Semua Bab Ditinggal Suami Dinikahi Bos: Bab 21 - Bab 30
143 Bab
22. Sabar dan Syukur Tanpa Tapi
Manusia memang bisa berencana. Namun, hasil dari setiap rencana itu tetap hak prerogratif dari Sang Pemilik Semesta. Menikah, tinggal di kota dengan segala akses kemudahan dan memiliki buah hati adalah rencana awalku sebagai seorang perempuan. Terbersit pun tidak dalam benakku, jika dalam kurun waktu itu aku akan menempuh jalan cerita yang berbeda. Aku tahu kepergian Mas Baja bersama wanita itu sudah digariskan. Aku juga paham jika tiada satu hal pun yang luput dari campur tangan Tuhan. Namun, hatiku tetap tak mampu menerima dengan lapang kejadian yang silih berganti datang bak godam yang memukul keras kepala. Memaksa pusat kendali kesadaran itu berpikir terus menerus untuk mencari jalan terbaik. Menjadi lemah serta pasrah atau melawan untuk menang. Katanya hidup adalah pilihan. Aku belum yakin akan memilih yang mana.Tumpukan baju itu kupungut satu per satu. Sebuah koper berukuran sedang di lemari terpaksa kukeluarkan. Tak ada lagi yang perlu ditangisi juga sesali. Semua berakhir
Baca selengkapnya
23. Peluk
Teka teki kehidupan setiap manusia tidak pernah bisa terjawab dengan cara sederhana. Segalanya tampak rumit dan selalu menuntut usaha lebih dalam hal penyelesaian. Meski masih menjadi rahasia, aku tetap percaya jika jawaban dari teka teki hidup yang kujalani ini sebenarnya ada. Hanya butuh waktu terbaik untuk sampai pada masa itu.Yang hidup harus tetap hidup. Yang mati tetap akan ada di hati. Apapun yang akan terjadi nanti hidup tetap harus di jalani.Setelah semalam merenung, kuputuskan mengambil beberapa langkah ke belakang serta menyingkir dari kebisiangan yang ada. Saat mendengarkan ulang rekaman suara Akila yang terdengar gembira dengan tante cantik itu di sisinya, aku pun mantap untuk fokus pada kesembuhan ibu terlebih dahulu. Karena membagi konsentrasi dalam situasi seperti ini rentan menimbulkan ketidaksatabilan diri. Aku tetap harus menjaga marwah hidup yang telah kutempuh. Sebagai bentuk penghargaan atas perjalanan panjang yang melelahkan. Koper berukuran sedang yang s
Baca selengkapnya
24. Akila, Ibu dan Kebohongan
"Ibu! Ibu udah sadar?" tanyaku saat melepas pelukan dari tubuhnya. Ibu mengangguk lemah. Sontak aku mengukir senyum diiringi dengan air mata yang keluar tiba-tiba. "Alhamdulillah, Bu, Alhamdulillah." Kupandangi wajah ibu yang masih tampak sayu."Amira panggil dokter dulu ya, Bu," ujarku ingin segera melaporkan kondisi ibu. Ibu menggeleng. Beliau justru memintaku untuk tetap duduk di sisi ranjang miliknya. Aku pun mengurungkan niat. "Sini aja. Temenin Ibu," ucapnya masih dengan napas yang tersengal. Kesadaran ibu bak oase yang menyegarkan dahaga. Setelah beberapa hari menanti, separuh hatiku terasa lega. Setidaknya ada harapan untuk kesembuhan total ibu dalam perawatan ini. "Iya, Bu. Iya." Aku kembali duduk di kursi. Memegang tangannya serta mengusapkan pada wajah. Alhamdulillah."Akila. Akila mana?" tanya Ibu setelah menyapukan pandangan ke arah lain.Deg!Akila? Harus kujawab apa pertanyaan itu? Jantungku seakan diremas. Tak menyangka ibu justru merindukan cucunya. Aku pun mem
Baca selengkapnya
25. Sakit yang Terus Membelit Tarikan Nafas
Tak butuh waktu lama untuk menemukan kerudung pesanan ibu. Setelah memastikan kualitas serta harganya sesuai dengan uang yang kubawa, aku kembali ke rumah sakit. Ibu sedang duduk dengan tubuhnya tersandar pada tempat tidur khusus pasien itu. Selang oksigen di hidungnya juga sudah tidak terpasang. Sepertinya perawat datang dan membantu ibu melakukannya. "Ini Amira dah bawa kerudungnya, Bu," ujarku seraya melangkah ke sisi tempat tidur ibu.Ibu hanya mengangguk. Tatapannya masih saja kosong. Seperti orang yang benar-benar menantikan sesuatu. "Warna tosca, Bu. Ibu suka, 'kan?" Kurentangkan jilbab model bergo itu. Berharap ibu bisa menerima dengan senang. "Makasih, Mir." Aku tersenyum puas. "Amira pakaikan, ya, Bu?" Ibu pun mengangguk. Segera kupakaikan kerudung itu. Ibu tampak sangat cantik. "Ibu udah makan?" tanyaku saat ekor mata menangkap makanan khas rumah sakit di meja. Pasti perawat membawakannya. Kali ini ibu menggeleng."Mau Amira suapi, Bu?" tanyaku seraya menjangkah pirin
Baca selengkapnya
26. Bukan Salah Cinta
Kupu-kupu berterbangan di padang bungaMenggelepak indah tubuhnyaSilih berganti mencari tempat ternyaman untuk disinggahiMeski sejuta bunga itu memesonakan mataTak semua menjadi pilihan untuknya mencecap nektarAku tahu ini bukan yang pertama untukkuAku juga pernah merasakan jatuh cinta sebelumnyaNamun, getar yang terjadi kian menjadi setiap hariAmira ... Aku memang tak bisa menjanjikan bahagia akan terus menyertai cinta Aku juga belum tentu mampu memberikan semua yang kamu mau kelakNamun, aku akan terus mencintaimu. Karena hadirmu buatku seperti bumi yang merindukan hujan setelah kemarau panjangKau ... membuatku kembali berani menjalani hidup dan mendulang harapanSalam kenalBaja***Aku tersenyum membaca puisi itu. Mas Baja meletakkan pada buket lili yang ia pesankan khusus untukku. Langsung di tempatku bekerja.Pernikahan Mas Arhab sudah berlalu satu pekan. Ternyata ia ikut tinggal di rumah istrinya di luar jawa. Masih belum ada penjelasan dan kata putus di antara kami be
Baca selengkapnya
27. Mas Arhab
Mas Arhab kembali mengulas senyum. "Kalau kamu jujur pasti Ibu bisa paham, Mir.""Permisi Mbak, ini tehnya." Penjual meletakkan minuman hangat itu di atas meja."Makasih, Bu," jawab kami bersamaan."Jangan dikira ibu kamu tidak paham perihal masalah yang kamu hadapi. Bisa jadi setiap malam ibu kamu kepikiran. Namun, beliau berusaha menyembunyikan. Kadang orang tua kita itu sangat perasa. Ada masalah sedikit saja dengan anak-anaknya mereka tahu." Mas Arhab mengaduk teh hangat itu. Lalu menyeruputnya."Jangan berpikiran negatif dulu. Aku yakin ibu kamu akan paham." Aku mengamati teh hangat yang masih sedikit mengepulkan asap. Apa benar demikian? "Nasi gorengnya, Pak." Penjual kembali menjadi selingan obrolan kami. Aku mengulas senyum."Dimakan dulu, Mir." Mas Arhab menyingkirkan potongan cabe ke sisi piring."Lah, ngapain pesan yang pedas kalau masih gak suka cabe?" tanyaku. Setahuku Mas Arhab tidak bisa makan pedas."Biar nemenin kamu." Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ia terus
Baca selengkapnya
28. Mendarah
"Dulu Ibu selalu bilang sama bapak kamu untuk berhati-hati. Jangan sampai bermain api terlebih bapak memiliki seorang putri. Apa jadinya jika putri kami nantinya juga merasakan hal yang sama. Tapi, bapak kamu gak peduli. Seolah tidak ada hukum karma lagi di dunia." Ibu menjeda. Mengingat momen kebersamaan yang juga menyakitkan bersama Bapak. Sebelumnya Ibu tak pernah terbuka padaku."Bapak tak pernah mau mendengarkan. Hingga akhirnya kami memutuskan bercerai. Pedih, Mir. Teramat pedih. Ibu tahu meski itu keputusan yang terbaik. Tapi, tetap saja berpisah setelah menjalin hubungan lama, setelah mengetahui seluk beluk pasangan kita terasa sangat menyakitkan." Ibu menghela napas. Mengumpulkan energi untuk kembali berbicara."Maafkan Ibu, Mir. Maafkan Ibu. Karena kamu terlahir dari seorang Ibu yang tak bisa memberikan keutuhan keluarga. Seorang ibu yang tak mampu mengangkat derajat putrinya." Aku pun menggeleng. Menolak ucapan ibu segera. "Nggak, Bu. Enggak. Ibu gak boleh bilang begitu."
Baca selengkapnya
29. Hidup Itu Pilihan
Martia menautkan kedua alis. Menyadari siapa laki-laki yang mengucap salam tadi. Aku dan Martia pun menuju ruang tamu."Ini, Mir pesanannya," ujar Mas Arhab dengan membawa satu kardus minuman gelas merek ternama."Loh, kok, bisa Mas Arhab yang nganter?" Martia jauh lebih penasaran dibandingkan aku."Tadi Kang Asep lagi mau nganter pas saya lewat depan warung. Tapi ada yang beli juga. Rame, Mar. Jadi aku kasih bantuan." Aku dan Martia saling pandang. Alasan dari Mas Arhab sedikit tidak masuk di akal kami berdua. Warung Martia tak mungkin seramai itu."Oh, gitu. Ya udah makasih, Mas." Martia pun mengangguk."Eh ... ada Pak Lurah? Ngapain bawa kardus begitu, Pak?" tanya salah satu rombongan teman ibu. Mas Arhab hanya mengulas senyum."Jeng, Jeng Setia, ini dicari Arhab lho!" serunya agar terdengar sampai kamar ibu di ruang tengah.Aku dan Martia menggeleng. Repot sudah ketemu ibu-ibu model seperti ini. Bisa menimbulkan banyak kesalahpahaman. Mas Arhab tampak tak peduli. Ia meletakkan ka
Baca selengkapnya
30. Keputusan Amira
Malam membayang menggantikan siang. Di tempat aku dilahirkan dan besar dengan perjuanga, langit malam terasa lebih gelap. Tak ada gemintang serta bulan yang memberi cahaya. Gemerlap lampu penerangan khas kota pun tak tampak. Semua terasa begitu sunyi. Di tempat ini mati tak mau hidup pun susah. Kompor dua tungku itu kunyalakan. Membuat telur dadar dengan isi seadanya untuk kami berdua. Setiap hari saat di kota, jika tidak ada waktu untuk memasak aku bisa membelinya asal ada uang. Di desa, mau punya banyak uang pun layanan semacam itu tak ada. Praktis memasak sendiri menjadi pilihan terbaik. Kuaduk dua telur ayam yang sudah masuk dalam mangkuk sembari menambahkan garam, lalu nenuangnya ke dalam minyak panas. Malam hari jika ibu lapar, siapa yang akan menyiapkan? Malam hari jika ibu butuh bantuan, siapa yang akan mengulurkan tangan? Anganku berkelana jauh. Kepulan asap pastinya akan sampai di kamar ibu. Tembok yang terlalu tinggi membuat asap itu berkumpul serta menempel di mana-mana
Baca selengkapnya
31. Seribu Langkah
"Mir, bangun, Mir!" Ibu mengguncang tubuhku."Jam berapa, Bu? Masih pagi, kan?" Aku tetap memejamkan mata."Iya, baru subuh. Tapi ada yang ngucap salam, Mir. Dari tadi juga ketuk pintu."Aku pun menggeliat. "Ah, Bu, yang bener. Jangan buat Amira takut deh." "Beneran. Tuh, dengerin.""Assalamu'alaikum. Assalamualaikum!"Keningku mengernyit. Suara itu terdengar seperti suara manusia. Bukan hantu yang gentayangan di waktu subuh."Masa tamu, Bu?" tanyaku setelah mendudukkan diri. Mengumpulkan kesadaran."Dah sana cek dulu. Sekalian kamu solat subuh." Ibu menyingkap selimut. Beliau juga bersiap untuk bangun."Ya, Bu." Meski masih ngantuk, aku tetap berjalan menuju pintu utama rumah. "Assalamualaikum, Assalamualaikum!""Waalaikumsalam. Ya, sebentar!" Tanganku meraih kenop pintu lalu membukanya. "Pasti baru bangun, ya, Mbak. Sampai saya harus teriak berkali-kali," ujar seorang lelaki yang terlihat lebih muda dariku."Eh, He.""Kalau subuh tuh, jangan kesiangan, Mbak. Nanti rezekinya dipat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status