. Titik.]Aku menyerahkan kertas itu. Mas Hasan membacanya dengan wajah merengut, diakhiri helaan napas panjang.“Oke Deh. Besok kita ke Cianjur. Mas nggak tahan didiemin terus,“ katanya sambil tersenyum miring membuat senyumku terbit seketika.*Angin berembus cukup kencang. Kusingkap gorden, menanti kepulangan Mas Hasan. Sudah pukul dua belas malam dan Mas Hasan belum kunjung pulang. Sudah kukirim pesan, tapi belum dia baca. Tak biasan Mas Hasan pulang lebih dari pukul sepuluh.Tak lama terdengar suara gerbang disusul deru motor Mas Hasan. Kuputar anak kunci, lalu menunggunya di a
Baca selengkapnya
Kedatangan keluarga Mas Hasan
Kurebahkan punggung di sofa panjang seraya mengelus perut yang belum begitu membuncit. Kandunganku berusia enam belas minggu dan bukan hanya satu, tapi ada dua janin yang tumbuh di rahim ini. Kami sangat spechlees saat dokter memperlihatkan hasil usg. Mas Hasan tak hentinya menghujani punggung tanganku dengan kecupan. Mas Hasan juga semakin memanjakanku. Semua keinginanku selalu dia turuti. Termasuk memakai jasa ART yang pulang pergi setiap harinya. Art yang juga tetangga jauh kami.“Assalamualaikum.“Suara Bi Irah membuatku beranjak duduk. Bi Irah yang membantuku setiap harinya datang membawa rantang dua susun di tangannya.“Waalaikumussalam,“ jawabku.Dia langsung meletakkan rantang di meja. Aku mengernyit heran. Hari ini idul adha dan aku menyuruhnya berhenti sampai hari tasyrik usai.“Bibi ke sini buat nganterin ini, Neng. Neng cobian geura. Lontong sama opor,“ katanya seolah tahu isi hatiku.Aku tersenyum, “terimakasih, Bi.““Mau makan sekarang, Neng? Kalau mau, biar bibi ambili
Baca selengkapnya
Permintaan maaf Rika
“Seburuk apapun sikap Mamah, dia tetap Mamah saya. Saya akan menerimanya dengan tangan terbuka.“Ucapan Mas Hasan membuatku mematung sejenak. Aku memang tak tahu duduk permasalahannya. Tapi dari jawaban Mas Hasan, dapat kusimpulkan kalau mereka memang sudah angkat tangan mengurusi Mamah.“Maaf, Kang. Sebenarnya Hadi juga tidak keberatan mengurus Mamah, tapi Rika sibuk mengurusi bayi dan Yanti juga sedang hamil tiga bulan. Hadi tidak bisa menghandel Mamah dengan full---““Tak usah banyak alasan. Kalau tidak bisa, ya tinggal bilang tidak bisa. Nggak usah membuat macam-macam alasan.“ Mas Hasan memotong perkataan Hadi.“I-iya Kang,“ sahut Hadi terbata. Aku menatap Hadi dan Yanti bergantian. Masih penasaran kenapa mereka bisa sampai menikah. “Kalau Haikal sama Ningrum sih kan sudah kebagian ngurus Mamah. Dari awal struk sampai sekarang, kami yang ngurus Mamah,“ ujar Haikal dengan entengnya.“Ngurus kurang lebih dua bulan,“ sahut Mas Hasan sambil berdecak sinis.“Ya tapi kami sudah berjasa
Baca selengkapnya
Perawat Mamah
Hadi dan Haikal datang kembali membawa barang-barang Mamah. Bukan barang-barang, lebih tepatnya pakaian. Aku agak heran karena perhiasan Mamah yang lumayan banyak tak mereka bawa. Walau heran, tapi untuk menanyakannya aku tak berani.“Kang, Mamah sehari-hari pake pampers. Itu masih ada dua ball lagi,“ kata Haikal. Mas Hasan hanya menatap adik keduanya itu datar.“Obatnya mana?“ tanyaku.“Obat apa, Teh? Mamah nggak pake obat-obatan. Obat-obatan nggak baik, bisa bikin syaraf rusak.“ Haikal menjawabnya dengan judes. Aku hanya mengetes mereka berdua, karena sebenarnya aku sudah tahu dari Rika kalau Mamah memang belum pernah dibawa berobat ke mana pun. Tapi untuk alasannya, Rika tak memberitahu kami.“Perhiasan Mamah mana?“ tanya Mas Hasan. Tangannya membuka tiga buah tas berisi pakaian Mamah.“Dipinjem dulu sama Hadi, Kang. Tapi Kakang tenang aja, dua bulan lagi Hadi ganti,“ jawab Hadi dengan entengnya.“Dipinjem? Buat apa?“ tanya Mas Hasan dingin.“Buat biaya buka toko cabangnya Yanti. T
Baca selengkapnya
Ikhtiar
Setiap hari aku dilanda kegelisahan. Bukan karena sikap Mamah yang masih garang, tapi karena Oneng. Kini dia memang berhijab, tapi pakaiannya semakin ketat. Sudah satu minggu Oneng bekerja dan belum ada kesalahan fatal yang dia lakukan selain sering mengerlingkan mata pada Mas Hasan. Aku cemburu, takut. Lebih takut dari saat Yanti mendekati Mas Hasan. Terlebih dia mampu mengurus Mamah dengan baik. Mamah terlihat nyaman di dekatnya.“Mikirin apa sih, Dek?“ tanya Mas Hasan yang baru masuk ke kamar. Dari bakda isya, Mas Hasan selalu menemani Mamah dan akan ke kamar setelah Mamah tidur.“Nggak apa-apa, Mas.“ Aku menjawabnya dengan gamang.“Dek, besok suruh Oneng berhenti,“ kata Mas Hasan.“Loh kenapa Mas?“ tanyaku bingung.“Dia nggak bener, Dek. Pamper Mamah diganti pas pagi aja,“ jawab Mas Hasan. Bibirnya mengerucut kesal.“Masa sih Mas?““Iya, Dek. Mamah yang bilang. Oh iya, Mamah pengen berobat katanya. Tolong cariin rumah sakit yang bagus ya, Dek.“ Mas Hasan berkata sambil melepaskan
Baca selengkapnya
Turun tangan
Waktu terasa berjalan lama. Satu bulan sudah Mamah tinggal bersama kami. Selama satu bulan, total enam perawat yang angkat tangan karena sikap menyebalkan Mamah. Aku dan Mas Hasan dilanda kebingungan. Mau cari perawat lagi, sudah pesimis duluan.Saat tengah memikirkan solusi ke depannya, terdengar suara bel. Aku dan Mas Hasan sambil melempar pandang. Permasalahan Mamah membuat kami mager luar biasa. Bi Irah yang sedang menyapu akhirnya membukakan pintu.“Assalamualaikum.“Mataku reflek berbinar mendengar suara-suara itu.“Waalaikumussalam.“Aku menjawabnya dengan semangat. Segera kuhampiri mereka. Ammah dan Apa memelukku bergantian. Begitupun dengan Mas Hasan.“Kok nggak bilang dulu sih Ammah, Appa?“ tanyaku seraya mengamit lengan Ammah, mengajak duduk.“Sengaja,“ jawab Ammah. Aku tertawa pelan. Mas Hasan membantu Appa membawakan barang bawaan, setelah itu membawa Mamah dari kamar.“Masya Allah Besan ... alhamdulillah bisa ketemu,“ ucap Ammah. Mamah hanya tersenyum tipis. Ammah terse
Baca selengkapnya
Kasar
“Mamah pipis?“ tanyaku. Mamah mengangguk dan tersenyum lebar seolah tak bersalah. Bibirku mengerucut kesal. Lagi-lagi Mamah begitu, pipis sebelum dipakaikan baju. Padahal tadi saat mandi, beberapa kali aku menanyainya barangkali mau pipis atau BAB. Tapi Mamah hanya menggelengkan kepala.“Nanti lagi pipisnya di kamar mandi dong, Mah. Jadi bau pesing lagi kan,“ kataku sambil meraih tisu basah dengan ragu. “Ada apa Neng?“ tanya Bi Irah. Dia masuk untuk membersihkan kamar Mamah.“Mamah nih, mau aku pakein baju eh pipis di kasur. Bau pesing lagi atuh,“ jawabku. Bi Irah membulatkan bibir.“Neng tunggu, biar Bibi bawa ember sama air ke sini,“ katanya sambil melangkah ke luar. Di kamar ini memang tak ada kamar mandinya, jadi Mamah harus dibawa ke kamar mandi dekat dapur.“Ini, Neng. Neng yang ngucurin air, Bibi yang nahan badan Ibu.“ Bi Irah memberi intruksi. Aku mengangguk, lalu meletakkan satu ember kosong di bawah Mamah. “Alhamdulillah,“ ucapku dan Bi Irah bersamaan. Aku sangat bersyukur
Baca selengkapnya
Berdusta
“Dek, Mamah belum dimandiin?“ tanya Mas Hasan. Aku yang tengah mengoles day cream pada wajah menoleh, menatapnya datar sambil mengendikkan bahu. “Dek ... Mas sungkan kalau harus mandiin Mamah. Tolonglah bantuin mandiin.“ Mas Hasan menatapku penuh iba.“Males ah. Nanti giliran aku didzalimi, aku juga yang disalahkan,“ sahutku ketus. Mas Hasan menghela napas panjang, lalu memelukku.“Maafin, Mas. Mas emang salah. Harusnya Mas tabayyun dulu,“ ucapnya. Aku mendorong tubuhnya pelan.“Bukan tabayyun, Mas. Tapi harus percaya sama aku. Udah jelas kok ada saksinya,“ sungutku.“Iya Dek, iya. Maafin Mas, ya.““Aku mau maafin Mas tapi dengan syarat.“ Mata Mas Hasan membulat sempurna.“Syarat apa?“ “Pasang kamera tersembunyi di kamar Mamah. Biar kita semua nggak suudzan sama Mamah.““Oke. Nanti siang kita beli.“Selama memandikan Mamah, aku menatapnya tajam. Aku juga mengancam akan mengirimnya ke panti jompo kalau dia berbuat kasar lagi. Mamah hanya menatapku datar dengan bibir terkatup rapat.
Baca selengkapnya
Membungkam Rika
“Kamu tahu dari mana?“ tanyaku menyelidik.“Dari hapenya Yanti.“ Rika menjawabnya sambil meringis.“Yang bikin heran itu, mereka pinter banget nyembunyiin pernikahan Kang Hadi. Di depanku bersikap manis, di belakangku mereka juga bersikap manis sama Si Yanti,“ lanjutnya diakhiri helaan napas kasar.Aku bingung harus menanggapi apa. Bukan waktunya aku mengatakan ’sabar’ karena Rika memang cukup sabar menghadapi ujiannya ini.“Aku penasaran kenapa Hadi mau sama Yanti? Dan sebaliknya,“ kataku. Rika tersenyum masam, tangannya bergerak menyeka sudut netranya.“Awalnya iseng karena patah hati ditolak Kang Hasan. Eh lama-kelamaan cocok. Kata Nuri sih gitu,“ jawab Rika dengan tegar. Lebih tepatnya tampak berusaha tegar.“Nuri jujur sama kamu?““Bukan jujur, Teh. Tapi aku pepet. Aku suruh dia cerita semuanya.“ Rika berkata dengan suara bergetar. Aku mengusap lengannya, “strong woman. Kamu itu strong woman.“Uwak Piah tersenyum. Dia juga mengusap lengan kiri Rika.“Mungkin ini karma, Teh. Karma
Baca selengkapnya
Mulai berubah
“Mas, tahu nggak gimana reaksi Rika pas tahu akun Es Lilin itu punyaku?“ tanyaku pada Mas Hasan.“Memang gimana?“ Mas Hasan menatapku intens.“Rika sepertinya syok, Mas. Aku nggak nyangka, kalau secara tidak langsung sudah membungkam kesombongannya di masa lalu,“ ujarku seraya tersenyum.“Tapi Adek jangan sombong seperti mereka. Adek harus tetap merunduk walau berada di puncak kesuksesan,“ sahutnya seraya mengusap rambutku.“Insya Allah, Mas.““Sudah malam, tidur yuk! Cape banget nih.“ Mas Hasan mematikan lampu, menggantinya dengan lampu tidur.Aku mengangguk. Menyimpan ponsel di laci lalu menyusul Mas Hasan yang tertidur lebih dulu.🌹Selepas shalat subuh, aku dan Rika ke kamar Mamah. Tak seperti biasanya, hari ini Mamah sudah bangun. Ia duduk di pinggiran ranjang sambil menginjakkan kaki ke lantai.“Kita jalan lagi ya, Mah,“ ajakku.Mamah mengangguk. Aku memapahnya dengan pelan. Aku bahagia melihat Mamah yang sungguh-sungguh ingin sehat.“Mau BAB nggak?“ tanyaku sambil mengguyur ba
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status